Senin, 09 Agustus 2010

KAPITALISME MENJARAH

Kapitalisme Menyanyikan Pendidikan Indonesia
By Johanes Catur W. P.

Fenomena di sekitar kita, mulai dari plagiarisme, korupsi, nepotisme, mutilasi, dan berbagai tindakan lain yang melanggar hukum pidana maupun perdata terasa makin akrab di sekitar kita. Para pelaku kejahatan diberi sanksi sedemikian berat/ringannya yang cenderung tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran mereka. Bahkan oknum tertentu dari pihak yang berwajib turut melakukan pelanggaran secara sengaja telah menjadi suatu hal yang wajar. Sedemikian buruknya citra aparat beserta sistem pemerintahan kita saat ini.
Kondisi di atas terjadi dan seakan dilestarikan, karena para pihak yang mengetahui hal-hal yang terkait hukum menjadikannya sebagai media untuk melancarkan niatan buruk mereka. Merubah undang-undang ataupun aturan yang terkait, yang dirasa akan mengancam sepak terbangnya untuk menipu rakyat dan bangsa ini. Apakah akar permasalahannya? Siapakah yang bertanggung jawab terkait dengan hal ini? Adakah solusi yang dapat ditawarkan dewasa ini?
Akar permasalahan di atas adalah “pendidikan” kita. Mulai dari sistem, pengajar, pelajar, sampai dengan kuatnya arus globalisasi. Dan yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah bangsa Indonesia seluruhnya. Solusi yang dapat ditawarkan, diantaranya adalah pendidikan nilai sejak dini dan perombakan “pendidikan” secara keseluruhan untuk kembali ke tujuan dan kaedah dasar pendidikan yang berlandaskan PANCASILA sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.
Isi paparan di atas lebih condong menyoroti perkembangan pendidikan bangsa ini. Mengupas pendidikan bangsa ini hanya mampu dilakukan jika merujuk kembali pada sejarah pendidikan yang telah terlaksana. Seperti kata Bung Karno,”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Paparan Singkat Perkembangan Pendidikan di Indonesia.
Sebelum dimulainya era penjajahan, bangsa kita telah mengenal dan mengimplementasikan pendidikan di segala bidang kehidupan masyarakat kita. Kata kunci pada jaman ini adalah kebudayaan orisinil. Pada era ini, masyarakat disatukan oleh kerajaan yang berkuasa pada jamannya. Memang tidak semua memperoleh pendidikan yang setara (hanya kaum ningrat dan perangkat kerajaan), namun hubungan antara masyarakat cukup terbina dengan erat dan baik pada jaman itu. Orientasi pendidikan saat itu adalah meneruskan kebudayaan yang ada sampai akhir keturunan.
Kemudian memasuki era penjajahan. Kata kuncinya adalah kebudayaan yang lain (catatan: meskipun sebelum memasuki era penjajahan, Indonesia telah mengenal kebudayaan dari luar Indonesia). Secara garis besar mereka yang mampu mengenyam pendidikan adalah mereka yang dekat dengan kaum penjajah. Petani dan sejenisnya tidak akan mampu untuk membayar, bahkan sekalipun mampu akan mengalami banyak kesulitan untuk mengenyam pendidikan jika tidak mempunyai kedekatan dengan pihak penjajah. Orientasi pendidikan pada era ini adalah melanggengkan penjajahan.
Setelah itu memasuki era kemerdekaan. Pendidikan pada era ini berubah-ubah menyesuaikan pemimpin pemerintahan saat itu, menyesuaikan dengan lingkungan dan tren yang sedang marak pada jamannya. Kebijakan pemerintah mendorong rakyatnya untuk bersikap proaktif terhadap pendidikan. Mulai dipermudah akses untuk memperoleh pendidikan. Orientasi pendidikan pada era ini adalah mengentaskan masyarakat Indonesia pada umumnya dari kebodohan dan melanggengkan kemerdekaan.
Pada tahun 1970-an, Indonesia patut berbangga hati dalam hal pendidikan. Hal ini dikarenakan pada tahun itu, Indonesia merupakan salah satu rujukan utama Negara-negara tetangga (khususnya Asia Tenggara) untuk menimba ilmu atau pendidikan. Namun, kondisi tersebut dengan perlahan meninggalkan bangsa kita. Hal ini dikarenakan terlalu cepat merasa puas diri dan tidak begitu mempertimbangkan perubahan lingkungan yang dengan ganasnya terus berbenah diri. Ketika menyadari hal tersebut, Indonesia telah sangat jauh tertinggal dalam hal pendidikan. Bahkan sekarang telah tertinggal dari negara yang dahulu belajar banyak hal dari kita. Lebih mengenaskan lagi, dewasa ini para doctor ataupun professor dari Indonesia seakan tidak mempunyai nama lagi di mata dunia.
Usaha Nyata
Pembenahan di bidang pendidikan terus gencar dibahas. Para pencinta ilmu mendedikasikan diri guna memformulasikan sistem pendidikan yang dirasa paling tepat guna bersaing di era globalisasi ini. Kurikulum telah sering berganti. Peraturan dan insentif juga terus digalakan. Pelatihan, studi banding dan sekolah ke luar negeri juga tidak ketinggalan. Namun saat ini masih belum dapat menghasilkan outcomes yang sesuai dengan harapan. Memang tidak ada proses menuju sukses yang instan.
Saat kita sedang sibuk mengejar ketertinggalan kita, dunia terus mengembangkan pendidikannya. Secara jujur, sukar rasanya untuk mengejar ketertinggalan itu jika kita terus memfokuskan diri dengan ukuran yang merujuk pada “dunia lain”. Eropa dan Amerika berbenah terkait pendidikannya, kita kemudian baru mencontoh mereka. Kapan akan mampu bersaing????
Kondisi 2003-2007.
Dewasa ini pendidikan secara formal (institusional) telah melebarkan sayapnya hingga merambah balita. Anak kecil yang seharusnya sedang menikmati permainan serta merasakan kehangatan dan kedekatan dengan figure orang tua telah dipaksa sedemikian rupa untuk mulai mengenyam pendidikan secara formal. Namun sangat disayangkan, orang tua dan para pengajar lebih memfokuskan pada hasil instan para murid dan anaknya. Bukanya lebih mengutamakan proses dimana kegagalan dapat menjadi sumber evaluasi diri guna menjadi lebih baik berdasar kesalahan yang telah dilakukan.
Pelajar yang pada hakikatnya merupakan kelompok penduduk yang sedang melakukan tugas atau fungsi tertentu, yakni belajar dalam arti yang luas. Dimana mereka memiliki kepentingan baik untuk dirinya maupun untuk lingkungan dan bangsanya, yakni berproses untuk menjadi lebih baik. Pelajar yang nantinya akan menjadi tumpuan harapan dan andalan masa depan suatu bangsa, telah direduksi oleh beberapa oknum menjadi kambing congek pengejar nilai dan ijazah. Adanya UNAS atau yang sekarang disebut UN adalah salah satu contoh pembodohan yang berkelanjutan. Tidak akan menjadi pembodohan jika letak geografis dan demografis kita tidak seperti ini. Karakteristik pembelajar dan pengajar yang berbeda tiap daerahnya dipaksakan dengan adanya UN malahan akan menjadi “kotak penghambat” laju pendidikan itu sendiri.
Sejauh ini, kita memandang bahwa status, posisi dan urusan pelajar terasa sudah cukup diurus melalui fungsi Pendidikan. Oleh karena itu Departemen pendidikan nasional dan Undang-undang pendidikan nasional menjadi rujukan yang utama dalam mengkaji status, posisi, dan kehidupan pelajar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di dalam Undang-Undang pendidikan nasional misalnya, disebutkan bahwa pelajar dikenal dengan sebutan ‘peserta didik’ yang memiliki hak dan kewajiban tertentu.
Hak yang dimiliki oleh Pelajar seperti tercantum dalam peraturan sistem pendidikan nasional adalah: mendapatkan pendidikan agama; mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; mendapatkan beasiswa; menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, dan lain-lain. Di samping hak tersebut, mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga norma-norma pendidikan dan ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan.
Kondisi 2007-sekarang.
Indonesia seperti sebuah Negara yang mengidap gangguan kecemasan akut yang condong ke paranoid dalam pengelolaan pendidikan. Negara kita yang sudah bangkrut di berbagai bidang dan tidak mampu segera bangkit, masih harus dijejali dengan ragam bencana alam/buatan manusia, diharuskan bersaing dengan tingkat dunia dalam hal pendidikan. Karena ketakutan yang berlebihan ini, para pengambil keputusan membuat pemaksaan konsep pendidikan yang belum teruji secara pasti untuk diimplementasikan dengan segera. Beberapa isu yang saat ini patut dikaji oleh para praktisi pendidikan adalah konsep Sekolah Berstandart Internasional ataupu PAUD. Konsep tersebut merupakan konsep agar pendidikan kita setaraf dengan pendidikan global atau pendidikan kita diarahkan ke kapitalisme?
Bau tak sedap proyek SBI ataupun PAUD adalah proyek basah yang akan menjadi rebutan banyak pihak. Para pengelola akan menaikkan tarif dana masuk ke lembaganya dengan berbagai dalih. Demikian pula dengan pemerintah, ia juga akan mengeluarkan dana yang sangat besar dengan berbagai alasan. Dari model ini akan tumbuh subur proyek manipulasi data, manipulasi kerja dan manipulasi out put pendidikan. Dan jika proyek ini memberi dampak materi pada para pengelola proyek pasti akan dipertahankan dan direbutkan tanpa harus mau mendengar kritik ataupun saran dari pihak lain.
Kebijakan pro pendidikan terus digalakkan, namun ide anti pendidikan yang dijalankan. Memprihatinkan memang. Pendidikan dengan lugas dan berani terus meninggi biayanya. Bahkan jika secara ekstrim, diperhitungkan biaya pendidikan mulai dari Play group sampai sarjana strata 1 bisa mencapai lebih dari dua ratus juta. Hal itu belum ditambahkan biaya les privat, seminar, dan sebagainya.
Sebagai contoh yang lainnya adalah disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP. Berbagai kalangan melihat UUBHP menjadi alat justifikasi lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi melegalkan untuk meraup dana dari para peserta didik (mahasiswa) setinggi-tingginya. Meskipun DPR memberikan jaminan bahwa UU BHP tidak akan menyebabkan biaya studi di perguruan tinggi semakin mahal, inipun tampaknya belum bisa diterima bahkan dirasionalkan.
Perlu disadari bersama, pendidikan saat ini sedang mengarah pada bentuk komoditas bisnis. Secara ekstrim dapat kita sebut Pendidikan dinyanyikan oleh kapitalisme. Inilah realitas pendidikan kita yang semakin lama dijadikan ajang untuk meraup keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Putera bangsa yang miskin kian tersisihkan dan sulit melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Legitimasi percepatan pembiayaan semakin tak terbendung. Kampus bisa jadi menjadi ajang bisnis, dengan membangun sarana dan prasarana guna menaikkan biaya dengan dalih ”untuk memperbaiki fasilitas guna mendukung proses pembelajaran”.
Uang dan keuntungan menjadi orientasi utama. Orang miskin dilarang sekolah itu menjadi kenyataan. Anak orang miskin kian terpuruk dan tersisihkan akibat masalah finansial, karena pendidikan bermutu menjadi saingan dan menyisihkan orang-orang yang tak mampu membayar biaya tinggi. Ditambah pemerintah membuka lebar investor (pengusaha) untuk memiliki BHP di dalam negeri dengan bekerjasama dengan lembaga pendidikan. Kalangan mahasiswa dari rakyat kecil tidak terakomodasi dalam ruang lingkup pendidikan elite. Banyak yang tidak mendapat fasilitas dikarenakan tidak mampu membayar biaya.
Pendidikan telah menjadi alat reproduksi untuk menghasilkan budak-budak guna melanggengkan struktur ketimpangan sosial. Kapitalisme tetaplah kapitalisme yang mengeruk keuntungan untuk kelompok tertentu. Hasil pendidikan menjadi ajang perdagangan layaknya budak, kapitalisme sebagai ideologinya yang bermain mengelola pendidikan dan lembaganya sebagai ajang bisnis oriented.
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, mulai dari orang awam, bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. Benarkah demikian? Pernyataan yang keliru, mereka yang berbicara seperti itu sudah pasti tidak pernah menilik kondisi di luar Indonesia. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diakses oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya dengan kualitas yang meyakinkan.
Solusi yang Ditawarkan
1. Meningkatkan anggaran pendidikan. Namun hal ini tidak menjamin akan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini sama seperti yang dilakukan Inggris.
2. Menyediakan gaji di atas rata-rata untuk profesi guru. Hal ini dilakukan agar mendapatkan guru-guru yang berkualitas, layaknya strategi yang dipakai Amerika.
Namun ternyata kedua negara tersebut bukanlah negara-negara dengan prestasi pendidikan tertinggi, setidaknya jika dinilai berdasarkan prestasi murid sekolah dasarnya. Negara-negara terbaik dalam kategori ini adalah Kanada, Finlandia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Menurut McKinsey -perusahaan konsultan yang terbiasa dimintai advis oleh perusahaan dan pihak pemerintahan-, terdapat tiga strategi utama:
• Pastikan mendapatkan guru dengan kualitas terbaik
Negara Jerman, Spanyol, Swiss menyediakan gaji guru lebih tinggi dari rata-rata, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, strategi yang dijalankan Singapura dan Finlandia cukup sederhana, yaitu: mengatur jumlah kursi masuk yang tersedia di institusi pelatihan menjadi guru (di Indonesia, dulu disebut IKIP) dibatasi, cukup hanya sebanyak jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Dengan demikian, saringan masuk menjadi terjaga kualitasnya, para guru yang lulus dari pelatihan tersebut dijamin mendapat pekerjaan, negara tidak perlu menyediakan gaji di atas rata-rata bagi para guru, sementara status profesi guru di masyarakat pun menjadi tinggi.
• Ciptakan suasana kondusif agar para guru terpilih tersebut mengeluarkan kemampuan terbaiknya
Negara Jepang memiliki strategi cukup unik, yaitu mereka menyediakan forum antar guru. Dimana mereka dapat bertukar informasi, baik keberhasilan dalam menerapkan tips tertentu dalam mengajar maupun kesulitan praktis yang dihadapi di lapangan. Ini berbeda dengan di Amerika, misalnya, di mana kesuksesan seorang guru yang inovatif tidak menular ke guru-guru lainnya, karena memang tidak ada wadah yang kondusif untuk itu.
• Segera beri bantuan khusus bagi para siswa yang tertinggal, segera begitu mereka membutuhkannya
Resep yang ketiga diimplementasikan oleh Singapura, misalnya, dengan cara menyediakan kelas khusus bagi para siswa yang performansinya termasuk paling rendah di kelasnya. Dalam kelas-kelas khusus ini, para guru berdedikasi membantu para siswa hingga setelah jam sekolah usai.
Saat ini merupakan saat-saat krusial bagi bangsa ini. Kebobrokan terus mencuat dan terbongkar. Perbaikan terus-menerus akan mampu membuka jalan menuju impian bangsa ini. Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi pemula, namun bagi pemenang pencarian diakhiri dengan ujian berat. Percayalah saat-saat paling gelap adalah saat menjelang fajar (P. Coelho)


Daftar pustaka

Pareira, Dr. 2003. Pendidikan Nilai di Tengah Arus Globalisasi. Malang: STFT Widya Sasana
http://www.economist.com/PrinterFriendly.cfm?story_id=9989914
Regus M, Pr. 2004. Sketsa Nurani Anak Bangsa. Jakarta: Obor.
“Talk show” Cerdaskan Umat Mandirikan Bangsa: Prespektif Pendidikan, di Senayan, Jakarta, Kamis (5/3). Pembicara Arief Rachman (pakar pendidikan) dan Rahmat Kurnia (Dosen IPB).
Muhaimin, Yahya. Dilamar Doktor, Periksa dulu Perguruan Tingginya. Jawa Pos. 23 Januari 2000
Sindhuanata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Pidarta, Made. 2007. Wawasan Pendidikan. Surabaya: UNESA University Press
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Surabaya: UNESA University Press
Pidarta, Made. 2008. Supervisi Pendidikan Kontekstual. Surabaya: UNESA University Press
Sagala, Syaiful. 2008. Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, JATIM, Indonesia
Aq cuma mw belajar n belajar.... klo da yg menurut temen2 da yg kurang,,,tolong beri tw ya!!!!!