KEMBALIKAN PEMIMPIN AGAMA KE TEMPAT-NYA
Kembalikan pemimpin agama ke barak-nya. Kalimat ini memang harus dipahami dan semakin didengungkan oleh banyak orang.
Setelah lengsernya ORBA, maka berakhirlah pula rezim yang dikuasai sepenuhnya oleh militerisme. Banyak kebijakan yang menarik pada era reformasi, salah satunya adalah pemisahan antara TNI dan polisi, kebebasan untuk bersuara dan sebagainya. Namun yang berkaitan pada judul di atas adalah kebijakan untuk memisahkan TNI dan polisi. Pemerintah, rakyat, dan TNI diminta untuk mempercayai fungsi polisi, yang bertugas untuk mengamankan dan menjaga kawasan dalam Indonesia. Dengan pemisahan tersebut, maka TNI kembali di tempatkan di daerah tugas yang semestinya. Bukan untuk berkarya dalam politik ataupun penumpukan tugas dengan polisi, melainkan bertugas untuk mengamankan dan menjaga kawasan Indonesia ke luar.
Selayaknya pemisahan TNI dan polisi, akan lebih menguntungkan bagi Indonesia untuk melakukan pemisahan antara agama dengan politik, yang dewasa ini telah berjabat tangan dengan erat. Pemimpin agama mulai berani mendesak pemerintahan, bukan suara rakyat yang disampaikan. Melainkan sebagai sosok ke-aku-an yang telah dilabelkan masyarakat sebagai pemuka ataupun pemimpin agama dengan kepentingan beberapa oknum dan yang pastinya akan merugikan beberapa pihak yang lain. Indonesia yang sangat kaya akan berbagai sumber daya, khususnya dengan kondisi yang multicultural seharusnya dapat memisahkan bagaimana bernegara yang baik dan beragama yang baik pula. Kenapa tidak saya tulis bernegara dan beragama yang baik? Karena dua hal tersebut adalah tugas yang sangatlah berbeda dan tidak dapat disatukan, namun dapat dilaksanakan dengan baik jika dibedakan.
Fenomena yang kerap kita jumpai saat ini adalah agama bukan sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, melainkan cenderung sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhan tertentu, yang jauh dari visi utama berdirinya agama tersebut. Dan yang paling memprihatinkan, pemuka dan pemimpin agama yang ada, bukannya melakukan larangan, sebaliknya peranannya cukup dominan dalam kasus ini. Seperti mengijinkan para caleg mempromosikan dirinya dengan identifikasi sebagai anggota agama tertentu, bukannya mempromosikan diri sebagai warga Negara yang peduli terhadap bangsanya.
Pemimpin agama yang telah turut campur dalam berbagai hal yang berkaitan dengan Negara, menjadi tidak focus terhadap kewajiban utamanya. Maka disadari ataupun tanpa disadari tindakan dan tujuannya telah melenceng dari visi utama. Seperti pada era ORBA, TNI yang pada visi utamanya adalah menjadi pelindung rakyat, malahan menjadi sesosok momok yang sangat menakutkan, dan lebih condong pada bagaimana menguasai, mengeksploitasi banyak hal demi kepentingan oknum yang terkait.
Apakah setelah reformasi ini rakyat Indonesia akan mengalami kembali kondisi yang terjadi pada era ORBA dengan tokoh yang berbeda???? Kawan, jika tidak ingin ini terjadi, maka mari kita sebarkan dan terus dengungkan “Kembalikan pemimpin agama pada tempat-nya!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar