nescerita
intinya cuma pengen berbagi cerita aja sama kanca-kanca.......
Sabtu, 20 November 2010
Pengen tau lebih lanjut tentang personal brand????
http://www.slideshare.net/bukik/seminar-pio-catur-putranto#
Selasa, 05 Oktober 2010
Senin, 13 September 2010
SANGKAR KOSONG, sebuah "Frame Indonesia"
Negara adalah sebuah organisasi yang besar, dengan keragaman anggota yang menyertainya...
Keragaman anggota membuat berbagai kepentingan berada di dalam sebuah Negara.
di dalam buku refraiming Organization karangan dari Terrence and Bolman, terdapat empat frame utama dalam perjalanan sebuah organisasi, ketika mencoba memasukan Indonesia ke dalam kerangka sederhana dari keempat frame tersebut....
sayangnya aku gagal.
Mr. Ino dengan notabene ke "gila"an nya sempat berkelakar, "SBY memimpin dengan frame symbolik. Hanya Citra yang dia usung."
sayangnya aku kurang dapat mengerti sedalam beliau...
pertama kali aku menjawab dengan lugas....
SBY menggunakan frame yang bukan strukturalisme, bukan symbolic, dan juga bukan polytic...
SBY lebih menekankan pada bagaimana menjaga hubungan yang terjalin antara satu penguasa dengan penguasa yang lain...
lebih jauh aku memahami dengan keterbatasanku,,,
ternyata bukan!!!!
Terlihat lebih condong ke politik, SBY lebih menekankan bagaimana menjaga kekuasaannya...
ketika aku mencoba meresapinya, ternyata masih bukan...
empat frame ini tidak mampu menjelaskan pola kepemimpinan SBY dengan tepat dan presisi.
Eksekutif adalah eksekutor...
pemikir dan pelaku pemerintahan...
nyatanya????
bukan.
diatur oleh beberapa LSM, atau ORMAS yang TIDAK PENTING..
kebijakan dikuasai oleh DPR yang 'mendem'
dan ditemani abdi dalem yang opportunis...
SBY bukan orang yang salah....
aku jadi menyadari posisi beliau,,,
SBY bukan manusia setengah dewa...
hanya manusia biasa yang selalu terdesak oleh lingkungannya....
oleh manusia2 disekelilingnya....
dari pemikiran reflektif ini aku mencoba kembali untuk mengungkap dan menjelaskan pola kepemimpinan Indonesia saat ini yang paling sesuai adalah dengan istilah ku sendiri, yaitu frame SANGKAR KOSONG.
dengan semua fasilitas dan kapabilitas yang Beliau miliki, ia hanyalah sebuah bidak...
memimpin hanya dipermukaan...
coba lihat dan perhatikan sekelilingmu kawan!
Keragaman anggota membuat berbagai kepentingan berada di dalam sebuah Negara.
di dalam buku refraiming Organization karangan dari Terrence and Bolman, terdapat empat frame utama dalam perjalanan sebuah organisasi, ketika mencoba memasukan Indonesia ke dalam kerangka sederhana dari keempat frame tersebut....
sayangnya aku gagal.
Mr. Ino dengan notabene ke "gila"an nya sempat berkelakar, "SBY memimpin dengan frame symbolik. Hanya Citra yang dia usung."
sayangnya aku kurang dapat mengerti sedalam beliau...
pertama kali aku menjawab dengan lugas....
SBY menggunakan frame yang bukan strukturalisme, bukan symbolic, dan juga bukan polytic...
SBY lebih menekankan pada bagaimana menjaga hubungan yang terjalin antara satu penguasa dengan penguasa yang lain...
lebih jauh aku memahami dengan keterbatasanku,,,
ternyata bukan!!!!
Terlihat lebih condong ke politik, SBY lebih menekankan bagaimana menjaga kekuasaannya...
ketika aku mencoba meresapinya, ternyata masih bukan...
empat frame ini tidak mampu menjelaskan pola kepemimpinan SBY dengan tepat dan presisi.
Eksekutif adalah eksekutor...
pemikir dan pelaku pemerintahan...
nyatanya????
bukan.
diatur oleh beberapa LSM, atau ORMAS yang TIDAK PENTING..
kebijakan dikuasai oleh DPR yang 'mendem'
dan ditemani abdi dalem yang opportunis...
SBY bukan orang yang salah....
aku jadi menyadari posisi beliau,,,
SBY bukan manusia setengah dewa...
hanya manusia biasa yang selalu terdesak oleh lingkungannya....
oleh manusia2 disekelilingnya....
dari pemikiran reflektif ini aku mencoba kembali untuk mengungkap dan menjelaskan pola kepemimpinan Indonesia saat ini yang paling sesuai adalah dengan istilah ku sendiri, yaitu frame SANGKAR KOSONG.
dengan semua fasilitas dan kapabilitas yang Beliau miliki, ia hanyalah sebuah bidak...
memimpin hanya dipermukaan...
coba lihat dan perhatikan sekelilingmu kawan!
Senin, 09 Agustus 2010
kOde EtIk
Pertanyaan :
1. Bagaimanakah etik keilmiahan itu harus dibangun?
Pada dasarnya dalam membangun etik keilmiahan harus didasarkan pada tiga komponen dasar ilmu pengetahuan, antara lain ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Ontologi itu sendiri membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Jadi dapat disimpulkan ontologi membahas tentang yang ada, yang universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Komponen yang kedua, epistimologi. Epistimologi sendiri mempunyai kaitan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pengetahuan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Jadi dengan kata lain, epistimologi merupakan suatu metode yang kita gunakan untuk memandang suatu pengetahuan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam memandang pengetahuan, diantaranya empirisme, rasionalisme, fenomenalisme, intuisionisme dan masih banyak lagi.
Komponen yang ketiga adalah aksiologi, yang merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan yang telah disusun menjadi tubuh pengetahuan.
Jadi pada dasarnya, aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Sehingga dalam membangun suatu etik keilmiahan selayaknya didasarkan pada komponen ppengetahuan itu sendiri.
2. Nilai etika apakah yang harus dituangkan dalam menunjang prinsip penelitian yang obyektif?
Jawab :
Penelitian atau riset merupakan terjemahan dari bahasa Inggris research yang merupakan gabungan dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Namun beberapa sumber lainnya, menyebutkan bahwa kata research berasal dari bahasa Perancis, recherche. Sehingga pada intinya hakikat penelitian adalah mencari kembali.
Dalam buku berjudul Introduction to Research , T. Hillway menambahkan bahwa penelitian adalah studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Ilmuwan lain bernama Woody memberikan gambaran bahwa penelitian adalah metode menemukan kebenaran yang dilakukan dengan critical thinking (berpikir kritis)”.
Penelitian yang menggunakan metode ilmiah disebut dengan penelitian ilmiah (scientific research).
Dari beberapa pengertian mengenai penelitian ilmiah diatas, maka dapat dirumuskan nilai-nilai yang dapat diturunkan dari hakekat penelitian ilmiah adalah sebagai berikut :
Ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian
Dalam penelitian ilmiah, dibutuhkan sikap teliti, cermat dan hati-hati. Hal ini berguna ketika seorang ilmuwan menemukan permasalahn penelitian hingga ilmuwan melakukan intervensi maupun menyusun laporan penelitian.
Sifat ini berguna untuk mengurangi resiko terjadinya suatu kesalahan yang bisa merugikan, baik dari subjek sendiri maupun waktu dan biaya.
Keingintahuan dan berfikir kritis
Sifat skeptis tentu saja dibutuhkan oleh semua ilmuwan. Sikap ini mendasari adanya penelitian-penelitian baru dan pengetahuan baru.
Namun, bukan hanya skeptis ataupun memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, namun juga diperlukan sifat yang mau berpikir kritis, memikirkan apa yang telah ditemukan.
Jujur
Sebuah penelitian harus bersifat jujur. Jujur yang dimaksudkan disini adalah menuliskan fakta apapun yang ada, tanpa ditutup-tutupi. Baik dalam prosedur penelitian maupun hasil penelitian.
Tanggung jawab
Penelitian harus dilakukan peneliti dengan sikap tanggung jawab. Hal ini dikarenakan dalam sebuah penelitian, tidak hanya peneliti saja yang ada di dalamnya. Namun pasti ada obyek penelitian yang ikut serta. Ketika penelitian dilakukan dengan tanggung jawab, maka diharapkan keselamatan dan hasil penelitian yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan di masyarakat.
Obyektif
Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti sebaiknya tidak berpihak kepada sesuatu. Hal ini dikarenakan seorang ilmuwan harus menuliskan fakta-fakta yang sebenarnya.
3. Rumuskan nilai-nilai yang dapat diturunkan dalam pencarian obyektivitas!
Nilai etik yang harus tertuang tentunya berdasar pada lima prinsip yang telah dikemukakan, yaitu :
Beneficence and Non-maleficence
Dalam hal ini, nilai yang seharusnya ada adalah, harus mampu menyejahterakan masyarakat dan hasil dari IPTEK itu tidak mengancam dan melukai kehidupan orang banyak.
Fidelity and Responsibility
Sikap bertanggung jawab atas apa yang telah dipercayakan. Hal ini merupakan salah satu nilai yang wajib ada. Bahkan ketika ada suatu hal yang tidak disadari muncul, dan seorang ilmuwan tidak bisa menyelesaikannya, maka sudah sepatutnya ilmuwan tersebut berkonsultasi dengan seorang ahli untuk mendapatkan yang terbaik.
Integrity
Dalam hal ini kejujuran menjadi hal yang penting. Dimana bertindak jujur dalam mengembangkan IPTEK. Bekerja dengan jujur, akurat dan meminimalisir kerugian yang ada, baik dalam hal biaya, waktu maupun sumber daya.
Justice
Adanya keadilan bagi setiap manusia, baik dalam hal mengetahui bagaimana perkembangan IPTEK itu sendiri maupun dalam memanfaatkan perkembangan IPTEK itu sendiri. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk semua itu.
Respect for People’s Right and Dignity
Memberikan hormat atas hak dan martabat setiap orang. Bagaimanapun juga IPTEK harus mampu dijangkau oleh semua orang. Bukan hanya berlaku untuk suku atau kalangan tertentu. Melainkan lebih bersifat global dan universal. Sehingga setiap orang mampu memanfaatkan pengetahuan baru yang telah ada.
Berdasarkan lima prinsip yang telah dikemukakan di atas, maka nilai-nilai yang dapat diturunkan adalah sebagai berikut:
(1). Skeptis terhadap pernyataan tentang penyebab perilaku dan proses mental, maupun pernyataan yang didasari oleh temuan-temuan ilmiah yang telah dipublikasikan.
(2). Bersandar pada bukti-bukti yang konvergen terhadap sebuah pernyataan tentang perilaku.
(3). Untuk menjelaskan secara tentatif harus dinyatakan dalam hipotesis.
(4). Untuk mencari jawaban harus menggunakan pendekatan multimetode.
[Shaughnessy, et al., 2006]
4. Norma apakah yang perlu dituangkan dalam kode etik dalam menopang tegaknya etik penelitian bagi ilmuwan maupun profesi psikologi?
Jawab :
Nilai-nilai yang harus dimiliki dalam menopang cara berpikir ilmuwan psikologi adalah sebagai berikut :
Beneficence and Non-maleficence
Salah satu tugas seorang psikolog adalah menyejahterakan masyarakat. Begitu juga dengan ilmuwan psikolog. Seorang ilmuwan psikolog harus mampu bekerja tanpa melukai subjek penelitian maupun peneliti lainnya. Seorang ilmuwan Psikolog juga harus mempu mengendalikan persepsi-persepsi mengenai masalah personal, finansial, sosial, organisasi, atau politik dan lainnya. Hal ini dikarenakan apa yang disampaikan psikolog dapat mempengruhi hidup seseorang.
Fidelity and Responsibility
Seorang ilmuwan Psikolog harus mampu membangun hubungan yang dilandasi rasa percaya dengan siapa mereka bekerja. Ilmuwan Psikolog harus bersikap profesional dan scientific kepada siapa mereka bekerja. Selain itu, mereka diharapkan berkonsultasi, bekerja sama dengan institusi lain untuk menghasilkan pendapat/intervensi terbaik
Integrity
Seorang ilmuwan Psikologi harus mengutamakan akurasi, kejujuran, dan kepercayaan dalam melakukan penelitian, mengajar maupun praktek.
Justice
Seorang ilmuwan Psikologi harus menyadari bahwa keadilan dan kesetaraan, adalah hak semua orang. Sehingga, semua orang berhak untuk mendapatkan pelayanan dan kualitas prosedur yang sama dalam sebuah penelitian Psikolog.
Respect for People’s Right and Dignity
Seorang ilmuwan diharuskan menghormati hak dan martabat orang lain. seorang ilmuwan psikolog juga harus paham dan waspada serta menghargai budaya, individu dan perbedaan peran termasuk umur, jenis kelamin, suku, ras, asal negara, budaya awal, agama, orientasi sex, ketidakmampuan bahasa dan sosioekonomi.
Maka, norma yang perlu dituangkan dalam kode etik guna menopang tegaknya etik penelitian bagi ilmuwan maupun profesi psikologi menurut CPA (Canadian Psychological Association) yang dikutip Palys (1992) adalah:
1. Menghormati martabat manusia.
2. Kepedulian yang bertanggungjawab
3. Integritas dalam hubungan-hubungan yang dijalin
4. Tanggungjawab pada masyarakat
5. Dari norma-norma yang telah dikemukakan, kaitkanlah dengan pasal-pasal yang ada dalam Kode etik Psikologi!
Menghormati martabat manusia.
Pada pasal 1, tampak jelas dalam pelaksanaan tugas seorang psikolog harus memahami betul apa saja yang terkait dengan prakteknya. Mulai dari perbedaan kualifikasi antara sarjana dan psikolog, maupun pemakai jasa psikologi itu sendiri.
Untuk itu kode etik memfasilitasi hal tersebut dengan memperjelas pengertian diantaranya agar tidak terjadi overlapping ataupun client abuse.
Kepedulian yang bertanggungjawab
Pada norma ini lebih diperlihatkan pada pasal 2 dan 3. Kode etik tersebut sangat memperhatikan peran dan tanggung jawab praktisi di bidang psikologi dalam pekerjaannya. Selain itu juga memberikan batasan ilmu yang jelas bagi keduanya (bagi klien dan bagi rekan kerja sejawatnya).
Praktisi hanya bekerja sesuai dengan ranah yang telah dikuasainya.
Integritas dalam hubungan-hubungan yang dijalin
Pada nilai ini, pasal yang lebih tepat mengaturnya adalah pada pasal 4-9. Pasal-pasal tersebut mengatur secara jelas dan rinci apa saja dan bagaimana seorang praktisi psikologi bekerja. Mengutamakan Integritas seorang praktisi dan keadilan bagi si pengguna jasa maupun kode etik ini berlaku bagi semua praktisi psikologi di seluruh Indonesia.
Tanggungjawab pada masyarakat
Pada norma ini lebih tersirat pada pasal 10-13. Seorang praktisi dalam bekerja tetap menekankan pada kesejahteraan kliennya. Mulai dari Interpretasi sampai dengan pemanfaatan data klien untuk keilmuan, harus tetap mengutamakan kesejahteraan klien.
Daftar Pustaka
Hillway,T. 1964. Introduction to Research. Boston: Houghton Mifflin, http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm
Ethical Principles of Psychologists and Code Of Conduct, 2002
1. Bagaimanakah etik keilmiahan itu harus dibangun?
Pada dasarnya dalam membangun etik keilmiahan harus didasarkan pada tiga komponen dasar ilmu pengetahuan, antara lain ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Ontologi itu sendiri membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Jadi dapat disimpulkan ontologi membahas tentang yang ada, yang universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.
Komponen yang kedua, epistimologi. Epistimologi sendiri mempunyai kaitan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pengetahuan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Jadi dengan kata lain, epistimologi merupakan suatu metode yang kita gunakan untuk memandang suatu pengetahuan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam memandang pengetahuan, diantaranya empirisme, rasionalisme, fenomenalisme, intuisionisme dan masih banyak lagi.
Komponen yang ketiga adalah aksiologi, yang merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan yang telah disusun menjadi tubuh pengetahuan.
Jadi pada dasarnya, aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Sehingga dalam membangun suatu etik keilmiahan selayaknya didasarkan pada komponen ppengetahuan itu sendiri.
2. Nilai etika apakah yang harus dituangkan dalam menunjang prinsip penelitian yang obyektif?
Jawab :
Penelitian atau riset merupakan terjemahan dari bahasa Inggris research yang merupakan gabungan dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Namun beberapa sumber lainnya, menyebutkan bahwa kata research berasal dari bahasa Perancis, recherche. Sehingga pada intinya hakikat penelitian adalah mencari kembali.
Dalam buku berjudul Introduction to Research , T. Hillway menambahkan bahwa penelitian adalah studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Ilmuwan lain bernama Woody memberikan gambaran bahwa penelitian adalah metode menemukan kebenaran yang dilakukan dengan critical thinking (berpikir kritis)”.
Penelitian yang menggunakan metode ilmiah disebut dengan penelitian ilmiah (scientific research).
Dari beberapa pengertian mengenai penelitian ilmiah diatas, maka dapat dirumuskan nilai-nilai yang dapat diturunkan dari hakekat penelitian ilmiah adalah sebagai berikut :
Ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian
Dalam penelitian ilmiah, dibutuhkan sikap teliti, cermat dan hati-hati. Hal ini berguna ketika seorang ilmuwan menemukan permasalahn penelitian hingga ilmuwan melakukan intervensi maupun menyusun laporan penelitian.
Sifat ini berguna untuk mengurangi resiko terjadinya suatu kesalahan yang bisa merugikan, baik dari subjek sendiri maupun waktu dan biaya.
Keingintahuan dan berfikir kritis
Sifat skeptis tentu saja dibutuhkan oleh semua ilmuwan. Sikap ini mendasari adanya penelitian-penelitian baru dan pengetahuan baru.
Namun, bukan hanya skeptis ataupun memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, namun juga diperlukan sifat yang mau berpikir kritis, memikirkan apa yang telah ditemukan.
Jujur
Sebuah penelitian harus bersifat jujur. Jujur yang dimaksudkan disini adalah menuliskan fakta apapun yang ada, tanpa ditutup-tutupi. Baik dalam prosedur penelitian maupun hasil penelitian.
Tanggung jawab
Penelitian harus dilakukan peneliti dengan sikap tanggung jawab. Hal ini dikarenakan dalam sebuah penelitian, tidak hanya peneliti saja yang ada di dalamnya. Namun pasti ada obyek penelitian yang ikut serta. Ketika penelitian dilakukan dengan tanggung jawab, maka diharapkan keselamatan dan hasil penelitian yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan di masyarakat.
Obyektif
Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti sebaiknya tidak berpihak kepada sesuatu. Hal ini dikarenakan seorang ilmuwan harus menuliskan fakta-fakta yang sebenarnya.
3. Rumuskan nilai-nilai yang dapat diturunkan dalam pencarian obyektivitas!
Nilai etik yang harus tertuang tentunya berdasar pada lima prinsip yang telah dikemukakan, yaitu :
Beneficence and Non-maleficence
Dalam hal ini, nilai yang seharusnya ada adalah, harus mampu menyejahterakan masyarakat dan hasil dari IPTEK itu tidak mengancam dan melukai kehidupan orang banyak.
Fidelity and Responsibility
Sikap bertanggung jawab atas apa yang telah dipercayakan. Hal ini merupakan salah satu nilai yang wajib ada. Bahkan ketika ada suatu hal yang tidak disadari muncul, dan seorang ilmuwan tidak bisa menyelesaikannya, maka sudah sepatutnya ilmuwan tersebut berkonsultasi dengan seorang ahli untuk mendapatkan yang terbaik.
Integrity
Dalam hal ini kejujuran menjadi hal yang penting. Dimana bertindak jujur dalam mengembangkan IPTEK. Bekerja dengan jujur, akurat dan meminimalisir kerugian yang ada, baik dalam hal biaya, waktu maupun sumber daya.
Justice
Adanya keadilan bagi setiap manusia, baik dalam hal mengetahui bagaimana perkembangan IPTEK itu sendiri maupun dalam memanfaatkan perkembangan IPTEK itu sendiri. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk semua itu.
Respect for People’s Right and Dignity
Memberikan hormat atas hak dan martabat setiap orang. Bagaimanapun juga IPTEK harus mampu dijangkau oleh semua orang. Bukan hanya berlaku untuk suku atau kalangan tertentu. Melainkan lebih bersifat global dan universal. Sehingga setiap orang mampu memanfaatkan pengetahuan baru yang telah ada.
Berdasarkan lima prinsip yang telah dikemukakan di atas, maka nilai-nilai yang dapat diturunkan adalah sebagai berikut:
(1). Skeptis terhadap pernyataan tentang penyebab perilaku dan proses mental, maupun pernyataan yang didasari oleh temuan-temuan ilmiah yang telah dipublikasikan.
(2). Bersandar pada bukti-bukti yang konvergen terhadap sebuah pernyataan tentang perilaku.
(3). Untuk menjelaskan secara tentatif harus dinyatakan dalam hipotesis.
(4). Untuk mencari jawaban harus menggunakan pendekatan multimetode.
[Shaughnessy, et al., 2006]
4. Norma apakah yang perlu dituangkan dalam kode etik dalam menopang tegaknya etik penelitian bagi ilmuwan maupun profesi psikologi?
Jawab :
Nilai-nilai yang harus dimiliki dalam menopang cara berpikir ilmuwan psikologi adalah sebagai berikut :
Beneficence and Non-maleficence
Salah satu tugas seorang psikolog adalah menyejahterakan masyarakat. Begitu juga dengan ilmuwan psikolog. Seorang ilmuwan psikolog harus mampu bekerja tanpa melukai subjek penelitian maupun peneliti lainnya. Seorang ilmuwan Psikolog juga harus mempu mengendalikan persepsi-persepsi mengenai masalah personal, finansial, sosial, organisasi, atau politik dan lainnya. Hal ini dikarenakan apa yang disampaikan psikolog dapat mempengruhi hidup seseorang.
Fidelity and Responsibility
Seorang ilmuwan Psikolog harus mampu membangun hubungan yang dilandasi rasa percaya dengan siapa mereka bekerja. Ilmuwan Psikolog harus bersikap profesional dan scientific kepada siapa mereka bekerja. Selain itu, mereka diharapkan berkonsultasi, bekerja sama dengan institusi lain untuk menghasilkan pendapat/intervensi terbaik
Integrity
Seorang ilmuwan Psikologi harus mengutamakan akurasi, kejujuran, dan kepercayaan dalam melakukan penelitian, mengajar maupun praktek.
Justice
Seorang ilmuwan Psikologi harus menyadari bahwa keadilan dan kesetaraan, adalah hak semua orang. Sehingga, semua orang berhak untuk mendapatkan pelayanan dan kualitas prosedur yang sama dalam sebuah penelitian Psikolog.
Respect for People’s Right and Dignity
Seorang ilmuwan diharuskan menghormati hak dan martabat orang lain. seorang ilmuwan psikolog juga harus paham dan waspada serta menghargai budaya, individu dan perbedaan peran termasuk umur, jenis kelamin, suku, ras, asal negara, budaya awal, agama, orientasi sex, ketidakmampuan bahasa dan sosioekonomi.
Maka, norma yang perlu dituangkan dalam kode etik guna menopang tegaknya etik penelitian bagi ilmuwan maupun profesi psikologi menurut CPA (Canadian Psychological Association) yang dikutip Palys (1992) adalah:
1. Menghormati martabat manusia.
2. Kepedulian yang bertanggungjawab
3. Integritas dalam hubungan-hubungan yang dijalin
4. Tanggungjawab pada masyarakat
5. Dari norma-norma yang telah dikemukakan, kaitkanlah dengan pasal-pasal yang ada dalam Kode etik Psikologi!
Menghormati martabat manusia.
Pada pasal 1, tampak jelas dalam pelaksanaan tugas seorang psikolog harus memahami betul apa saja yang terkait dengan prakteknya. Mulai dari perbedaan kualifikasi antara sarjana dan psikolog, maupun pemakai jasa psikologi itu sendiri.
Untuk itu kode etik memfasilitasi hal tersebut dengan memperjelas pengertian diantaranya agar tidak terjadi overlapping ataupun client abuse.
Kepedulian yang bertanggungjawab
Pada norma ini lebih diperlihatkan pada pasal 2 dan 3. Kode etik tersebut sangat memperhatikan peran dan tanggung jawab praktisi di bidang psikologi dalam pekerjaannya. Selain itu juga memberikan batasan ilmu yang jelas bagi keduanya (bagi klien dan bagi rekan kerja sejawatnya).
Praktisi hanya bekerja sesuai dengan ranah yang telah dikuasainya.
Integritas dalam hubungan-hubungan yang dijalin
Pada nilai ini, pasal yang lebih tepat mengaturnya adalah pada pasal 4-9. Pasal-pasal tersebut mengatur secara jelas dan rinci apa saja dan bagaimana seorang praktisi psikologi bekerja. Mengutamakan Integritas seorang praktisi dan keadilan bagi si pengguna jasa maupun kode etik ini berlaku bagi semua praktisi psikologi di seluruh Indonesia.
Tanggungjawab pada masyarakat
Pada norma ini lebih tersirat pada pasal 10-13. Seorang praktisi dalam bekerja tetap menekankan pada kesejahteraan kliennya. Mulai dari Interpretasi sampai dengan pemanfaatan data klien untuk keilmuan, harus tetap mengutamakan kesejahteraan klien.
Daftar Pustaka
Hillway,T. 1964. Introduction to Research. Boston: Houghton Mifflin, http://kecoaxus.tripod.com/filsafat/pengfil.htm
Ethical Principles of Psychologists and Code Of Conduct, 2002
KAPITALISME MENJARAH
Kapitalisme Menyanyikan Pendidikan Indonesia
By Johanes Catur W. P.
Fenomena di sekitar kita, mulai dari plagiarisme, korupsi, nepotisme, mutilasi, dan berbagai tindakan lain yang melanggar hukum pidana maupun perdata terasa makin akrab di sekitar kita. Para pelaku kejahatan diberi sanksi sedemikian berat/ringannya yang cenderung tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran mereka. Bahkan oknum tertentu dari pihak yang berwajib turut melakukan pelanggaran secara sengaja telah menjadi suatu hal yang wajar. Sedemikian buruknya citra aparat beserta sistem pemerintahan kita saat ini.
Kondisi di atas terjadi dan seakan dilestarikan, karena para pihak yang mengetahui hal-hal yang terkait hukum menjadikannya sebagai media untuk melancarkan niatan buruk mereka. Merubah undang-undang ataupun aturan yang terkait, yang dirasa akan mengancam sepak terbangnya untuk menipu rakyat dan bangsa ini. Apakah akar permasalahannya? Siapakah yang bertanggung jawab terkait dengan hal ini? Adakah solusi yang dapat ditawarkan dewasa ini?
Akar permasalahan di atas adalah “pendidikan” kita. Mulai dari sistem, pengajar, pelajar, sampai dengan kuatnya arus globalisasi. Dan yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah bangsa Indonesia seluruhnya. Solusi yang dapat ditawarkan, diantaranya adalah pendidikan nilai sejak dini dan perombakan “pendidikan” secara keseluruhan untuk kembali ke tujuan dan kaedah dasar pendidikan yang berlandaskan PANCASILA sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.
Isi paparan di atas lebih condong menyoroti perkembangan pendidikan bangsa ini. Mengupas pendidikan bangsa ini hanya mampu dilakukan jika merujuk kembali pada sejarah pendidikan yang telah terlaksana. Seperti kata Bung Karno,”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Paparan Singkat Perkembangan Pendidikan di Indonesia.
Sebelum dimulainya era penjajahan, bangsa kita telah mengenal dan mengimplementasikan pendidikan di segala bidang kehidupan masyarakat kita. Kata kunci pada jaman ini adalah kebudayaan orisinil. Pada era ini, masyarakat disatukan oleh kerajaan yang berkuasa pada jamannya. Memang tidak semua memperoleh pendidikan yang setara (hanya kaum ningrat dan perangkat kerajaan), namun hubungan antara masyarakat cukup terbina dengan erat dan baik pada jaman itu. Orientasi pendidikan saat itu adalah meneruskan kebudayaan yang ada sampai akhir keturunan.
Kemudian memasuki era penjajahan. Kata kuncinya adalah kebudayaan yang lain (catatan: meskipun sebelum memasuki era penjajahan, Indonesia telah mengenal kebudayaan dari luar Indonesia). Secara garis besar mereka yang mampu mengenyam pendidikan adalah mereka yang dekat dengan kaum penjajah. Petani dan sejenisnya tidak akan mampu untuk membayar, bahkan sekalipun mampu akan mengalami banyak kesulitan untuk mengenyam pendidikan jika tidak mempunyai kedekatan dengan pihak penjajah. Orientasi pendidikan pada era ini adalah melanggengkan penjajahan.
Setelah itu memasuki era kemerdekaan. Pendidikan pada era ini berubah-ubah menyesuaikan pemimpin pemerintahan saat itu, menyesuaikan dengan lingkungan dan tren yang sedang marak pada jamannya. Kebijakan pemerintah mendorong rakyatnya untuk bersikap proaktif terhadap pendidikan. Mulai dipermudah akses untuk memperoleh pendidikan. Orientasi pendidikan pada era ini adalah mengentaskan masyarakat Indonesia pada umumnya dari kebodohan dan melanggengkan kemerdekaan.
Pada tahun 1970-an, Indonesia patut berbangga hati dalam hal pendidikan. Hal ini dikarenakan pada tahun itu, Indonesia merupakan salah satu rujukan utama Negara-negara tetangga (khususnya Asia Tenggara) untuk menimba ilmu atau pendidikan. Namun, kondisi tersebut dengan perlahan meninggalkan bangsa kita. Hal ini dikarenakan terlalu cepat merasa puas diri dan tidak begitu mempertimbangkan perubahan lingkungan yang dengan ganasnya terus berbenah diri. Ketika menyadari hal tersebut, Indonesia telah sangat jauh tertinggal dalam hal pendidikan. Bahkan sekarang telah tertinggal dari negara yang dahulu belajar banyak hal dari kita. Lebih mengenaskan lagi, dewasa ini para doctor ataupun professor dari Indonesia seakan tidak mempunyai nama lagi di mata dunia.
Usaha Nyata
Pembenahan di bidang pendidikan terus gencar dibahas. Para pencinta ilmu mendedikasikan diri guna memformulasikan sistem pendidikan yang dirasa paling tepat guna bersaing di era globalisasi ini. Kurikulum telah sering berganti. Peraturan dan insentif juga terus digalakan. Pelatihan, studi banding dan sekolah ke luar negeri juga tidak ketinggalan. Namun saat ini masih belum dapat menghasilkan outcomes yang sesuai dengan harapan. Memang tidak ada proses menuju sukses yang instan.
Saat kita sedang sibuk mengejar ketertinggalan kita, dunia terus mengembangkan pendidikannya. Secara jujur, sukar rasanya untuk mengejar ketertinggalan itu jika kita terus memfokuskan diri dengan ukuran yang merujuk pada “dunia lain”. Eropa dan Amerika berbenah terkait pendidikannya, kita kemudian baru mencontoh mereka. Kapan akan mampu bersaing????
Kondisi 2003-2007.
Dewasa ini pendidikan secara formal (institusional) telah melebarkan sayapnya hingga merambah balita. Anak kecil yang seharusnya sedang menikmati permainan serta merasakan kehangatan dan kedekatan dengan figure orang tua telah dipaksa sedemikian rupa untuk mulai mengenyam pendidikan secara formal. Namun sangat disayangkan, orang tua dan para pengajar lebih memfokuskan pada hasil instan para murid dan anaknya. Bukanya lebih mengutamakan proses dimana kegagalan dapat menjadi sumber evaluasi diri guna menjadi lebih baik berdasar kesalahan yang telah dilakukan.
Pelajar yang pada hakikatnya merupakan kelompok penduduk yang sedang melakukan tugas atau fungsi tertentu, yakni belajar dalam arti yang luas. Dimana mereka memiliki kepentingan baik untuk dirinya maupun untuk lingkungan dan bangsanya, yakni berproses untuk menjadi lebih baik. Pelajar yang nantinya akan menjadi tumpuan harapan dan andalan masa depan suatu bangsa, telah direduksi oleh beberapa oknum menjadi kambing congek pengejar nilai dan ijazah. Adanya UNAS atau yang sekarang disebut UN adalah salah satu contoh pembodohan yang berkelanjutan. Tidak akan menjadi pembodohan jika letak geografis dan demografis kita tidak seperti ini. Karakteristik pembelajar dan pengajar yang berbeda tiap daerahnya dipaksakan dengan adanya UN malahan akan menjadi “kotak penghambat” laju pendidikan itu sendiri.
Sejauh ini, kita memandang bahwa status, posisi dan urusan pelajar terasa sudah cukup diurus melalui fungsi Pendidikan. Oleh karena itu Departemen pendidikan nasional dan Undang-undang pendidikan nasional menjadi rujukan yang utama dalam mengkaji status, posisi, dan kehidupan pelajar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di dalam Undang-Undang pendidikan nasional misalnya, disebutkan bahwa pelajar dikenal dengan sebutan ‘peserta didik’ yang memiliki hak dan kewajiban tertentu.
Hak yang dimiliki oleh Pelajar seperti tercantum dalam peraturan sistem pendidikan nasional adalah: mendapatkan pendidikan agama; mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; mendapatkan beasiswa; menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, dan lain-lain. Di samping hak tersebut, mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga norma-norma pendidikan dan ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan.
Kondisi 2007-sekarang.
Indonesia seperti sebuah Negara yang mengidap gangguan kecemasan akut yang condong ke paranoid dalam pengelolaan pendidikan. Negara kita yang sudah bangkrut di berbagai bidang dan tidak mampu segera bangkit, masih harus dijejali dengan ragam bencana alam/buatan manusia, diharuskan bersaing dengan tingkat dunia dalam hal pendidikan. Karena ketakutan yang berlebihan ini, para pengambil keputusan membuat pemaksaan konsep pendidikan yang belum teruji secara pasti untuk diimplementasikan dengan segera. Beberapa isu yang saat ini patut dikaji oleh para praktisi pendidikan adalah konsep Sekolah Berstandart Internasional ataupu PAUD. Konsep tersebut merupakan konsep agar pendidikan kita setaraf dengan pendidikan global atau pendidikan kita diarahkan ke kapitalisme?
Bau tak sedap proyek SBI ataupun PAUD adalah proyek basah yang akan menjadi rebutan banyak pihak. Para pengelola akan menaikkan tarif dana masuk ke lembaganya dengan berbagai dalih. Demikian pula dengan pemerintah, ia juga akan mengeluarkan dana yang sangat besar dengan berbagai alasan. Dari model ini akan tumbuh subur proyek manipulasi data, manipulasi kerja dan manipulasi out put pendidikan. Dan jika proyek ini memberi dampak materi pada para pengelola proyek pasti akan dipertahankan dan direbutkan tanpa harus mau mendengar kritik ataupun saran dari pihak lain.
Kebijakan pro pendidikan terus digalakkan, namun ide anti pendidikan yang dijalankan. Memprihatinkan memang. Pendidikan dengan lugas dan berani terus meninggi biayanya. Bahkan jika secara ekstrim, diperhitungkan biaya pendidikan mulai dari Play group sampai sarjana strata 1 bisa mencapai lebih dari dua ratus juta. Hal itu belum ditambahkan biaya les privat, seminar, dan sebagainya.
Sebagai contoh yang lainnya adalah disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP. Berbagai kalangan melihat UUBHP menjadi alat justifikasi lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi melegalkan untuk meraup dana dari para peserta didik (mahasiswa) setinggi-tingginya. Meskipun DPR memberikan jaminan bahwa UU BHP tidak akan menyebabkan biaya studi di perguruan tinggi semakin mahal, inipun tampaknya belum bisa diterima bahkan dirasionalkan.
Perlu disadari bersama, pendidikan saat ini sedang mengarah pada bentuk komoditas bisnis. Secara ekstrim dapat kita sebut Pendidikan dinyanyikan oleh kapitalisme. Inilah realitas pendidikan kita yang semakin lama dijadikan ajang untuk meraup keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Putera bangsa yang miskin kian tersisihkan dan sulit melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Legitimasi percepatan pembiayaan semakin tak terbendung. Kampus bisa jadi menjadi ajang bisnis, dengan membangun sarana dan prasarana guna menaikkan biaya dengan dalih ”untuk memperbaiki fasilitas guna mendukung proses pembelajaran”.
Uang dan keuntungan menjadi orientasi utama. Orang miskin dilarang sekolah itu menjadi kenyataan. Anak orang miskin kian terpuruk dan tersisihkan akibat masalah finansial, karena pendidikan bermutu menjadi saingan dan menyisihkan orang-orang yang tak mampu membayar biaya tinggi. Ditambah pemerintah membuka lebar investor (pengusaha) untuk memiliki BHP di dalam negeri dengan bekerjasama dengan lembaga pendidikan. Kalangan mahasiswa dari rakyat kecil tidak terakomodasi dalam ruang lingkup pendidikan elite. Banyak yang tidak mendapat fasilitas dikarenakan tidak mampu membayar biaya.
Pendidikan telah menjadi alat reproduksi untuk menghasilkan budak-budak guna melanggengkan struktur ketimpangan sosial. Kapitalisme tetaplah kapitalisme yang mengeruk keuntungan untuk kelompok tertentu. Hasil pendidikan menjadi ajang perdagangan layaknya budak, kapitalisme sebagai ideologinya yang bermain mengelola pendidikan dan lembaganya sebagai ajang bisnis oriented.
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, mulai dari orang awam, bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. Benarkah demikian? Pernyataan yang keliru, mereka yang berbicara seperti itu sudah pasti tidak pernah menilik kondisi di luar Indonesia. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diakses oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya dengan kualitas yang meyakinkan.
Solusi yang Ditawarkan
1. Meningkatkan anggaran pendidikan. Namun hal ini tidak menjamin akan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini sama seperti yang dilakukan Inggris.
2. Menyediakan gaji di atas rata-rata untuk profesi guru. Hal ini dilakukan agar mendapatkan guru-guru yang berkualitas, layaknya strategi yang dipakai Amerika.
Namun ternyata kedua negara tersebut bukanlah negara-negara dengan prestasi pendidikan tertinggi, setidaknya jika dinilai berdasarkan prestasi murid sekolah dasarnya. Negara-negara terbaik dalam kategori ini adalah Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Menurut McKinsey -perusahaan konsultan yang terbiasa dimintai advis oleh perusahaan dan pihak pemerintahan-, terdapat tiga strategi utama:
• Pastikan mendapatkan guru dengan kualitas terbaik
Negara Jerman, Spanyol, Swiss menyediakan gaji guru lebih tinggi dari rata-rata, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, strategi yang dijalankan Singapura dan Finlandia cukup sederhana, yaitu: mengatur jumlah kursi masuk yang tersedia di institusi pelatihan menjadi guru (di Indonesia, dulu disebut IKIP) dibatasi, cukup hanya sebanyak jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Dengan demikian, saringan masuk menjadi terjaga kualitasnya, para guru yang lulus dari pelatihan tersebut dijamin mendapat pekerjaan, negara tidak perlu menyediakan gaji di atas rata-rata bagi para guru, sementara status profesi guru di masyarakat pun menjadi tinggi.
• Ciptakan suasana kondusif agar para guru terpilih tersebut mengeluarkan kemampuan terbaiknya
Negara Jepang memiliki strategi cukup unik, yaitu mereka menyediakan forum antar guru. Dimana mereka dapat bertukar informasi, baik keberhasilan dalam menerapkan tips tertentu dalam mengajar maupun kesulitan praktis yang dihadapi di lapangan. Ini berbeda dengan di Amerika, misalnya, di mana kesuksesan seorang guru yang inovatif tidak menular ke guru-guru lainnya, karena memang tidak ada wadah yang kondusif untuk itu.
• Segera beri bantuan khusus bagi para siswa yang tertinggal, segera begitu mereka membutuhkannya
Resep yang ketiga diimplementasikan oleh Singapura, misalnya, dengan cara menyediakan kelas khusus bagi para siswa yang performansinya termasuk paling rendah di kelasnya. Dalam kelas-kelas khusus ini, para guru berdedikasi membantu para siswa hingga setelah jam sekolah usai.
Saat ini merupakan saat-saat krusial bagi bangsa ini. Kebobrokan terus mencuat dan terbongkar. Perbaikan terus-menerus akan mampu membuka jalan menuju impian bangsa ini. Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi pemula, namun bagi pemenang pencarian diakhiri dengan ujian berat. Percayalah saat-saat paling gelap adalah saat menjelang fajar (P. Coelho)
Daftar pustaka
Pareira, Dr. 2003. Pendidikan Nilai di Tengah Arus Globalisasi. Malang: STFT Widya Sasana
http://www.economist.com/PrinterFriendly.cfm?story_id=9989914
Regus M, Pr. 2004. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor.
“Talk show” Cerdaskan Umat Mandirikan Bangsa: Prespektif Pendidikan, di Senayan, Jakarta, Kamis (5/3). Pembicara Arief Rachman (pakar pendidikan) dan Rahmat Kurnia (Dosen IPB).
Muhaimin, Yahya. Dilamar Doktor, Periksa dulu Perguruan Tingginya. Jawa Pos. 23 Januari 2000
Sindhuanata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Surabaya: UNESA University Press
Pidarta, Made. 2008. Supervisi Pendidikan Kontekstual. Surabaya: UNESA University Press
Sagala, Syaiful. 2008. Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
By Johanes Catur W. P.
Fenomena di sekitar kita, mulai dari plagiarisme, korupsi, nepotisme, mutilasi, dan berbagai tindakan lain yang melanggar hukum pidana maupun perdata terasa makin akrab di sekitar kita. Para pelaku kejahatan diberi sanksi sedemikian berat/ringannya yang cenderung tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran mereka. Bahkan oknum tertentu dari pihak yang berwajib turut melakukan pelanggaran secara sengaja telah menjadi suatu hal yang wajar. Sedemikian buruknya citra aparat beserta sistem pemerintahan kita saat ini.
Kondisi di atas terjadi dan seakan dilestarikan, karena para pihak yang mengetahui hal-hal yang terkait hukum menjadikannya sebagai media untuk melancarkan niatan buruk mereka. Merubah undang-undang ataupun aturan yang terkait, yang dirasa akan mengancam sepak terbangnya untuk menipu rakyat dan bangsa ini. Apakah akar permasalahannya? Siapakah yang bertanggung jawab terkait dengan hal ini? Adakah solusi yang dapat ditawarkan dewasa ini?
Akar permasalahan di atas adalah “pendidikan” kita. Mulai dari sistem, pengajar, pelajar, sampai dengan kuatnya arus globalisasi. Dan yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah bangsa Indonesia seluruhnya. Solusi yang dapat ditawarkan, diantaranya adalah pendidikan nilai sejak dini dan perombakan “pendidikan” secara keseluruhan untuk kembali ke tujuan dan kaedah dasar pendidikan yang berlandaskan PANCASILA sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.
Isi paparan di atas lebih condong menyoroti perkembangan pendidikan bangsa ini. Mengupas pendidikan bangsa ini hanya mampu dilakukan jika merujuk kembali pada sejarah pendidikan yang telah terlaksana. Seperti kata Bung Karno,”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Paparan Singkat Perkembangan Pendidikan di Indonesia.
Sebelum dimulainya era penjajahan, bangsa kita telah mengenal dan mengimplementasikan pendidikan di segala bidang kehidupan masyarakat kita. Kata kunci pada jaman ini adalah kebudayaan orisinil. Pada era ini, masyarakat disatukan oleh kerajaan yang berkuasa pada jamannya. Memang tidak semua memperoleh pendidikan yang setara (hanya kaum ningrat dan perangkat kerajaan), namun hubungan antara masyarakat cukup terbina dengan erat dan baik pada jaman itu. Orientasi pendidikan saat itu adalah meneruskan kebudayaan yang ada sampai akhir keturunan.
Kemudian memasuki era penjajahan. Kata kuncinya adalah kebudayaan yang lain (catatan: meskipun sebelum memasuki era penjajahan, Indonesia telah mengenal kebudayaan dari luar Indonesia). Secara garis besar mereka yang mampu mengenyam pendidikan adalah mereka yang dekat dengan kaum penjajah. Petani dan sejenisnya tidak akan mampu untuk membayar, bahkan sekalipun mampu akan mengalami banyak kesulitan untuk mengenyam pendidikan jika tidak mempunyai kedekatan dengan pihak penjajah. Orientasi pendidikan pada era ini adalah melanggengkan penjajahan.
Setelah itu memasuki era kemerdekaan. Pendidikan pada era ini berubah-ubah menyesuaikan pemimpin pemerintahan saat itu, menyesuaikan dengan lingkungan dan tren yang sedang marak pada jamannya. Kebijakan pemerintah mendorong rakyatnya untuk bersikap proaktif terhadap pendidikan. Mulai dipermudah akses untuk memperoleh pendidikan. Orientasi pendidikan pada era ini adalah mengentaskan masyarakat Indonesia pada umumnya dari kebodohan dan melanggengkan kemerdekaan.
Pada tahun 1970-an, Indonesia patut berbangga hati dalam hal pendidikan. Hal ini dikarenakan pada tahun itu, Indonesia merupakan salah satu rujukan utama Negara-negara tetangga (khususnya Asia Tenggara) untuk menimba ilmu atau pendidikan. Namun, kondisi tersebut dengan perlahan meninggalkan bangsa kita. Hal ini dikarenakan terlalu cepat merasa puas diri dan tidak begitu mempertimbangkan perubahan lingkungan yang dengan ganasnya terus berbenah diri. Ketika menyadari hal tersebut, Indonesia telah sangat jauh tertinggal dalam hal pendidikan. Bahkan sekarang telah tertinggal dari negara yang dahulu belajar banyak hal dari kita. Lebih mengenaskan lagi, dewasa ini para doctor ataupun professor dari Indonesia seakan tidak mempunyai nama lagi di mata dunia.
Usaha Nyata
Pembenahan di bidang pendidikan terus gencar dibahas. Para pencinta ilmu mendedikasikan diri guna memformulasikan sistem pendidikan yang dirasa paling tepat guna bersaing di era globalisasi ini. Kurikulum telah sering berganti. Peraturan dan insentif juga terus digalakan. Pelatihan, studi banding dan sekolah ke luar negeri juga tidak ketinggalan. Namun saat ini masih belum dapat menghasilkan outcomes yang sesuai dengan harapan. Memang tidak ada proses menuju sukses yang instan.
Saat kita sedang sibuk mengejar ketertinggalan kita, dunia terus mengembangkan pendidikannya. Secara jujur, sukar rasanya untuk mengejar ketertinggalan itu jika kita terus memfokuskan diri dengan ukuran yang merujuk pada “dunia lain”. Eropa dan Amerika berbenah terkait pendidikannya, kita kemudian baru mencontoh mereka. Kapan akan mampu bersaing????
Kondisi 2003-2007.
Dewasa ini pendidikan secara formal (institusional) telah melebarkan sayapnya hingga merambah balita. Anak kecil yang seharusnya sedang menikmati permainan serta merasakan kehangatan dan kedekatan dengan figure orang tua telah dipaksa sedemikian rupa untuk mulai mengenyam pendidikan secara formal. Namun sangat disayangkan, orang tua dan para pengajar lebih memfokuskan pada hasil instan para murid dan anaknya. Bukanya lebih mengutamakan proses dimana kegagalan dapat menjadi sumber evaluasi diri guna menjadi lebih baik berdasar kesalahan yang telah dilakukan.
Pelajar yang pada hakikatnya merupakan kelompok penduduk yang sedang melakukan tugas atau fungsi tertentu, yakni belajar dalam arti yang luas. Dimana mereka memiliki kepentingan baik untuk dirinya maupun untuk lingkungan dan bangsanya, yakni berproses untuk menjadi lebih baik. Pelajar yang nantinya akan menjadi tumpuan harapan dan andalan masa depan suatu bangsa, telah direduksi oleh beberapa oknum menjadi kambing congek pengejar nilai dan ijazah. Adanya UNAS atau yang sekarang disebut UN adalah salah satu contoh pembodohan yang berkelanjutan. Tidak akan menjadi pembodohan jika letak geografis dan demografis kita tidak seperti ini. Karakteristik pembelajar dan pengajar yang berbeda tiap daerahnya dipaksakan dengan adanya UN malahan akan menjadi “kotak penghambat” laju pendidikan itu sendiri.
Sejauh ini, kita memandang bahwa status, posisi dan urusan pelajar terasa sudah cukup diurus melalui fungsi Pendidikan. Oleh karena itu Departemen pendidikan nasional dan Undang-undang pendidikan nasional menjadi rujukan yang utama dalam mengkaji status, posisi, dan kehidupan pelajar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di dalam Undang-Undang pendidikan nasional misalnya, disebutkan bahwa pelajar dikenal dengan sebutan ‘peserta didik’ yang memiliki hak dan kewajiban tertentu.
Hak yang dimiliki oleh Pelajar seperti tercantum dalam peraturan sistem pendidikan nasional adalah: mendapatkan pendidikan agama; mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; mendapatkan beasiswa; menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, dan lain-lain. Di samping hak tersebut, mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga norma-norma pendidikan dan ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan.
Kondisi 2007-sekarang.
Indonesia seperti sebuah Negara yang mengidap gangguan kecemasan akut yang condong ke paranoid dalam pengelolaan pendidikan. Negara kita yang sudah bangkrut di berbagai bidang dan tidak mampu segera bangkit, masih harus dijejali dengan ragam bencana alam/buatan manusia, diharuskan bersaing dengan tingkat dunia dalam hal pendidikan. Karena ketakutan yang berlebihan ini, para pengambil keputusan membuat pemaksaan konsep pendidikan yang belum teruji secara pasti untuk diimplementasikan dengan segera. Beberapa isu yang saat ini patut dikaji oleh para praktisi pendidikan adalah konsep Sekolah Berstandart Internasional ataupu PAUD. Konsep tersebut merupakan konsep agar pendidikan kita setaraf dengan pendidikan global atau pendidikan kita diarahkan ke kapitalisme?
Bau tak sedap proyek SBI ataupun PAUD adalah proyek basah yang akan menjadi rebutan banyak pihak. Para pengelola akan menaikkan tarif dana masuk ke lembaganya dengan berbagai dalih. Demikian pula dengan pemerintah, ia juga akan mengeluarkan dana yang sangat besar dengan berbagai alasan. Dari model ini akan tumbuh subur proyek manipulasi data, manipulasi kerja dan manipulasi out put pendidikan. Dan jika proyek ini memberi dampak materi pada para pengelola proyek pasti akan dipertahankan dan direbutkan tanpa harus mau mendengar kritik ataupun saran dari pihak lain.
Kebijakan pro pendidikan terus digalakkan, namun ide anti pendidikan yang dijalankan. Memprihatinkan memang. Pendidikan dengan lugas dan berani terus meninggi biayanya. Bahkan jika secara ekstrim, diperhitungkan biaya pendidikan mulai dari Play group sampai sarjana strata 1 bisa mencapai lebih dari dua ratus juta. Hal itu belum ditambahkan biaya les privat, seminar, dan sebagainya.
Sebagai contoh yang lainnya adalah disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP. Berbagai kalangan melihat UUBHP menjadi alat justifikasi lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi melegalkan untuk meraup dana dari para peserta didik (mahasiswa) setinggi-tingginya. Meskipun DPR memberikan jaminan bahwa UU BHP tidak akan menyebabkan biaya studi di perguruan tinggi semakin mahal, inipun tampaknya belum bisa diterima bahkan dirasionalkan.
Perlu disadari bersama, pendidikan saat ini sedang mengarah pada bentuk komoditas bisnis. Secara ekstrim dapat kita sebut Pendidikan dinyanyikan oleh kapitalisme. Inilah realitas pendidikan kita yang semakin lama dijadikan ajang untuk meraup keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Putera bangsa yang miskin kian tersisihkan dan sulit melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Legitimasi percepatan pembiayaan semakin tak terbendung. Kampus bisa jadi menjadi ajang bisnis, dengan membangun sarana dan prasarana guna menaikkan biaya dengan dalih ”untuk memperbaiki fasilitas guna mendukung proses pembelajaran”.
Uang dan keuntungan menjadi orientasi utama. Orang miskin dilarang sekolah itu menjadi kenyataan. Anak orang miskin kian terpuruk dan tersisihkan akibat masalah finansial, karena pendidikan bermutu menjadi saingan dan menyisihkan orang-orang yang tak mampu membayar biaya tinggi. Ditambah pemerintah membuka lebar investor (pengusaha) untuk memiliki BHP di dalam negeri dengan bekerjasama dengan lembaga pendidikan. Kalangan mahasiswa dari rakyat kecil tidak terakomodasi dalam ruang lingkup pendidikan elite. Banyak yang tidak mendapat fasilitas dikarenakan tidak mampu membayar biaya.
Pendidikan telah menjadi alat reproduksi untuk menghasilkan budak-budak guna melanggengkan struktur ketimpangan sosial. Kapitalisme tetaplah kapitalisme yang mengeruk keuntungan untuk kelompok tertentu. Hasil pendidikan menjadi ajang perdagangan layaknya budak, kapitalisme sebagai ideologinya yang bermain mengelola pendidikan dan lembaganya sebagai ajang bisnis oriented.
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, mulai dari orang awam, bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. Benarkah demikian? Pernyataan yang keliru, mereka yang berbicara seperti itu sudah pasti tidak pernah menilik kondisi di luar Indonesia. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diakses oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya dengan kualitas yang meyakinkan.
Solusi yang Ditawarkan
1. Meningkatkan anggaran pendidikan. Namun hal ini tidak menjamin akan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini sama seperti yang dilakukan Inggris.
2. Menyediakan gaji di atas rata-rata untuk profesi guru. Hal ini dilakukan agar mendapatkan guru-guru yang berkualitas, layaknya strategi yang dipakai Amerika.
Namun ternyata kedua negara tersebut bukanlah negara-negara dengan prestasi pendidikan tertinggi, setidaknya jika dinilai berdasarkan prestasi murid sekolah dasarnya. Negara-negara terbaik dalam kategori ini adalah Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Menurut McKinsey -perusahaan konsultan yang terbiasa dimintai advis oleh perusahaan dan pihak pemerintahan-, terdapat tiga strategi utama:
• Pastikan mendapatkan guru dengan kualitas terbaik
Negara Jerman, Spanyol, Swiss menyediakan gaji guru lebih tinggi dari rata-rata, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, strategi yang dijalankan Singapura dan Finlandia cukup sederhana, yaitu: mengatur jumlah kursi masuk yang tersedia di institusi pelatihan menjadi guru (di Indonesia, dulu disebut IKIP) dibatasi, cukup hanya sebanyak jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Dengan demikian, saringan masuk menjadi terjaga kualitasnya, para guru yang lulus dari pelatihan tersebut dijamin mendapat pekerjaan, negara tidak perlu menyediakan gaji di atas rata-rata bagi para guru, sementara status profesi guru di masyarakat pun menjadi tinggi.
• Ciptakan suasana kondusif agar para guru terpilih tersebut mengeluarkan kemampuan terbaiknya
Negara Jepang memiliki strategi cukup unik, yaitu mereka menyediakan forum antar guru. Dimana mereka dapat bertukar informasi, baik keberhasilan dalam menerapkan tips tertentu dalam mengajar maupun kesulitan praktis yang dihadapi di lapangan. Ini berbeda dengan di Amerika, misalnya, di mana kesuksesan seorang guru yang inovatif tidak menular ke guru-guru lainnya, karena memang tidak ada wadah yang kondusif untuk itu.
• Segera beri bantuan khusus bagi para siswa yang tertinggal, segera begitu mereka membutuhkannya
Resep yang ketiga diimplementasikan oleh Singapura, misalnya, dengan cara menyediakan kelas khusus bagi para siswa yang performansinya termasuk paling rendah di kelasnya. Dalam kelas-kelas khusus ini, para guru berdedikasi membantu para siswa hingga setelah jam sekolah usai.
Saat ini merupakan saat-saat krusial bagi bangsa ini. Kebobrokan terus mencuat dan terbongkar. Perbaikan terus-menerus akan mampu membuka jalan menuju impian bangsa ini. Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi pemula, namun bagi pemenang pencarian diakhiri dengan ujian berat. Percayalah saat-saat paling gelap adalah saat menjelang fajar (P. Coelho)
Daftar pustaka
Pareira, Dr. 2003. Pendidikan Nilai di Tengah Arus Globalisasi. Malang: STFT Widya Sasana
http://www.economist.com/PrinterFriendly.cfm?story_id=9989914
Regus M, Pr. 2004. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor.
“Talk show” Cerdaskan Umat Mandirikan Bangsa: Prespektif Pendidikan, di Senayan, Jakarta, Kamis (5/3). Pembicara Arief Rachman (pakar pendidikan) dan Rahmat Kurnia (Dosen IPB).
Muhaimin, Yahya. Dilamar Doktor, Periksa dulu Perguruan Tingginya. Jawa Pos. 23 Januari 2000
Sindhuanata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Surabaya: UNESA University Press
Pidarta, Made. 2008. Supervisi Pendidikan Kontekstual. Surabaya: UNESA University Press
Sagala, Syaiful. 2008. Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
karir
PENGERTIAN KARIR
Setiap orang pada umumnya memerlukan lapangan pekerjaan serta mendambakan untuk berhasil dalam pekerjaan yang ditekuninya. Karir seseorang bukanlah hanya sekedar pekerjaan apa yang telah dijabatnya, melainkan suatu pekerjaan atau jabatan yang benar-benar sesuai dan cocok dengan potensi-potensi diri dari orang-orang yang menjabatnya. Karir merupakan sekuensi okupasi-okupasi di mana seseorang ikut serta di dalamnya. Beberapa orang mungkin tetap dalam okupasi yang sama sepanjang tahap-tahap kehidupannya, sedangkan yang lainnya mungkin memiliki rangkaian okupasi-okupasi yang begitu berbeda (Mohammad T. Manrihu, 1992:31).
Di sisi yang lain, C.L.Murray dalam Euis Muharomah (1997:25) mendefinisikan karir sebagai suatu jenjang pekerjaan yang saling berhubungan dengan usaha seseorang guna memajukan kehidupannya, dengan melibatkan berbagai: perilaku; kemampuan; sikap; maupun aspirasi atau cita-cita; sebagai rentangan hidupnya. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karir dijelaskan sebagai “Perkembangan dan kemajuan di kehidupan pekerjaan, jabatan, dan sebagainya. Atau karir adalah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju”.
Pengertian karir di atas menjadi sukar dipahami tanpa memahami beberapa pengertian dasar yang melingkupi pengertian karir itu sendiri. Adapun pengertian dasar yang dapat dipaparkan, berkaitan dengan pemilihan karir adalah sebagai berikut; pekerjaan (Job) adalah aktivitas rutin yang dijalani untuk mendapatkan penghasilan. Training dan pendidikan khusus tidaklah selalu diperlukan untuk hal ini. Contoh: seniman advertising, MLM agent, marketing representative, pedagang, semua yang tidak membutuhkan gelar khusus merupakan pekerjaan.
Profesi (Profession) adalah okupasi/jenis pekerjaan yang memerlukan pelatihan, pendidikan atau prasyarat khusus untuknya. Misalkan saja: bidang hukum, kedokteran, arsitek, guru, dan sebagainya. Sehingga kemudian muncullah istilah profesional untuk mereka yang menekuni profesi ini. Contohnya adalah; dokter, pengacara, insinyur bangunan, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dimengerti bahwa seseorang dapat diakui berprofesi sebagai pembalap, pelukis, penyanyi, pembawa acara, dan sebagainya, manakala dalam menjalani profesi itu dia harus mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu serta harus memenuhi persyaratan tertentu pula.
Setelah memahami pemaparan singkat di atas, barulah kita dapat mencoba mendefinisikan karir secara lebih utuh. Karir adalah perjalanan panjang yang berjenjang, terkait dengan pembentukan dan eksploitasi optimal dari: pengetahuan; keterampilan; dan pengalaman. Pemenuhan karir di sini, terdapat upaya sadar untuk meningkatkan kompetensi profesional yang terkait erat dengan tangga pencapaian profesional dan tahapan perkembangan sebuah pekerjaan atau profesi tertentu, dari yang novice menjadi expert.
Setiap orang pada umumnya memerlukan lapangan pekerjaan serta mendambakan untuk berhasil dalam pekerjaan yang ditekuninya. Karir seseorang bukanlah hanya sekedar pekerjaan apa yang telah dijabatnya, melainkan suatu pekerjaan atau jabatan yang benar-benar sesuai dan cocok dengan potensi-potensi diri dari orang-orang yang menjabatnya. Karir merupakan sekuensi okupasi-okupasi di mana seseorang ikut serta di dalamnya. Beberapa orang mungkin tetap dalam okupasi yang sama sepanjang tahap-tahap kehidupannya, sedangkan yang lainnya mungkin memiliki rangkaian okupasi-okupasi yang begitu berbeda (Mohammad T. Manrihu, 1992:31).
Di sisi yang lain, C.L.Murray dalam Euis Muharomah (1997:25) mendefinisikan karir sebagai suatu jenjang pekerjaan yang saling berhubungan dengan usaha seseorang guna memajukan kehidupannya, dengan melibatkan berbagai: perilaku; kemampuan; sikap; maupun aspirasi atau cita-cita; sebagai rentangan hidupnya. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karir dijelaskan sebagai “Perkembangan dan kemajuan di kehidupan pekerjaan, jabatan, dan sebagainya. Atau karir adalah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju”.
Pengertian karir di atas menjadi sukar dipahami tanpa memahami beberapa pengertian dasar yang melingkupi pengertian karir itu sendiri. Adapun pengertian dasar yang dapat dipaparkan, berkaitan dengan pemilihan karir adalah sebagai berikut; pekerjaan (Job) adalah aktivitas rutin yang dijalani untuk mendapatkan penghasilan. Training dan pendidikan khusus tidaklah selalu diperlukan untuk hal ini. Contoh: seniman advertising, MLM agent, marketing representative, pedagang, semua yang tidak membutuhkan gelar khusus merupakan pekerjaan.
Profesi (Profession) adalah okupasi/jenis pekerjaan yang memerlukan pelatihan, pendidikan atau prasyarat khusus untuknya. Misalkan saja: bidang hukum, kedokteran, arsitek, guru, dan sebagainya. Sehingga kemudian muncullah istilah profesional untuk mereka yang menekuni profesi ini. Contohnya adalah; dokter, pengacara, insinyur bangunan, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dimengerti bahwa seseorang dapat diakui berprofesi sebagai pembalap, pelukis, penyanyi, pembawa acara, dan sebagainya, manakala dalam menjalani profesi itu dia harus mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu serta harus memenuhi persyaratan tertentu pula.
Setelah memahami pemaparan singkat di atas, barulah kita dapat mencoba mendefinisikan karir secara lebih utuh. Karir adalah perjalanan panjang yang berjenjang, terkait dengan pembentukan dan eksploitasi optimal dari: pengetahuan; keterampilan; dan pengalaman. Pemenuhan karir di sini, terdapat upaya sadar untuk meningkatkan kompetensi profesional yang terkait erat dengan tangga pencapaian profesional dan tahapan perkembangan sebuah pekerjaan atau profesi tertentu, dari yang novice menjadi expert.
science & research
Science and research
Science atau ilmu adalah pengetahuan tentang fakta-fakta, baik natura atau social yang berlaku umum dan sistematis. Ilmu membentuk kebiasaan serta meningkatkan keterampilan observasi, eksperimentasi, klasifikasi, analisis, serta membuat generalisasi terhadap suatu hal tertentu.
Sedangkan research adalah proses mencari kembali secara hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip. Research bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima, ataupun mengubah dalil-dalil dengan adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut.
Pada prinsipnya science and research merupakan suatu hal yang berhubungan secara erat. Menurut Almack (1930), hubungan antara science and research adalah seperti sebuah hasil dan proses menuju hasil itu sendiri.
Dimension of research
Secara umum research dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu basic research dan applied (practical) research.
Basic research, suatu pencarian terhadap sesuatu karena terdapat perhatian dan keingintahuan terhadap hasil suatu aktifitas. Pencarian ini dikerjakan tanpa memikirkan ujung praktis atau terapan. Hasil dari pencarian ini adalah pengetahuan umum dan pengertian-pengertian tentang alam serta hukum-hukumnya.
Applied (practical) research, pencarian kembali secara hati-hati, sistematik dan terus-menerus terhadap suatu masalah yang dirasa penting dan mendesak bagi masyarakat. Hasil dari research tidak perlu sebagai suatu penemuan baru, namun lebih mengutamakan aplikasi baru dari research yang telah ada. Charters (1925) memberikan lima buah langkah dalam melaksanakan applied (practical) research. Kelima langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sesuatu yang sedang diperlukan, dipelajari, diukur, dan diteliti kembali untuk research.
2. Telah menemukan satu atau beberapa kelemahan suatu ilmu tertentu, maka seorang penelitiu memutuskan untuk melakukan research.
3. Biasanya dilakukan pemecahan dalam laboraturium.
4. Melakukan modifikasi guna penerapan.
5. Hasil dari research dipertahankan dan ditempatkan dalam suatu kesatuan, sehingga ia menjadi bagian yang permanen dari suatu system tertentu.
The purpose of study
Tidak selamanya seseorang belajar melalui science dan research. Sampai saat ini masih banyak orang yang menggunakan cara-cara yang lainnya. Adapun cara-caranya adalah sebagai berikut:
1. Kebetulan, terkadang cara ini dapat digunakan untuk mendapatkan kebenaran yang diinginkan. Namun seringkali penggunaan cara ini membuat seseorang menjadi tertipu karena hubungan yang seakan-akan ada, padahal hubungan tersebut berdiri sendiri-sendiri.
2. Common sense, cara ini lebih sering digunakan seseorang tergantung dari kepentingan yang menggunakannya. Maka tidak jarang seseorang mempersempit pengamatan kepada hal-hal yang bersifat negative saja.
3. Wahyu, cara ini hanya digunakan para nabi dan rasul.
4. Intuitif, kebenaran diperoleh secara cepat melalui proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir, maupun melalui suatu perenungan. Kebenaran ini sangat sukar dipercaya, karena tidak terdapat langkah yang sistematis dalam mendapatkannya.
5. Trial and error, melakukan sesuatu secara aktif dengan mengulang-ulang pekerjaan tersebut secara berkali-kali dengan menukar-nukar cara dan materi. Cara ini memakan waktu yang panjang, memerlukan biaya yang sangat tinggi, dan selalu dalam keadaan meraba-raba.
6. Spekulasi, cara yang mempunyai suatu pertimbangan, namun pertimbangan tersebut kurang dipikirkan secara matang, namun dikerjakan dalam suasana penuh dengan resiko.
7. Kewibawaan, pendapat dari seseorang yang dipercaya kredibilitasnya akan dianggap sebagai suatu kebenaran.
The use of research
1. Description, digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara suatu hal, mendefinisikan, dan mengkategorikannya.
2. Prediction, lebih digunakan untuk meramalkan yang akan terjadi pada suatu hal tertentu jika terdapat hal-hal yang mempengaruhinya.
3. Understanding and explaining, lebih digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena secara komprehensif agar dapat dimengerti secara lebih mendalam.
The time dimension of research
Suatu ilmu pengetahuan idealnya selalu diperbaharui setiap saat. Zaman berkembang dengan cepat, maka ilmu pun juga tidak boleh kalah begitu saja tergilas oleh zaman. Tak ubahnya dengan research. Maka kaum ilmuwan dan peneliti selalu memperbaharui informasi dengan melakukan research dan dilaporkan dalam berbagai bentuk, seperti: jurnal, tesis, maupun buku.
Data collection techniques used 3
Media yang digunakan dalam pengumpulan data, idealnya menggunakan triangulasi data. Data dapat dikumpulkan melalui observasi dan test-surveys, significant others, maupun dengan tinjauan pustaka. Data yang baik minimum didapatkan melalui kedua cara yang disebutkan di atas.
Science atau ilmu adalah pengetahuan tentang fakta-fakta, baik natura atau social yang berlaku umum dan sistematis. Ilmu membentuk kebiasaan serta meningkatkan keterampilan observasi, eksperimentasi, klasifikasi, analisis, serta membuat generalisasi terhadap suatu hal tertentu.
Sedangkan research adalah proses mencari kembali secara hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip. Research bertujuan untuk mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah diterima, ataupun mengubah dalil-dalil dengan adanya aplikasi baru dari dalil-dalil tersebut.
Pada prinsipnya science and research merupakan suatu hal yang berhubungan secara erat. Menurut Almack (1930), hubungan antara science and research adalah seperti sebuah hasil dan proses menuju hasil itu sendiri.
Dimension of research
Secara umum research dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu basic research dan applied (practical) research.
Basic research, suatu pencarian terhadap sesuatu karena terdapat perhatian dan keingintahuan terhadap hasil suatu aktifitas. Pencarian ini dikerjakan tanpa memikirkan ujung praktis atau terapan. Hasil dari pencarian ini adalah pengetahuan umum dan pengertian-pengertian tentang alam serta hukum-hukumnya.
Applied (practical) research, pencarian kembali secara hati-hati, sistematik dan terus-menerus terhadap suatu masalah yang dirasa penting dan mendesak bagi masyarakat. Hasil dari research tidak perlu sebagai suatu penemuan baru, namun lebih mengutamakan aplikasi baru dari research yang telah ada. Charters (1925) memberikan lima buah langkah dalam melaksanakan applied (practical) research. Kelima langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sesuatu yang sedang diperlukan, dipelajari, diukur, dan diteliti kembali untuk research.
2. Telah menemukan satu atau beberapa kelemahan suatu ilmu tertentu, maka seorang penelitiu memutuskan untuk melakukan research.
3. Biasanya dilakukan pemecahan dalam laboraturium.
4. Melakukan modifikasi guna penerapan.
5. Hasil dari research dipertahankan dan ditempatkan dalam suatu kesatuan, sehingga ia menjadi bagian yang permanen dari suatu system tertentu.
The purpose of study
Tidak selamanya seseorang belajar melalui science dan research. Sampai saat ini masih banyak orang yang menggunakan cara-cara yang lainnya. Adapun cara-caranya adalah sebagai berikut:
1. Kebetulan, terkadang cara ini dapat digunakan untuk mendapatkan kebenaran yang diinginkan. Namun seringkali penggunaan cara ini membuat seseorang menjadi tertipu karena hubungan yang seakan-akan ada, padahal hubungan tersebut berdiri sendiri-sendiri.
2. Common sense, cara ini lebih sering digunakan seseorang tergantung dari kepentingan yang menggunakannya. Maka tidak jarang seseorang mempersempit pengamatan kepada hal-hal yang bersifat negative saja.
3. Wahyu, cara ini hanya digunakan para nabi dan rasul.
4. Intuitif, kebenaran diperoleh secara cepat melalui proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir, maupun melalui suatu perenungan. Kebenaran ini sangat sukar dipercaya, karena tidak terdapat langkah yang sistematis dalam mendapatkannya.
5. Trial and error, melakukan sesuatu secara aktif dengan mengulang-ulang pekerjaan tersebut secara berkali-kali dengan menukar-nukar cara dan materi. Cara ini memakan waktu yang panjang, memerlukan biaya yang sangat tinggi, dan selalu dalam keadaan meraba-raba.
6. Spekulasi, cara yang mempunyai suatu pertimbangan, namun pertimbangan tersebut kurang dipikirkan secara matang, namun dikerjakan dalam suasana penuh dengan resiko.
7. Kewibawaan, pendapat dari seseorang yang dipercaya kredibilitasnya akan dianggap sebagai suatu kebenaran.
The use of research
1. Description, digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara suatu hal, mendefinisikan, dan mengkategorikannya.
2. Prediction, lebih digunakan untuk meramalkan yang akan terjadi pada suatu hal tertentu jika terdapat hal-hal yang mempengaruhinya.
3. Understanding and explaining, lebih digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena secara komprehensif agar dapat dimengerti secara lebih mendalam.
The time dimension of research
Suatu ilmu pengetahuan idealnya selalu diperbaharui setiap saat. Zaman berkembang dengan cepat, maka ilmu pun juga tidak boleh kalah begitu saja tergilas oleh zaman. Tak ubahnya dengan research. Maka kaum ilmuwan dan peneliti selalu memperbaharui informasi dengan melakukan research dan dilaporkan dalam berbagai bentuk, seperti: jurnal, tesis, maupun buku.
Data collection techniques used 3
Media yang digunakan dalam pengumpulan data, idealnya menggunakan triangulasi data. Data dapat dikumpulkan melalui observasi dan test-surveys, significant others, maupun dengan tinjauan pustaka. Data yang baik minimum didapatkan melalui kedua cara yang disebutkan di atas.
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- J0_@nes
- Surabaya, JATIM, Indonesia
- Aq cuma mw belajar n belajar.... klo da yg menurut temen2 da yg kurang,,,tolong beri tw ya!!!!!