Kamis, 11 September 2008

humans

Hidup adalah persoalan bagaimana manusia menentukan pilihan dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Di sinilah letak otentisitas manusia. Hidup adalah permainan yang memaksa siapapun yang terlempar ke dalamnya untuk ikut bermain hingga babak yang mesti dilakoninya usai. Dalam hidup, masing-masing individu memiliki permainannya sendiri, pencarian manusia akan hakikat hidupnya dan pemahamannya atas hikmah tersembunyi yang dianugerahkan Tuhan di balik peristiwa-peristiwa kehidupan. Hasil belajar ini kemudian menjadi bekal bagi individu untuk menjalani `permainan' kehidupannya. Individu harus menghadapi pula kenyataan bahwa hidup adalah soal seberapa otentik `Diri' memainkan peran. Hidup dalam kesadaran yang otentik akan eksistensinya yang khas sebagai manusia itulah yang paling sulit. Menurut Kierkegaard, salah seorang filsuf eksistensialis, manusia adalah pengada yang memiliki kesadaran, bukan saja terhadap apa yang ada di sekitarnya, melainkan juga kesadaran atas diri dan eksistensinya sendiri. Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk melampaui segala bentuk hasrat-hasrat spontan, yang seringkali mendikte dirinya. Kesadaran dan refleksi akan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengatur, dan memproyeksikan hidupnya ke masa depan. Kesadaran, dengan demikian, menjadi basis bagi kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya dan menjadi dirinya sendiri. Lalu, mengapa manusia perlu menjadi diri sendiri? Karena manusia memiliki roh, demikian tulis Kierkegaard. Roh, di dalam diri manusia, menyadari dirinya sendiri sebagai sebuah sintesa antara yang mewaktu dan yang abadi. Relasi antara yang mewaktu dan yang abadi di dalam diri manusia inilah yang terus menerus dihadirkan oleh roh ini. Itulah Diri manusia. Otentisitas merupakan salah satu kajian penting dalam Psikologi Humanistik. Humanistik yang berpusat pada ”manusia” sangat terbantu dengan otentisitas. Otentisitas dapat menjadi landasan transendensi diri, maupun self determinism. Seseorang yang mengerti keadaan diri, lingkungan, dan apa saja yang akan dilakukan, serta mampu untuk mengikuti kata hatinya dan memiliki norma yang berlaku untuk dirinya secara pribadi akan membuat seseorang menjadi otentik, yang berbeda dan unik. Hal ini akan mendorong untuk dapat memaknai semua hal ( transendensi ), serta mempunyai kekuatan untuk menentukan dirinya sendiri tanpa adanya intervensi dari fungsi kognitif, memori, dan intelektual yang berlaku di masyarakat. Otentisitas ini pula yang membuat karakter dari orang-orang tertentu tak pernah mati meski jasad mereka tak ada lagi di dunia. Karakter mereka tetap hidup dan menjadi spirit bagi banyak orang, jauh melampaui jamannya. Untuk dapat mengetahui makna otentisitas pada masa kini, berdasarkan fakta-fakta yang ada, perlu mengetahui kondisi masa lalu dan kekinian itu sendiri. Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh kepribadian yang banyak beredar di sekitar kita, seperti ; bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, atau kita bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan oleh orang lain. Anthony Synott (1993) berhasil memberikan penjelasan yang bagus tentang rambut. Dalam beberapa hal, rambut tidak sekedar berarti simbol seks penanda laki-laki dan perempuan. Ia juga simbol gerakan politik kebudayaan tertentu. Menurutnya, model rambut yang berbeda menandakan model ideologi yang berbeda pula. Tahun 50-an yang membawa iklim pertumbuhan dan kemakmuran di Amerika ikut menghembuskan kebebasan ekspresi individual baru termasuk jenis model rambut baru. Model rambut yang dibentuk menyerupai ekor bebek menjadi sangat populer saat itu. Tokoh-tokoh utama jenis rambut ini adalah Elvis Presley dan Tony Curtis. Setelah itu berlangsunglah era model rambut beatnik look yang dipelopori oleh James Dean dan Marlon Brando. The Hippies yang populer pada tahun 60-an, tidak hanya dikenal berkat gerakan-gerakan protesnya menentang norma-norma seksual yang puritan, etika protestan, gerakan-gerakan mahasiswa menentang perang, anti senjata nuklir, anti masyarakat yang fasis, militeris, birokratis, tidak manusiawi dan tidak natural, tetapi juga mendunia lewat simbol-simbol yang dikenakannya. Kalung manik-manik, celana jins, kaftan ( jubah longgar sepanjang betis ) yang pada awalnya merupakan pakaian tradisional Turki, sandal, jaket dan mantel yang dijahit dan disulam sendiri, untuk membedakan mereka dengan golongan orang-orang yang memakai setelan resmi dan berdasi. Kaftan banyak digunakan sebagai pakaian khas orang-orang hippies karena jenis pakaian ini biasanya berharga murah, sehingga tidak berkesan borjuis, dan membebaskan pemakainya dari kungkungan kerah, kancing dan ikat pinggang yang ketat. Dan simbol yang paling mencolok adalah rambut mereka yang panjang dan lurus. Rambut-rambut yang natural, tanpa cat, tanpa alat pengeriting, tanpa dihiasi dengan pernik-pernik apapun, tanpa wig. Kaum laki-laki hippies juga memelihara rambut panjang, lengkap dengan janggut dan kumis yang dibiarkan tumbuh lebat tanpa dipotong. Ini yang membedakan mereka dari golongan orang tua mereka. Sepuluh tahun kemudian gaya hippies yang pada awalnya tumbuh untuk menentang kemapanan ini mendapat serangan dari golongan The Skinheads . Sama halnya dengan kaum hippies, orang-orang skinheads juga menentang kemapanan meskipun dengan alasan yang berbeda. Awalnya, skinheads adalah term slang untuk menunjuk pada orang-orang yang botak dan gundul. Kaum skinheads biasanya berasal dari kelas pekerja. Skinheads khususnya ditujukan untuk menentang golongan mahasiswa kelas menengah yang berambut panjang, orang-orang Asia dan kaum gay. Skinheads membenci orang-orang hippies, khususnya kaum laki-laki hippies. Mereka sering mengolok-olok kaum laki-laki hippies sebagai orang yang keperempuan-perempuanan dan aneh: dengan dandanan rambut panjang, pakaian bermotif bunga-bunga, manik-manik, dan sandal, sering membagi-bagikan bunga kepada polisi saat demonstrasi, pasif, malas, dan lemah. Pada awal kemunculannya di tahun 1968 dan 1969 sampai tahun 1970-an awal, skinheads biasanya memakai celana jins pudar yang digulung sampai di atas pergelangan kaki, sepatu militer jenis boover boots atau sepatu boot kulit merek Dr. Marten, t-shirt yang memamerkan slogan afiliasi gerakan politik atau organisasi sepak bola tertentu, jaket yang bertuliskan ‘skins' di belakangnya, dan rambut yang dicukur sangat pendek. Beberapa orang skinheads yang mengenakan sepatu boover boot memang pernah bergabung dengan kesatuan militer, sementara beberapa pemakai yang lain memakainya dengan alasan supaya bisa menendang lebih kuat. Dengan ciri sepatu jenis inilah maka mereka juga mendapat julukan boover boys . Perempuan skinheads juga mengenakan dandanan yang sama, hanya saja biasanya mereka menyisakan sedikit kuncir rambut di bagian belakang dan samping. Pada tahun 1975 muncullah kaum punk . Penampilan kaum punk ini seringkali dikacaukan dengan kaum skinheads. Term punk sendiri adalah bahasa slang untuk menyebut penjahat atau perusak. Sama seperti para pendahulunya, kaum punk juga menyatakan dirinya lewat dandanan pakaian dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan dirinya sebagai golongan yang anti-fashion, dengan semangat dan etos kerja ‘semuanya dikerjakan sendiri' ( do-it-yourself ) yang tinggi. Ciri khas dari punk adalah celana jins sobek-sobek, peniti cantel ( safety pins ) yang dicantelkan atau dikenakan di telinga, pipi, asesoris lain seperti swastika, salib, kalung anjing, dan model rambut spike-top dan mohican . Model rambut spike-top atau model rambut yang dibentuk menyerupai paku-paku berduri adalah model rambut standar kaum punk. Sementara model rambut mohican atau biasa disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang menggabungkan gaya spike-top dengan cukuran di bagian belakang dan samping untuk menghasilkan efek bentuk bulu-bulu yang tinggi atau sekumpulan kerucut, hanya dipakai oleh sedikit penganut punk. Kadang-kadang mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink, ungu, dan oranye. Gaya casuals dipelopori oleh kelompok anak muda kalangan atas yang mempunyai tingkat pekerjaan dan pendidikan lebih tinggi sebagai lawan dari kalangan skinheads yang biasanya berada dalam posisi sosial kurang menguntungkan. Mereka biasanya mengenakan setelan pakaian santai atau pakaian sports yang bermerk mahal. Basis pakaian para perempuannya adalah pakaian laki-laki seperti cardigans atau celana pantalon. Suatu jenis gaya atau kelompok yang juga memainkan peranan penting dalam kebudayaan anak-anak muda adalah rockers . Kelompok rockers ini biasanya dijuluki juga sebagai leather boys karena ciri khasnya memakai jaket kulit, celana jins ketat, rambut panjang, asesoris serba metal, pemuja fanatik musik rock, dan di awal kemunculannya kerap diidentikkan dengan sepeda motor besar. Penampilan mereka yang tampak liar dan keras ini tentu saja secara substansial sangat berbeda dengan penampilan para teddy boy yang sangat dandy dan flamboyan: sepatu kulit mengkilap serta jas dan blazer yang rapi. Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh: gaya pakaian, gaya rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih dari sekedar demonstrasi penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. Sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa globalisasi berperanan besar dalam penyebaran gaya ke seluruh dunia meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Globalisasi beserta seluruh perangkat penyebarannya, televisi, majalah, dan bentuk-bentuk media massa yang lain, juga menyebabkan peniruan gaya yang sama, tetapi dengan kesadaran yang samasekali berbeda dengan konteks sejarah awalnya. Jadi, para anak muda yang mengenakan dandanan serba punk di Indonesia ini sangat mungkin diilhami oleh sesuatu yang sangat berbeda dengan generasi punk pendahulu mereka di negara asalnya. Sampai tahap ini, kita bisa melihat adanya hubungan yang kompleks antara tubuh, fesyen, gaya dan penampilan, serta identitas kepribadian yang ingin dikukuhkan oleh seseorang. Pembentukan identitas bukan persoalan sederhana. Ia tidak pernah bergerak secara otonom atau berjalan atas inisiatif diri sendiri, tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang beroperasi bersama-sama. Faktor-faktor tersebut bisa diidentifikasi sebagai kreativitas, bahwa semua orang diwajibkan untuk kreatif supaya tampak berbeda dan dianggap berbeda pula. Kemudian ada faktor pengaruh ideologi kelompok dan tekanan teman sepermainan sebaya. Di sini, persoalan merek sepatu atau jenis pakaian bisa jadi persoalan besar karena ikut menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu atau tidak. Faktor-faktor lainnya adalah status sosial, bombardir iklan-iklan media, serta unsur kesenangan ( pleasure dan fun ). Unsur kesenangan ini bisa dipakai untuk menjelaskan dan memahami kelompok anak muda yang mengadopsi, mengkonsumsi atau mencampurkan berbagai macam gaya dengan tanpa referensi jelas terhadap makna asalnya. Gaya menjadi kolase-kolase. Hanya penampilan semata. Hanya fashion. Otentisitas telah diabaikan, tidak bermakna dan menghilang secara perlahan sesuai kemajuan jaman. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini, lebih berkembang meninggalkan era otentisitas. Bukankah kita tidak dapat menjadi otentik?? Dilema otentisitas adalah bagaimana bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menolak pluralitas dan mengesampingkan "unsur lain". Apakah ini berarti bahwa otentisitas harus berakhir pada relativisme karena setiap orang adalah "anak haram sejarah", seperti kata Salman Rushdie. Apakah otentisitas harus menyediakan keragaman tanpa batas; sebuah (dalam kata-kata Rushdi lagi) "perayaan pemblasteran dan mempertakuti kemutlakan Kemurnian". Dalam dunia sosial, orang dapat begitu saja terlarut di dalam publik, kerumunan, dan sistem sosial, sehingga lupa pada pencarian identitas dan otentisitas hidupnya. Negara yang menghomogenisasi rakyatnya dari sudut agama maupun etnik, atau lingkungan kerja otoriter, yang menuntut kesetiaan total dari seorang individu, merupakan musuh bagi identitas serta otentisitas hidup seseorang. Resiko yang dapat muncul jika orang hidup di lingkungan seperti itu adalah kehilangan jati diri. Jika sudah seperti itu, orang tidak lagi memiliki keberanian untuk menyatakan siapa dirinya, dan apa yang dipikirkannya. Bahkan, individu-individu yang sudah hidup terlarut di dalam ayunan sistem dapat dengan mudah mengidentifikasikan dirinya dengan sistem tersebut. Dalam sistem masyarakat yang secara global bersifat rasional, segala sesuatu sudah mendapatkan tempatnya yang pas. Individu, dengan segala keunikan dan kompleksitasnya, pun terhisap di dalam “gambar besar” dunia manusia tersebut, sehingga manusia kehilangan hakekatnya sebagai mahluk personal, yang memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya sendiri. Mungkin, manusia memang lebih senang hidup terlarut dalam sistem, daripada menyatakan siapa dirinya. Di dalam sistem, individu tidak pernah kesepian, ia selalu berada bersama rekan yang lain, sehingga ia tak perlu berjuang sendiri melawan arus. Ia akan selamat hanya dengan mengikuti saja arus yang mengalir. Tentu saja, ia tidak akan peduli jika hidup yang dihayati hanya begitu-begitu saja, tanpa gairah untuk menghidupinya. Maka tidak salah jika terdapat ungkapan bahwa kita memang tidak dapat menjadi otentik.
Jika seperti itu, apa arti otentisitas bagi kehidupan psikologis kita sebagai manusia yang hidup sekarang??? Berdasarkan uraian sebelumnya, yang harus diubah bukanlah realitas sosial, melainkan sudut pandang individu, atau cara seseorang melihat dirinya sendiri dan dunianya. Kita jangan terlalu berambisi dan terburu-buru ingin mengubah realitas sosial, melainkan carilah dulu jati diri dan identitas diri kita sendiri terlebih dahulu. Mungkin, kita adalah bagian dari permasalahan yang tengah menjangkiti realitas sosial yang kita hidupi. Atau jangan-jangan, justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah!
“Bagaikan naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah”. Di atas puncak gunung, orang dapat melihat keseluruhan pengaturan suatu wilayah. Memang, dari jauh, semuanya kelihatan indah, rapi, dan teratur. Yang tidak tampak dimata kita adalah apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah, atau lebih dalam lagi, apa yang sedang berkecamuk di dalam hati penghuni rumah itu: suami istri yang sedang bertengkar meributkan masalah ekonomi keluarga, seorang pemuda yang sedang putus cinta akibat ditinggal pacarnya, seorang pemudi yang kebingungan menentukan masa depannya, seorang bapak yang baru saja kehilangan pekerjaannya, dan resah harus bagaimana menghidupi keluarganya.
Upaya untuk memahami kehidupan manusia tidak bisa hanya dilakukan secara global saja, melainkan personal dan eksistensial. Pengalaman manusia terlalu kaya dan fluktuatif untuk bisa dipahami secara rasional. Eksistensinya sangat terfragmentasi, sehingga ia merindukan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat menjadi makna bagi hidupnya. Pertanyaan mengenai makna hidup hanya dapat dijawab dengan menengok ke dalam subyektivitas, dan dengan memperhatikan kehidupan spiritual batiniah seseorang. Subyektivitas, menurut seorang filsuf Perancis yang bernama Descartes, terletak di dalam kemampuan manusia berpikir secara logis, rasional, dan terpilah-pilah. Ia merumuskannya dalam sebuah kalimat padat, “Aku berpikir maka aku ada”. Akan tetapi, subyektivitas manusia pun terlalu kaya dan kompleks untuk termuat begitu saja di dalam rumusan itu. Subyetivitas manusia juga menempati dimensi yang berlawanan dengan optimisme Descartes itu, yakni dalam keberaniannya untuk bergulat dengan pilihan-pilihan hidup, pun ketika pilihan tersebut harus dibuat dalam keadaan kurangnya informasi, yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan. Rumusan yang berlawan dengan optimisme kerasionalan manusia itu dipadatkan dalam kalimat berikut, “Aku memilih maka aku ada”. Tugas membuat pilihan ini ada pada setiap manusia, dan berlangsung dalam proses pergulatan batin untuk menentukan sebuah keputusan atau pilihan hidup.
Tokoh lain yang juga berperan penting adalah Freud. Analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Seseorang yang memilih hidup religius dengan sadar dan bertanggung jawab biasanya disertai kerelaan untuk menghayati juga konsekuensi-konsekuensi pilihan hidup ini. Namun pada kenyataannya tiap manusia memiliki kecendrungan juga untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya (dominasi, merawat, mengatur, kepuasan seksual, ingin diperhatikan, agresi, rasa kecil, mencapai hasil, mandiri, menghindari sensor, kontrol atau takut gagal, ingin tahu, menghindari sakit, dll). Ketegangan antara tarikan kebutuhan psikologis dan cita-cita untuk mewujudkan nilai ini kalau tidak dapat diintegrasikan dalam pribadinya akan mempengaruhi hidup afeksi seseorang. Kemampuan untuk mengintegrasikan hidup afeksi dalam hidup akan membuat seseorang makin dewasa (dewasa tidak berarti bahwa kita sempurna dan murni seratus persen, melainkan kemampuan untuk menerima diri dengan segala keterbatasan).
Seperti pembagian unsur-unsur “inner” manusia oleh Sigmund Freud, yang memilah unsur inner manusia dalam tiga bagian besar, yaitu Id yang menggambarkan motor dari dimensi inner untuk mengaktualisasikan kecenderungan jasmaniah manusia, super-ego sebagai motor dari dimensi inner untuk mengaktualisasikan pandangan ideal yang hidup dalam manusia diri manusia sebagai hasil interaksi dengan masyarakatnya (pengalaman sejarahnya). Sedangkan Ego sebagai katalisator, pendamai (kontrol dan penengah) yang ada dalam diri manusia, dalam tekanan dua kekuatan tersebut. Dengan demikian, kondisi inner dalam konteks pemikiran Freudian bukanlah sesuatu yang telah dengan sendirinya ada, melainkan sebagai hasil (terbentuk) dari proses interaksi dengan dunia luar. Interaksi terjadi sebagai kemestian mutlak karena adanya kemestian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “biologis”. Kebutuhan ini kemudian mendapat kekuatan ketika “lembaga psikologis” terbentuk dari potensi rasional dari adanya kemampuan “otak” manusia yang telah mencapai tingkat evolusi tertinggi. Tekanan sosial ini terjadi semenjak sang individu kecil. Tekanan sosial tersebut akhirnya berkarat dan menumpuk dalam wilayah imajinasi yang mengalami penolakkan, ia akhirnya membentuk wilayah bawah sadar manusia. Terbentuknya tiga unsur (dalam pemikiran Freudian) telah melahirkan suatu dinamikan persona (dinamika individu) yang senantiasa bersikap kritis terhadap apa-apa yang dihadapinya. Sikap kritis tersebut muncul sebagai akibat terjadinya suatu dialektika dalam diri manusia. Dinamika yang terjadi karena adanya “interaksi” antar ketiga unsur inner tersebut (Id, Ego dan Super-Ego). Sikap kritis tersebut digambarkan dalam dialog internal seorang individu ketika ia terjebak dalam dua pilihan antara “taat dan mengkuti” atau “menolak” sistem nilai budaya masyarakat yang senantiasa “merongrong” dan menarik dirinya dalam suatu kultur dan mentalitas komunal, atau menolak dan menjadi individu yang menutup diri dari unsur-unsur luar dirinya (sistem nilai budaya). Orang harus mengakui keberadaan makhluk-makhluk yang tidak bisa disangkal eksistensinya. Dari kesadaran, di luar berdiri pula makhluk-makhluk lain yang serupa, orang harus memunculkan sebuah keinginan untuk mencintai makhluk-makhluk tersebut. Kalau tidak, maka pengetahuannya akan tetap mandul dan orang akan tetap terisolasi dalam ego-nya sendiri. Tuntutan untuk hadir dan terlibat dengan orang lain “demi” kebenaran, itulah yang Marcel sebut dengan participation (partisipasi). Pengalaman dalam kesadaranku menjamin berlangsungnya partisipasi. Akibatnya, “aku” terbenam di dalam dunia yang dapat disentuh dan diresapi oleh panca indera dan sebaliknya aku pun diresapi oleh dunia. Oleh rasa tersebut, “aku” mengalami dengan lebih mendalam sifat sosial dari segala sesuatu yang ada. Maka, dalam pengalaman intersubjektif, kita menjadi sadar, esse est xo-esse (ada selalu berarti ada-bersama-sama). Itulah eksistensi manusia. Manusia selalu berada-bersama-dengan-orang lain. Tuntutan untuk “hadir” (present) itu bersifat mutlak agar bisa mendekati dan memakai realitas konkret sebagai titik tolak filsafat. Kehadiran (presentation) mengatasi batas-batas yang berlaku untuk ruang dan waktu. Presence berarti “aku” berjumpa dengan Engkau secara pribadi: suatu ada-bersama, suatu persekutuan (communion) dengannya.karena manusia dengan dunianya memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia. (Zainal A., 2002)
Karena hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia dapat menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau membatasi kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-orang lain atau oleh lingkungannya, maka manusia itu hidup dalam suatu eksistensi yang tidak otentik. Manusia bebas memilih salah satu dari keduanya.
Manusia dapat hidup dengan bebas, akan tetapi bukan berarti tanpa adanya batas-batas. Salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang “dilemparkan”. Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya. Manusia harus hidup sampai nasibnya berakhir untuk mencapai kehidupan yang otentik. Keterlemparan juga diartikan sebagai keadaan diperdaya oleh dunia, dengan akibat orang-orang menjadi terasing dari dirinya sendiri. Akan tetapi ia memiliki kebebasan untuk memilih dan hanya ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri, orang itu sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Status unik manusia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhadap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasan eksistensi manusia didunia. Manusia memiliki kemampuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)
Otentisitas manusia hanya dapat diraih dalam keberaniannya untuk membuat keputusan dan pilihan-pilihan penting dalam hidupnya. Otentisitas harus berpangkal pada kesadaran individu sebagai kesadaran yang unik. Keotentikan mengimplikasikan bahwa pencarian kebenaran harus dimulai dari pengalaman manusia dalam keunikannya yang tak berhingga. Hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan bergearak pada satu arah. Tujuan tersebut tidak ditetapkan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia berkehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Dari berbagai ulasan di atas, dapat kita maknai otentisitas bagi kehidupan psikologis kita sebagai manusia ’sekarang’.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, JATIM, Indonesia
Aq cuma mw belajar n belajar.... klo da yg menurut temen2 da yg kurang,,,tolong beri tw ya!!!!!