Kamis, 11 September 2008

humanistik

Arti dari transendensi

Transendensi
Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.
Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.









Tokoh


Dalam bukunya yang berjudul The Aquarian Conspiracy (1989), Marylin Ferguson mengatakan bahwa Psikologi transpersonal lahir dan tumbuh di tengah-tengah gejolak politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Gerakan yang menuntut persamaan hak, dimulai dari demonstrasi mahasiswa terhadap perang Vietnam sampai gerakan ekologi, pembebasan perempuan, hak-hak kaum homoseksual dan lesbian, melanda seluruh Amerika dan akhirnya merambah ke Eropa. Di bawah gelombang protes tersebut, mengalir arus spiritual yang kuat. Gereja-gereja dari kelompok minoritas kulit hitam memberikan inspirasi bagi gerakan persamaan hak. Gereja-geraja mayoritas pun ikut bergabung berdemonstrasi menentang perang Vietnam. Tokoh-tokoh progresif seperti Jerry Rubin, Michael Rossman, Lou Krupnik, Rennie Davis, dan Noel McInnis melengkapi perjuangan mereka dengan tema-tema spiritual yang akhirnya spiritualitas itu dijadikan sebagai tujuan hidup mereka. Psikologi transpersonal lahir dari prakarsa tokoh-tokoh psikologi yang prihatin terhadap kondisi masyarakat Barat modern waktu itu yang hidup dalam gelimang materi tetapi miskin secara spiritual. Kita dapat menyebut Anthony Sutich, pendiri The Journal of Humanistic Psychology, sebagai pendiri mazhab psikologi transpersonal. Ia mengumpulkan tokoh-tokoh yang punya paham yang sama di rumahnya di California. Mereka membahas secara informal topik-topik yang tidak diperhatikan oleh psikologi humanistik dan gerakan potensi manusia waktu itu. Pertemuan itu dihadiri antara lain, Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik yang mempopulerkan peak experience (pengalaman puncak). Diskusi berlangsung sangat menarik, bukan karena topik yang dibicarakan sangat beragam, melainkan karena Sutich yang memimpin diskusi dalam kondisi berbaring akibat serangan penyakit kronis, yang memimpin diskusi dengan menggunakan cermin diatas kepalanya. Stanislav Grof, Maslow, dan Victor Frankl kemudian mengusulkan istilah transpersonal bagi gerakan psikologi yang mereka rintis. Bersama tokoh-tokoh psikologi humanistik lainnya, Sutich mendirikan The Journal of Transpersonal Psychology (JTP) pada tahun 1969. Dalam misi penerbitannya, JTP memiliki tiga motif sentral; pertama, fokus pada isu-isu yang secara konvensional dianggap menjadi urusan agama, misalnya transendensi, makna terdalam, atau nilai; kedua, menggunakan studi ilmiah dan empiris atas fenomena pengalaman spiritual; ketiga, menangguhkan kepercayaan pada isi pengalaman, yakni interpretasi opsional tentang apakah fenomena bersifat supranatural atau tidak. Singkatnya, psikologi transpersonal adalah pendekatan reflektif ilmiah untuk hal-hal yang secara tradisional dianggap religius atau spiritual. Atas kritik dan penyempurnaan terhadap mazhab-mazhab psikologi sebelumnya, psikologi transpersonal pada dasarnya merupakan kelanjutan dari psikologi humanistik. Psikologi transpersonal dapat dikatakan sebagai mazhab keempat dalam psikologi setelah behaviorisme, psikoanalisa, dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologis dengan tradisi-tradisi agama-agama besar dunia. Dia ingin menguak pesan terdalam dari semangat agama yang sering dilupakan-bahkan oleh pemeluknya sendiri, yaitu sophia perennis. Mengenai aliran keempat ini, sebuah rumusan yang disusun oleh S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie setelah mereka menelaah lebih dari empat puluh ragam definisi tentang psikologi transpersonal selama kurun waktu dua puluh tiga tahun, kiranya cukup memberikan gambaran mengenai psikologi transpersonal: "Transpersonal Psychology is concerned with the study of humanitiys highest potential, and with the recognition, understansing, and realization of unitive, spiritual, and transcendent states of consciousness (S.I Shapiro dan Denise H. Lajoie, definition of Transpersonal Psychology: The first twenty years. The Journal of Transpersonal Psychology; Vol.24,No.1, 1992). Paling tidak dari rumusan diatas terdapat dua unsur penting yang menjadi sasaran telaah psikologi transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia. The states of consciousness atau lebih popular disebut the altered states of consciousness (ASOC) adalah pengalaman seorang melewati batas-batas kesadaran biasa, misalnya saja pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam-alam kebatinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi, dan sebagainya. Demikian pula mengenai potensi-potensi luhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness (ASOC), extra sensory perception (ESP), transendensi diri, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstase, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin, pengalaman spiritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan Timur dan di pelbagai belahan dunia lainnya. Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung pelbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah kalau psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual manusia ini. Gambaran selintas tentang psikologi transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang garapan kaum kebatinan, ruhaniawan, agamawan, dan mistikus. Sekalipun masih dalam taraf telaah awal, Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensialnya. Psikologi transpersonal telah menorehkan cara pandang revolusioner mengenai manusia dan kesadarannya. Dikatakan revolusioner karena terdapat asumsi-asumsi dasar dalam psikologi transpersonal yang berbeda dengan mazhab-mazhab psikologi sebelumnya. Vaughan, Wittine, dan Walsh dalam naskah yang berjudul Transpersonal Psychology and Religion Person (dalam E.P. Shafranske (ed.) Religion and Cinical Practice of Psychology,1996) menyebutkan empat asumsi dasar psikologi transpersonal. Pertama, psikologi transpersonal adalah pendekatan kepada penyembuhan dan pertumbuhan yang melingkupi semua tingkat spektrum identitas-prapersonal, personal, dan transpersonal. Tahap prapersonal dimulai dalam rahim sampai usia 3-4 tahun. Pada tahap ini, kesadaran didorong oleh keinginan untuk bertahan hidup, memperoleh perlindungan, dan merasa terikat. Tahap personal meliputi kesadaran diri (sense of self) yang kohesif dan stabil. Sedang pada tahap transpersonal, individu menjadi pribadi yang sadar tentang kerinduannya akan pengetahuan diri yang lebih mendalam. Kedua, psikologi transpersonal mengakui terurainya kesadaran diri terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi. Aumsi ini merupakan ciri khas psikologi transpersonal yang mengharuskan terapis untuk memberikan komitmen pada orientasi spiritualnya terhadap kehidupan. Ketiga, psikologi transpersonal adalah proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro. Psikologi transpersonal menganggap bahwa apa yang disebut Stanislav Grof sebagai spiritual emergency merupakan proses spiritual yang akan membimbing orang menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi. Dan keempat, psikologi transpersonal akan membantu proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dengan menggunakan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri. Kearifan dan intuisi dibina dan dikembangkan melalui teknik-teknik seperti meditasi, pencitraan, mimpi, dan altered state of consciousness. Psikologi transpersonal membawa perubahan baru dalam psikoterapi, atau yang sekarang lazim disebut sebagai intervensi spiritual dalam psikoterapi. Doa, zikir, pertobatan, dan ritus-ritus keagamaan lainnya telah menjadi media yang ampuh dalam membantu proses penyembuhan. Sampai disini, psikologi transpersonal dapat dikatakan telah berhasil mengawinkan antara kajian psikologi dan spirituialitas dari tradisi agama-agama. Memadukan Psikologi, Agama, dan Penyembuhan Holistik Hubungan antara agama dan psikologi dalam panggung sejarah menunjukkan pola yang saling menjauhi, bahkan saling memusuhi. Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa lebih dari tujuh puluh tahun-bahkan sampai sekarang di kalangan mainstream psikologi dan psikiatri yang berparadigma sains modern-agama dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Kita mungkin dapat menyebut beberapa tokoh psikologi yang dalam pemikirannya memusuhi agama. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisa mengaggap agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakan dan delusi. B.F. Skinner, pendiri behaviorisme, menganggap agama hanya sebagai jenis perilaku yang diperteguh oleh stimulus-stimulus yang diberikan oleh tokoh agama atau pengendali lain yang berkuasa. Sehingga, ketika stimulus tersebut dihilangkan, manusia sebenarnya tidak lagi membutuhkan agama. Kita juga bisa menyebut Albert Ellis, tokoh psikologi kognitif yang penuh arogansi menganggap agama sebagai kondisi patologis dan penyakit jiwa. Sebenarnya ada banyak lagi pendapat miring dari para psikolog tentang agama (Jalaluddin Rahmat, Pengantar Psikologi Agama,2003). Namun belakangan ini, terdapat asumsi yang berbalik-bahwa ketaatan dalam menjalankan ajaran agama ternyata dapat membantu menjaga kesehatan mental maupun fisik seseorang. Sebagai contoh, Shorto lewat penelitiannya mencatat korelasi yang signifikan antara spiritualitas dan kesehatan dalam berbagai hal: meditasi mengurangi tingkat kolesterol serum; kepercayaan agama dapat mengurangi tingkat rasa sakit pada pasien kanker; lebih banyak orang yang religius ketimbang yang tidak religius selamat setelah pembedahan jantung; meditasi dan sembahyang secara rutin dapat menurunkan tingkat stress dan depresi, dapat meningkatkan kepuasan hidup dan harga diri, dan menurunkan tingkat kecemasan terhadap kematian (Shorto, Saint and Madmen: Psychiatry Open Its Doors to Religion, 1999). Larry Dossey, seorang internis dan penganjur pengobatan holistik, juga mengemukakan penelitian yang serupa berkenaan dengan hubungan antara spiritualitas dan proses penyembuhan. Dia menggunakan doa sebagai salah satu medium untuk membantu proses penyembuhan. Dalam penelitian yang melibatkan pasien kardiak, yang didoakan mengalami lebih sedikit kegagalan jantung, serangan jantung, dan pneumonia daripada yang tidak didoakan. Selain itu, doa juga dapat digunakan oleh sesama orang yang sehat untuk menjaga kesehatannya (Dossey, HealingWords: The Power of Prayer and the Practice of Medicine,1994), Paradigma penyembuhan holistik dan apresiasi yang tinggi terhadap spiritualitas menjadi isu sentral dari gerakan psikologi transpersonal. Ilmu kedokteran dan psikologi yang dilengkapi semangat spiritualitas dari agama-agama akan menghasilkan revolusi cara berpikir dalam melihat kesehatan manusia. Kesehatan paripurna adalah sehat secara fisik dan didukung sehat mental-spiritual. Ken Wilber, generasi kedua dari gerakan psikologi transpersonal berpendapat bahwa untuk menghasilkan kesehatan sejati, seyogyanya harus didahului oleh sikap mental berdasar filsafat manusia yang utuh. Filsafat manusia yang utuh merupakan cara pandang yang mampu melampaui dualitas pikiran tubuh yang menjadi karakter dari pradigma Cartersian-Newtonian. Cara pandang ilmu psikologi dan kedokteran modern dalam terang filsafat Cartersian-Newtonian semata-mata melihat manusia dalam reduksi materialistis. Filsafat manusia yang utuh adalah integrasi dari beberapa entitas yang terdapat pada diri manusia diantaranya: Phisical Unconsciousness-Biological-Psychological-Causal-Subtle-Ultime consciousness (Ken Wilber, The Eye of Spirit, 1997). Model penyembuhan yang menggabungkan entitas-entitas tersebut, sebenarnya telah dipraktekkan dalam ilmu pengobatan tradisi Timur-dan belakangan ini muncul antusiasme dari praktisi pengobatan di Barat dalam mengadopsi model pengobatan Timur tersebut, seperti yang telah dipraktekkan para penganjur model penyembuhan holistik. *) Mahasiswa Fak.Psikologi UGM Yogyakarta. ww.korantempo.com/news/2004/7/18/Ide/44.html - 31k



Meskipun terdiri dari beberapa teori yang berbeda, teori-teori dalamPsikologi Humanistik memiliki dasar yang sama, yakni membedakan kualitasmanusia dari binatang: kebebasan untuk memilih (freedom of choice) dankemampuan untuk mengarahkan perkembangannya sendiri (self direction).Baik Rogers maupun Maslow beranggapan bahwa setiap orang akan selalumengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Ini adalah dorongan utama yangmendasari perilaku manusia. Kecenderungan seperti ini disebut aktualisasi diri,yaitu kecenderungan untuk mewujudkan segenap potensi yang ada.Menurut Maslow, orang yang berhasil dalam usaha tersebut akan merasakanpengalaman puncak (peak experiences) yang wujudnya adalah perasaan bahagia.Pengalaman puncak yang dimaksud Maslow merupakan pengalaman yang sulitdilukiskan dengan kata-kata seperti saat kelahiran seorang anak, saatmenyaksikan matahari terbit, dan sebagainya.Dalam penelitiannya terhadap orang-orang yang dianggap telahmengaktualisasi diri, Maslow menemukan kesamaan ciri, yaitu: (1) Terbukaterhadap pengalaman: mengalami secara jernih (gamblang), tidak berfokus padadiri, penuh konsentrasi dan penyerapan penuh; (2) Merasa nyaman dengan dirisendiri dan keadaan internal dirinya; (3) Spontan, otonom, independen,menghargai orang lain dan peristiwa-peristiwa yang ada secara unik (tidakterikat stereotip); (4) Mengerahkan usaha total usaha untuk mencapai tujuan,ingin melakukan yang terbaik; (5) Memiliki dedikasi penuh dan kreatif terhadapsesuatu di luar kepentingan dirinya; (6) Memiliki beberapa orang yang dicintaisecara khusus dengan segenap emosi; (7) Tidak terikat budaya, tidak memihak.Panggilan jiwa manusia untuk bebas mengaktualisasi diri juga dinyatakanoleh Viktor Frankl, tokoh psikologi yang mengembangkan Logoterapi.Pengaktualisasian diri menurut Frankl berhubungan dengan penemuan makna hidup.Manusia memiliki kebutuhan dasar untuk mengaktualisasi diri denganmenemukan makna hidup. Dalam kebebasan, menyadari apa yang bisa dilakukan didalam situasi tertentu sebagai suatu bentuk tanggung jawab, akan membuatseseorang merasakan bahwa hidupnya tidak sia-sia.Dengan menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab dan harus mewujudkanberbagai potensi makna hidup, Frankl menekankan bahwa makna hidup yangsebenarnya harus ditemukan dalam realitas, bukan di dalam batin atau jiwa.Mengenai hal ini Frankl menggunakan istilah the self-transendence ofhuman existence (transendensi diri dalam keberadaan manusia). Manusia selalu menuju dan dituntun menuju kepada sesuatu atau seseorang di luar dirinya sendiri.Semakin besar kemampuan seseorang untuk melupakan dirinya, ketika iatidak lagi terikat oleh belenggu pemusatan terhadap diri, berserah diri, danmengabdi pada sebuah tujuan atau mencintai orang lain, semakin manusiawi orangtersebut, dan semakin besar ia mengaktualisasi atau mewujudkan dirinya.Ketika seseorang telah menjadi manusia bebas, tidak terikat oleh belenggupemusatan terhadap diri sendiri, tidak lagi terbelenggu oleh berbagaikepentingan diri, pada saat yang sama ia mampu bergerak menuju (mencintai)orang lain.Beberapa cerita rakyat mengisahkan pangeran atau putri yang disihirmenjadi makhluk buruk rupa. Pangeran atau putri itu akan terbebas dari sihirbila ada orang yang mencintainya. Akhirnya pangeran atau putri itu terbebas.Cinta adalah kemampuan untuk memandang orang lain secara jernih danmenemukan sesuatu yang berharga pada pribadi yang dicinta. Itulah kekuatancinta. Betapa cinta itu membebaskan.Marilah kita temukan kebebasan kita dari berbagai belenggu pemusatandiri. Marilah kita temukan kebebasan kita untuk mencintai orang-orang lain.http://asia.groups.yahoo.com/group/bintangpelajar/

























roses aktualisasi diri merupakan proses penemuan dan pengembangan (terus- menerus) jati diri serta mekar semerbaknya potensi terbesar dan terdalam manusiawi. Manusia yang menjalankan proses aktualisasi diri tidak emosional- reaktif-subyektif mampu melihat dan menyikapi permasalahan secara bening-obyektif serta memandang hidup apa adanya tanpa memaksakan persepsi dan keinginan egonya sendiri. Jelaslah kini, budaya atau pola hidup jalan pintas sangat anti-aktualisasi diri, yang justru mengebiri jati diri itu sendiri, mereduksi potensi-potensi terdalam dan terbesar manusiawi.
Adapun sikap pro hedonisme instan adalah sikap hidup yang terobsesi oleh segala macam kenikmatan (duniawi) dan bersifat seketika serta sesaat. Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang memerlukan "kenikmatan-kenikmatan" (baca: reward) dalam hidupnya setelah ia mengusahakan sesuatu atau menjalankan sebuah fungsi hidup. Namun, ketika orientasi perburuan kenikmatan itu sudah bersifat obsesif, persoalannya menjadi lain. Sikap pro hedonisme instan, sampai batas tertentu, terpengaruh oleh sikap pertama, sikap anti-aktualisasi diri. Tereduksinya potensi-potensi terdalam manusiawi menyebabkan manusia kehilangan kapasitas kesadaran (diri) dalam menyikapi dan mengejar kenikmatan dalam hidupnya.
MERUJUK Nuttin, seorang tokoh psikologi humanistis, ada tiga lapis kesadaran manusia. Pertama, lapis kesadaran psikobiologis, sebuah lapis kesadaran yang bersifat sensasional dan terfokus pada pengalaman indriawi. Contoh sederhana adalah munculnya kesadaran manusia untuk makan karena distimulasi oleh perihnya perut yang lapar keroncongan.
Kedua, lapis kesadaran psikososial, sebuah lapis kesadaran yang membuat manusia sadar bahwa dirinya (dan juga orang lain) memiliki pusat kesadaran masing-masing dan karenanya memberikan keunikan (uniqueness) serta juga keterasingan (loneliness). Dari kondisi inilah lahir kebutuhan untuk bersosialisasi dan berbagi. Kegagalan terhadap pemenuhan kebutuhan ini bisa membuat manusia tertekan dan frustrasi.
Ketiga, lapis kesadaran transendental, sebuah lapis kesadaran yang mengacu kepada dimensi-dimensi di luar batas manusiawi tentang mistery of life. Kondisi inilah yang membuat manusia melakukan transendensi diri untuk menguak semua misteri kehidupannya, dimensi hidup yang kompleks, mencari eksistensi diri lewat beragam upaya pengembangan diri, ilmu pengetahuan, filsafat, dan religiositas.
Ketiga lapis kesadaran itu akan bersinergi dalam situasi-situasi stabil dan normal. Misalnya, orang yang makan dan minum, pada satu momentum tertentu, bisa sebagai upaya mengenyangkan perut lapar, bersosialisasi, namun sekaligus ketertundukan kepala oleh rasa syukur, haru sekaligus sukacita atas kemurahan hati Tuhan.
Sikap pro hedonisme instan yang serba sensasi(onal), seketika, sesaat, hanya berada di lapis kesadaran psikobiologis, lapis terendah kesadaran manusiawi. Jadi singkatnya, sikap-sikap anti-aktualisasi diri serta pro hedonisme instan sebagai dasar pola hidup atau budaya jalan pintas tampaknya sangat menghegemoni kehidupan kita semua, masyarakat Indonesia.
Berbagai contoh di awal tulisan mengisyaratkan hal itu secara eksplisit. Secara prinsip, semuanya itu dilakukan dalam rangka upaya kita (manusia) mendapatkan berbagai peak experiences dalam kehidupan. Peak experiences (pengalaman-pengalaman puncak) merupakan kebutuhan hakiki manusia untuk terus-menerus mendaki puncak eksistensinya.
Nah, pola hidup jalan pintas adalah upaya untuk mencapai berbagai pengalaman puncak, namun bersifat segmental, sepotong-sepotong, sesaat, meaningless, dan bahkan sesungguhnya tidak manusiawi. Adapun pencapaian pengalaman puncak yang seharusnya dicapai secara esensial adalah komprehensif dan berkesinambungan, melalui proses aktualisasi diri, serta integral dan meaningful, melalui lapis kesadaran transendental.
SAMPAI di sini terlihat jelas, betapa budaya atau pola jalan pintas dalam menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara selama ini sangat kontradiktif dengan prinsip pemenuhan kebutuhan akan pengalaman puncak melalui aktualisasi diri dan fungsionalisasi kesadaran transendental. Padahal tanpa semuanya itu, kita sebagai individu warga negara, ataupun kolektif sebagai bangsa, tak akan pernah mampu menguak batas- batas tertinggi kapasitas manusiawi, sulit menyentuh berbagai misteri kehidupan yang kaya dengan hakikat kehidupan, mustahil mendaki tangga-tangga tertinggi eksistensi manusiawi.
Pada ujungnya, terjadilah semua kontradiksi kondisi dan fakta kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia. Katanya kita adalah bangsa yang besar, kenyataannya kita tetap bangsa yang kerdil oleh berbagai ketidakadilan, penindasan, dan ketidakmerdekaan. Katanya kita adalah bangsa yang kaya, tetapi faktanya kita adalah bangsa yang melarat, rakyat tergusur-gusur, pengangguran kececeran, dan kampiun utang. Katanya kita adalah bangsa yang luhur, tetapi kondisi keseharian justru berkata, kita bangsa yang culas, bopeng oleh korupsi, "manajemen maling", dan lainnya yang serba buruk.
Kebesaran, kekayaan, serta keluhuran memerlukan masyarakat yang mempunyai sikap (mental) penuh aktualisasi diri serta dikuasai lapis kesadaran transendental dalam kehidupan dan dalam berkarya. Saat ini kita adalah bangsa yang kerdil, melarat, serta culas, akibat pola hidup jalan pintas.
Republik Indonesia namanya-negeri tercinta ini-mau hidup seribu tahun lagi, setidaknya! Dan itu memerlukan masyarakat yang penuh aktualisasi diri dan selalu memiliki kesadaran transendental. Negeri ini bukannya tempat persinggahan sementara semacam diskotik yang dipenuhi orang- orang maniak pesta pora dengan cara-cara seenaknya atau tempat orang melampiaskan hasrat-hasrat primitif hedonisme instannya.
SESAAT lagi kita akan mengadakan perhelatan besar, yaitu pesta demokrasi. Masalahnya sekarang, kita harus jujur bahwa berbagai contoh kehidupan tentang budaya jalan pintas yang serba anti-aktualisasi diri dan pro hedonisme instan itu merata di semua lapisan masyarakat kita, tak terkecuali di lapisan menengah ke atas. Dan celakanya, hampir semua para calon pemimpin yang akan kita pilih itu lebih banyak muncul dari lapisan tersebut.
Justru mereka yang berada di lapisan itulah yang paling suka memperlakukan republik ini seperti layaknya tempat disko atau pesta. Betapa hati berdebar ketika dihadapkan pertanyaan-masih mampukah republik ini hidup seribu tahun lagi jika para calon pemimpinnya nanti dipenuhi krisis aktualisasi diri dan krisis transendensi diri?!
Herry Tjahjono Corporate HR Director Sebuah Grup Perusahaan Swasta, di Jakarta
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/29/opini/826445.htm









literatur


1. Transendensi Manusia Terhadap Alam,
Menurut Marx

Sebelum membicarakan problema Islam serta konsepsinya
yang jelas tentang transendensi dan kesatuan Tuhan, ?,
saya ingin menggariskan suatu definisi tentang apa
yang saya maksudkan dgn transendensi; definisi tsb
tidak berbeda dari apa yang saya lakukan dalam
pendekatan saya terhadap agama Kristen, Marxisme, dan
Islam. Akan tetapi dalam Islam akan terasa lebih
jelas.

Panggilan hidup saya adalah untuk menyelidiki tindakan
penciptaan seni, politik, dan agama menjadi satu. Saya
menemukan dalam Islam suatu keyakinan yang juga
merupakan agama keindahan dan moral tindakan.

Saya masuk Islam, tanpa mengingkari apa yang pernah
dibawakan Yesus dalam hidup saya, karena Yesus dalam
AlQur;an adalah nabi Islam. Saya tidak mengingkari apa
yang telah diajarkan Marxisme kepada saya untuk
menganalisa masyarakat kita agar bertindak didalamnya
secara efisien, karena akidah Islam tidak menolak
sains atau tehnik apapun, tetapi sebaliknya
mempersatukan dan menempatkannya di jalan Allah. Nabi
(saw) berkata,?carilah ilmu walaupun ke negeri Cina?.

Oleh karena itu Islam dalam kehidupan saya tidak
merupakan perpisahan, akan tetapi penyempurnaan.

Pada umur 20 tahun, di thn 1933, saya memimpikan utk
mempersatukan arti dan efisiensi. Saya merasakan
kebahagiaan yg terbesar jika saya melihat kelangsungan
kontinuitas) di sela-sela rintangan abad XX dan
sejarah yang penuh dengan perubahan ganas, dan jika
saya sadar bhw pada umur 70tahun saya tetap pada
impian saya waktu berumur 20tahun.

Sebagai pengikut Marx, kesibukan saya adalah meneliti
tempat2 dimana transendensi dapat menelinap dalam
pemikiran Marx. Ini tidak ada hubungannya dengan
transendensi Tuhan terhadap manusia. Tidak ada tempat
dalam filsafat Marx ttg hal ini. Yang ada hanya
transendensi manusia terhadap alam.

Karl Marx jarang sekali memakai kata ?transendensi?
dan jika ia memakainya, ia memakainya dalam arti
dualis, yakni pemakaian lumrah di kalangan teologi
waktu itu, mempertentangkan jiwa dan materi, nyawa dan
badan.

Dari konsep ttg transendensi ini saya telah menulis
buku, Dalam buku ini saya melakukan kritik tajam
dengan menyamakan transendensi Marx dengan dualisme
Plato dan menjelaskan arti transendensi dan alienasi:
interpretasi positif ttg absolute, dan?Kita menghadapi
hubungan kekeluargaan yang riil dari filsafat Plato
dengan semua agama positif, khususnya dgn agama
Kristen karena agama Kristen adalah filsafat
transendensi yang amat baik.

Jika seseorang mendudukkan kritik Marx dalam konteks
sejarahnya, maka akan didapatkan bahwa konsep agama
adalah konsep musuh Marx?

Dengan begitu kritk Marx adalah absah dari tiga segi:
menghadap keterasingan politik, sosiologis, dan
ideologis dari agama yg terbanyak penganutnya.

Tetapi ketika Marx dan Engels membicarakan periode
lain dari sejarah, mereka menyatakan dengan jelas bhw
iman dapat memainkan peran bersejarah yang berlainan.
Ini bisa dilihat dari sejarah Kristen Premitif
(Kristen awal) dalam gerakan sosialis.

Akan lebih baik ketika Engels menyelidiki ?Perang
Kaum Tani? pada waktu Reformasi, ia menggaris bawahi
peran kenabian Thomas Munzer dalam gerakan
revolusioner kaum tani melawan para pangeran dan kaum
borjuis dengan senjata.

Dibalik tulisan-tulisan mereka itulah, kita dengan
mudah melihat kemungkinan masuknya agama dalam
pemikiran Marxis.

Pertama dalam konsep ?kerja? dalam bentuk manusiawi:
sesuatu pekerjaan yang didahului dengan kesadaran ttg
tujuan-tujuannya. Manusia tidak hanya merupakan produk
dari kondisi2 yang melahirkannya. Marx membedakan
antara evolusi bilogis dari sejarah manusia. ?Sejarah
manusia berbeda dengan sejarah alam; kita membuat
sejarah manusia tetapi tidak membuat sejarah alam?
(DAS KAPITAL)
Inilah awal dari konsep transendensi yang bukan
alienasi atau dualisme.

[insyaallah bersambung]





__________________________________
Yahoo! Mail - PC Magazine Editors' Choice 2005
http://mail.yahoo.com






2. Menggagas Psikologi Islami:
Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam

Ahmad Faqih HN

Abstract
Some intellectuals conduct an intellectual pursuit in any terms. Several undertake an islamization of knowledge, a controversial idea in another Muslim intellectuals. And this idea comes to study of psychology. In Islamic heritage, this discipline has ever studied by Muslim philosophers in medieval age. Islamization of knowledge is an integralization process of Western and Islamic scholarly. In other hand, there’s emerging reconstruction of the classical Islamic thought, which touches discipline of psychology. It emerges a question about model in developing psychology in Islamic perspective. Some of them use theories of modern psychology that modified and conceptualized to Islam, and the anoter one undertake a reconstruction process to the unexplored thoughts of Muslim philosophers or well known as Islamic turats.

Keywords: turats, nafs, qalb, islamization of knowledge, psychology, objectivication, fitra, spirituality, self-transcendence.


“Sains modern melahirkan apa yang disebut sebagai kondisi schizophrenia:
Manusia sebagai peneliti secara total menjadi teralienasi dari dirinya sendiri.”
(Vaclav Havel, 1996)



Pendahuluan
Melakukan sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para intelektual. Pemikiran-pemikiran keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan diverifikasi, sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan dunia. Dunia sains yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi peradaban dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan revolusi industri Inggris dan Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi. Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu, penggagas dan pengguna ilmu. Tak ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu pengetahuan yang diintrodusir oleh Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992). Ia menulis seperti ini tentang sains modern sekarang:[1]

“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evils in themselves… but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.”

Menurutnya, ada semacam ketidaksejalan antara teori dan praktek dan penolakan para ilmuwan menghadapi konsekuensi dari pekerjaan mereka. Kemudian ini menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”. Paling tidak ada delapan “dosa” yang menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan dari agama-agama konvensional; kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab dan akibatnya (‘why’ things work).
Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; keempat, hanya mengungkap “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode; keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas nilai; dan kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir sebenarnya merupakan watak khas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi. Sehingga orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Misalnya dalam hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk menjaga jarak dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar muncul kenetralan dan tidak dicampuri oleh bias peneliti.
Berbagai macam usaha untuk memverifikasi bahkan memfalsifikasikan sebuah sains telah lama berkembang. Temuan-temuan baru tentang fenomena yang muncul dalam sains semakin memperkaya khasanah, dan di sisi lain semakin mengungkap hal-hal tersembunyi yang oleh beberapa saintis bisa jadi tidak masuk dalam kategori sains, baik sebagai obyek kajian maupun landasan paradigmatiknya. Misalnya, pemahaman kaum materialis terhadap sains yang menyatakan bahwa hal-hal yang materilah yang menjadi objek sains. Pertanyaan mengenai materi itu apa juga menjadi perdebatan tersendiri. Misalnya, mengenai proton yang disebut sebagai materi, padahal penampakan secara materi kasat mata, ia tak terlihat. Yang terlihat hanyalah jejak-jejak yang tertinggal di laboratorium.[2]
Dalam Islam pun muncul semangat memunculkan kajian keilmuan dengan landasan paradigmatik dari Islam. Jika ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya di sekitar abad 8-15 masehi. Saat itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius oleh para ilmuwan dan cendekiawan muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh pasukan Jenghis Khan, saat itulah mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku, kemudian dibakar dan dilarung ke sungai Tigris.
Selain itu juga persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan Islam tersebut ikut andil mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan keilmuan yang gongnya adalah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Pergulatan Ide Sains dan Islam: Pandangan Beberapa Tokoh
Leif Stenberg[3] dalam bukunya The Islamization of Science: Four Muslims Positions Developing an Islamic Modernity (1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus hubungan sains dan Islam adalah saat Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun 1883 di Paris yang kemudian direspon pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w. 1897). Menurut Renan antara Islam dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat itu kemudian perdebatan ini menjadi begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua puluh.
Sorotan yang Stenberg lakukan adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut sebagai eksponen dalam usaha islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini oleh Stenberg dianggap memiliki beberapa pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan sains dan Islam.
Al-Faruqi[4] dikenal sebagai tokoh yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan (islamization of knowledge). Beliau kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman dengan nama International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi islamisasi dengan langkah-langkah yang dibuatnya.[5] Yang menarik dari gagasan Faruqi adalah bahwa usaha islamisasi mesti ada penguasaan yang cukup komprehensif antara khasanah keilmuan modern dan khasanah keilmuan Islam klasik (mastering of modern and islamic sciences). Ilmuwan muslim mesti kritis terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat, dan kemudian melakukan sebuah integralisasi keduanya. Ini ditujukan untuk mendapat sebuah model penguasaan ilmu dengan perspektif Islam dengan tetap tidak “kuper” dengan pengetahuan modern yang ada. Dari situlah kemudian akan menghasilkan model kurikulum dan pendidikan dalam perspektif Islam. Dan inilah yang menjadi ultimate goal gagasan islamisasi pengetahuan ala Faruqi.
Islamisasi pengetahuan, menurut Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah kerja ilmiah dari sudut pandang metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai ideologi atau bahkan sebuah sekte baru.[6] Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab kalau tidak, orang yang menggelutinya akan terjebak pada ideologisasi ilmu, dan akan sangat berbahaya nantinya. Ilmu yang mengideologi akan sulit berkembang biak.
Sementara ‘Imad al Din Khalil memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan dalam pencarian intelektual (an intellectual pursuits) yang berupa pengujian (examination), penyimpulan, penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup, manusia dan alam semesta dari perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad mendefinisikan islamisasi pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara pencapaian ilmiah dalam peradaban manusia dan perubahan postulat-postulat filosofis, sehingga ilmu itu dapat digunakan melalui metodologi yang bernuansakan religius tinimbang yang spekulatif.[7]
Sementara Sardar menekankan penguasaan epistemologis dalam membangun kerangka sains atau pengetahuan Islam. Sehingga menurutnya sains islami masih harus dikonstruksi setelah membongkar sains modern yang ada. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr berpandangan bahwa sains tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami.[8]
Secara umum, menurut Stenberg, keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini memiliki kesamaan gagasan dalam melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam, menurut mereka, sama sekali tidak ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak teraplikasikannya konsep-konsep Islam dalam kehidupan nyata.
Selain tokoh-tokoh di atas yang umumnya berasal dari luar Indonesia, ada juga tokoh-tokoh Indonesia yang mencoba membincangkan ide ini, meskipun dengan pola dan perspektif yang berbeda-beda dalam pembahasannya. Tokoh-tokoh ini umumnya memiliki pola pandang sama bahwa Islam dan sains memiliki titik temu, namun darimana dan bagaimana memulainya serta metodologi yang digunakan masing-masing memiliki pandangan sendiri.
Kuntowijoyo, misalnya. Beliau menggunakan istilah objektifikasi Islam. Awalnya istilah ini digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat perkembangan politik aliran di Indonesia. Menurutnya objektifikasi adalah memandang sesuatu secara objektif dan disebutnya sebagai jalan tengah bagi Islam, agama-agama, dan aliran pemikiran politik lainnya. Ada tiga hal yang digunakannya dalam melihat objektifikasi Islam ini yaitu (1) artikulasi politik hendaknya dikemukakan melalui kategori-kategori objektif, (2) pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif, dan (3) tidak berpikir kawan lawan, melainkan pada permasalahan bersama.[9]
Relevansinya dengan ide relasi sains dan Islam adalah bahwa tetap mengedepankan objektifitas dalam melangkah, meskipun ada simbol agama di situ. Dan pemikirannya yang ketigalah yang menurut saya perlu menjadi titik perhatian dalam pengembangan relasi sains atau pengetahuan dalam Islam. Pengembangan pengetahuan dalam Islam tidaklah memandang bahwa pengetahuan di luar Islam sebagai musuh yang harus dibasmi.
Kemudian ada lagi Armahedi Mahzar. Beliau menawarkan lima langkah integralisasi strategis yang digunakan dalam mewujudkan apa yang ia sebut sebagai sains islami itu. Kelima langkah itu adalah (1) analisis struktur internal sains, (2) analisis dampak eksternal negatif sains, (3) analasis kritis fondasional sains, (4) reorientasi holistik paradigma sains, dan (5) integralisasi islami paradigma sains.[10]

Psikologi dan Isu-isu Kontemporer
Umumnya para pakar psikologi sepakat bahwa awal dari berdirinya ilmu psikologi modern adalah saat Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi yang pertama di Universitas Leipzig, Jerman tahun 1879. kemudian Ivan Pavlov melakukan hal serupa di Rusia. Sejak saat itu kajian psikologi mulai menjadi kajian yang dilakukan dengan metode eksperimental.
Dalam perkembangannya psikologi menjelajah berbagai macam dimensi, dari mulai kajian pada proses-proses mental kejiwaan manusia, menganalisis perilaku manusia yang tampak, proses pembelajaran, dan hingg kepada kajian-kajian transendensi diri dan spiritualitas pada diri manusia.
Semua kajian tersebut terus menerus mengalami proses verifikasi dan pencarian hal-hal baru yang sebelumnya dianggap tidak masuk dalam wadah kajian psikologi. Jika di awal-awal kemunculannya perhatian psikologi pada proses mental yang terjadi pada jiwa manusia, maka kemudian pandangan tesebut tidak lagi begitu mendominasi.
Dengan mapannya aliran behavioristik yang empiris, objektif dan selalu melakukan eksperimentasi, menjadikan bahasan psikologi kemudian fokus pada kajian perilaku yang tampak pada diri manusia saja (overt behavior). Ini yang ditekankan oleh Watson bahwa yang dimaksud psikologi adalah:
“…sebuah cabang ilmu kealaman yang eksperimental dan murni objektif. Tujuannya adalah untuk meramalkan dan mengontrol tingkah laku…Tampaknya sudah saatnya psikologi harus membuang semua referensi atau kaitan dengan kesadaran, dan tidak perlu memperdayakan diri sendiri dengan cara berfikir yang beranggapan bahwa objek pengamatannya ialah keadaan-keadaan mental.”[11]

Saat inipun pandangan behavioristik masih tetap mapan dan dikaji di kampus-kampus. Namun ada semacam trend yang marak di penghujung abad 20 lalu mengenai psikologi. Era posmodern yang menggelayuti dunia di medio abad 20 kemarin itu kemudian membangkitkan semangat untuk kembali melakukan bahasan ulang mengenai psikologi.
Daniel Goleman, misalnya, yang memperkenalkan kecerdasan emosi yang kemudian secara generik disebut sebagai EQ, sebagai sebuah counter terhadap konsep kecerdasan umum manusia yang dikenal dengan IQ.[12] Juga muncul istilah kecerdasan spiritual yang disebut SQ oleh sepasang suami-isteri Danah Zohar dan Ian Marshal, kemudian konsep ketabahan (adversity quotient/AQ) yang ditulis Paul Stoltz dan sebagainya.
Gagasan-gagasan baru semacam itu yang muncul dalam ranah studi psikologi. Namun gagasan bahwa psikologi merambah diskursus spiritualitas menjadi bahasan yang juga menarik.[13] Victor Frankl menganggap bahwa spiritualitas merupakan salah satu determinan eksistensi manusia selain kebebasan (freedom) dan tanggung jawab (responsibility).[14] Dari pemikiran semacam inilah yang kemudian menarik minat penggiat psikologi transpersonal dalam mengkaji psikologi melalui perspektif spiritualitas ini.

Tawaran Islam dalam Studi Psikologi
Perkembangan psikologi yang begitu cepat juga masuk dan mendapat respon dari mahasiswa Islam. Ketika, kemudian, banyak orang Islam yang mempelajari ilmu psikologi, tentu saja mereka akan bertemu dengan terma-terma dan konsep-konsep yang dikembangkan oleh para teoritikus psikologi Barat. Persepsi para mahasiswa dan psikolog muslim terhadap psikologi Barat, menurut Malik Badri, bisa dilihat ke dalam tiga fase.[15] Fase pertama disebut infantuasi, yaitu saat mereka tergila-gila dengan teori dan teknik psikologi yang begitu memikat. Fase kedua disebut rekonsiliasi. Pada fase ini mereka mulai mencocokan dengan apa yang ada dalam alquran dan khazanah klasik Islam, tapi masih pada asumsi bahwa keduanya tidak bertentangan. Fase ketiga disebut emansipasi. Fase ini mereka sudah mulai kritis terhadap teori psikologi dan berusaha menggali konsep-konsep psikologi yang ada dalam Alquran.
Dalam memandang konsep dan filsafat tentang manusia, maka tak lepas dari pandangan Islam sendiri tentang manusia. Dalam Islam, manusia memang makhluk yang memiliki dimensi-dimensi yang kompleks. Manusia dimanapun dan beragama apapun pasti tersusun dari jasad dan ruh. Jasad diartikan sebagai tubuh fisik, dan ruh sebagai kekuatan yang berasal dari Allah yang ditiupkan ke jasad manusia saat berusia 120 hari.
Menurut Mujib,[16] dalam Psikologi Islam manusia terstruktur dari jasmani dan ruhani. Ruh bukan hanya sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tapi satu jauhar (substance) yang dapat bereksistensi dengan sendirinya di alam ruhani. Sinergi antara jasmani dan ruhani menjadikan nafsani yang tumbuh sejak usia empat bulan dalam alam kandungan. Struktur nafsani ini terbagi atas tiga bagian yaitu kalbu, akal dan nafsu. Integrasi ketiga jenis nafsani ini menimbulkan apa yang disebut dengan kepribadian.
Selain itu dikenal pula konsep tentang fitrah. Per definisi, banyak pakar yang mengartikan tentang fitrah. Quraish Shihab mengartikan fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya.[17] Sejak asal kejadiannya manusia telah membawa potensi keberagamaan yang benar yang diartikan para ulama dengan tauhid. Ini bisa dibaca pada QS Arrum:30 yang artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (yang benar). Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya (fitrah itu). Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya. Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berhubungan dengan jiwa. Ia mendasarkannya pada hadits yang cukup populer, “setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orangtuanya yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. [18]
Al Qurtubi mendukung pandangan positif tentang fitrah dengan menggunakan analogi mengenai hewan yang secara fisik tidak cacat untuk menggambarkan bahwa, hanya karena hewan dilahirkan tidak lengkap, sementara manusia dilahirkan dengan kapasitas yang tanpa cacat, sehingga manusia dapat menerima kebenaran. [19]
Konsep fitrah sebagai konsep ketuhanan yang orisinal, tidak dengan begitu saja berkonotasi menerima tindakan yang baik dan benar secara pasif. Namun dengan kecenderungan yang aktif dan predisposisi bawaan untuk mengetahui Allah, tunduk kepada-Nya, dan beramal soleh. Ini merupakan kecenderungan alami manusia dalam meniadakan faktor-faktor yang berlawanan. Walaupun semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, pengaruh lingkungan menentukan juga. Orang tua mungkin mempengaruhi agama anaknya dengan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Jika tidak ada pengaruh yang merugikan, anak akan secara terus-menerus memunculkan fitrahnya sebagai hakikat kebenarannya.
Selain itu ada pula konsep tentang nafs, akal, dan qalbu. Sebagaimana dijelaskan Mujib di atas ketiganya ini merupakan sistem nafsani manusia yang akan membentuk kepribadian. Menurut Quraish Shihab, kata nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menuju kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik atau buruk. Kata nafs memang memiliki banyak arti. Dalam Alquran kata nafs digunakan untuk menyebut diri seseorang, diri Tuhan, person sesuatu, roh, jiwa, totalitas manusia dan sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
Nafs secara bahasa berarti ruh, jiwa, ego, diri (self), kehidupan, person, hati atau ingatan. Walaupun beberapa ilmuwan mengklasifikasikan nafs hingga 7 tahapan,[20] ada kesepakatan di kalangan ulama bahwa dalam Alquran Allah menjelaskan sedikitnya 3 jenis utama nafs. Urutan dari yang terburuk hingga yang terbaik adalah Nafs al-Ammârah Bissu’ (Nafs yang mendorong kepada kejahatan/keburukan), Nafs al-Lawwâmah (Nafs yang tercela) dan Nafs al-Mutma’innah (Nafs yang membawa kedamaian).
Sementara kata akal tidak pernah disebut dalam Alquran selain dalam bentuk kata kerja, baik kata kerja saat sekarang (mudlari’) atau masa lampau (madli). Kata akal dalam derivasinya ada sebanyak 48 kali sebutan di Alquran. Secara jasmaniah ia berkedudukan di otak, memiliki daya kognisi, dengan potensi bersifat argumentatif (istidhlaliah) dan logis (aqliah), yang apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang labil (al-nafs al-lawwamah). Semenatara qalbu secara jasmaniah berkedudukan di jantung, memiliki daya emosi, potensinya bersifat cita rasa (dzawqiyah) dan intuitif (hadsiah), yang apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).[21]
Ada beberapa pandangan khas mengenai Psikologi Islam ini. Pada tahun 1997 di Universitas Darul Ulum, Jombang sempat diadakan acara Dialog Nasional Pakar Psikologi Islam yang menyepakati bahwa salah satu visi Psikologi Islam adalah menempatkannya sebagai mazhab kelima psikologi setelah psikoanalisis, behavioristik, humanistik, dan transpersonal. Karena memposisikan diri sebagai salah satu aliran atau mazhab, maka perlu ada beberapa pandangan khas mengenai psikologi Islam.[22]
Pertama, mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fithrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Disamping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengannya manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar), berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Pandangan Psikologi Islam tentang qalbu termasuk yang khas dan berbeda bila dibandingkan dengan psikologi barat yang hampir selalu menjelaskan sesuatu dengan otak. Ketiga, mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Manusia diciptakan dalam keadaan positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak lurus antara fithrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fithrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Tugas Psikologi Islam adalah agar manusia selalu lurus dengan fithrahnya.
Keempat, mempercayai bahwa manusia adalah unik. Quraish Shihab menyebutnya sebagai khalqan akhar. Beliau merujuk pada dua ayat dalam Alquran yaitu QS 17:21 dan QS 6:165. Kelima, psikologi islamdibangun berdasarkan nila tertentu, bukan netral etik. Gagasan tentang ilmu yang netral etik adalah khayalan belaka, seperti dikemukakan oleh Gunnar Myrdal. Setiap ilmu berangkat dari nilai-nilai dan mengembangkan nilai-nilai.
Kalau kita meniliki lebih jauh lagi, memang kajian psikologi selama ini seperti kehilangan ruhnya. Kalau kata Malik Badri, a psychology without soul studying a man without soul. Selama ini dimensi dalam ilmu psikologi yang hanya menekankan pada dimensi ragawi (fisik-biologis), jiwa (psikologis), dan lingkungan (sosiokultural). Ini terasa kurang begitu mengena dalam meneropong manusia sebagai makhluk yang memiliki kompleksitas. Sehingga dalam kajian Psikologi Islam ditambahlah dengan dimensi ruhani (spiritual). Bahkan pada tahun 1984, Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO) telah menambahkan satu dimensi lagi untuk melihat orang sehat yaitu dimensi spiritual. Oleh American Psychiatric Association ini diadopsi dengan paradigma pendekatan bio-psycho-socio-spiritual.[23]

Konsep Psikologi Islami: Paradigma Modern atau Turats Islam Murni?
Pergulatan dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak –untuk kasus Indonesia- ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan kemudian bersenutuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut beberapa nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis, namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam tentang psikologi.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turats al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya, Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber langsung dari khasanah klasik Islam dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-kampus yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN yang memiliki kecenderungan semacam ini.
Khasanah klasik Islam sering juga disebut sebagai turats Islam. Dalam buku At-Turats Wa at-Tajdid, Hasan Hanafie mengatakan bahwa turats dapat dinisbahkan kepada dua hal. Pertama, turats Islam adalah kumpulan kitab-kitab dan manuskrip yang tersimpan dalam perpustakaan, gudang, masjid-masjid maupun museum. Di sini, turats berbentuk material yaitu turats tertulis, tersimpan dan tercetak dalam bentuk kitab. Namun, menurutnya lagi, ada bentuk lain dari turats yang bersifat immaterial, yaitu warisan kejiwaan dan adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.[24]
Secara lebih maju, Aisyah Abdurrahman (yang terkenal dengan nama samaran Bintu Syathi—putri pesisir), dalam bukunya Turatsuna Baina Madli wa Hadlir mengatakan bahwa kita tidak dapat membatasi lingkup turats Islam pada zaman dan wilayah tertentu. Karena turats Islam mencakup seluruh warisan peradaban kuno kita, di sepanjang zaman dan tempat, maka, tentu saja warisan kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam pula. Demikian pula halnya peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lainnya. Hal itu, menurut Aisyah Abdurrhaman, karena seluruh penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam, maka secara otomatis masa lampau mereka menjadi milik Islam pula.[25]
Dalam kajian-kajian psikologi, turats Islam yang berupa manuskrip tulisan dari cendekiawan muslim klasik cukup banyak, baik yang berupa konsep yang masih potensi maupun yang manifest. Misalnya, konsep perkembangan moral dan rasio seseorang bisa dibaca dalam karya klasik Ibn Thufail yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Atau konsep-konsep umum mengenai nafs, qalb, atau akal yang dikemukakan oleh tokoh semacam al-Ghazali, Ibn Miskwaih, Ibnul Qoyyim al-Jauzi, bahkan pada konsep tentang tabir mimpi yang pernah dibahas oleh Ibn Sirrin jauh sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang analisis mimpi.[26]
Turats Islam ini bisa menjadi sumber kajian psikologi dalam perspektif Islam, tinggal bagaimana mengkonseptualisasikan dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat sekarang ini. Sayangnya literatur mereka yang menggunakan bahasa Arab belum banyak yang mengakses, justru oleh mereka kaum muslim yang belajar psikologi, khususnya di Indonesia ini.
Dua model pengembangan ini sebenarnya masih tetap perlu dilakukan, meskipun kelemahan-kelemahan fundamental tetap ada. Jika terlalu memfokuskan pada pendekatan modern kemudian melabelkannya dengan Islam, maka yang terjadi adalah bukan muncul suatu ilmu, melainkan hanya menempel-nempelkan yang dianggap cocok (labeling). Apabila ini yang dilakukan maka akan sangat mudah goyah karena fondasinya tidak kuat.
Sedangkan jika turats Islam yang belum dikonseptualisasi dan dikontekstualisasikan akan sulit teraplikasi di zaman sekarang ini. Selain konsep-konsep yang ada adalah konsep filosofis, juga kondisi umat manusia pada abad pertengahan tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan umat manusia sekarang ini.
Lalu apakah model integralisasi model Faruqi yang dilakukan? Memang banyak tawaran, tinggal mana yang kiranya pas dan mampu diaplikasikan dalam kerangka teoritis akademis maupun aplikasi pragmatis. Pemahaman dan penguasaan terhadap keilmuan modern kontemporer dari Barat bukan suatu hal yang tidak perlu dilakukan. Namun juga tidak kemudian menerima apa adanya (taken for granted) terhadap model-model pemikiran mereka. Langkah kritis terhadap pemikiran mereka perlu dilakukan. Sementara penguasaan turats Islam dijadikan sebagai fondasi pemikiran. Kemudian turats Islam tersebut dikaji, dikritisi, dikonspetualisasi dan dikontekstualisasikan. Tak tertutup kemungkinan melakukan sebuah studi komparasi antara pemikiran-pemikiran Barat tentang psikologi dengan pemikiran-pemikiran yang berasal dari turats Islam.

Penutup
Memang bukan pekerjaan mudah dalam mewujudkan sebuah ilmu pengetahuan yang dapat diterima secara luas (broadly acceptable). Freud saja konsepnya masih terus menerus dikritik dan dianggap tidak memenuhi kriteria ilmu pengetahuan oleh beberapa pihak. Namun inilah yang menjadi sasaran kritik saat ini. Hegemoni pengetahuan yang dikembangkan Barat memang cenderung kaku dan prosedural. Padahal fitrah ilmu pengetahuan itu adalah dinamis dan dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi akan melawan kekakuan dan prosedur-prosedur yang disebut ilmiah.
Gagasan psikologi dengan mengambil perspektif kajian Islam menjadi hal yang masih terus dikembangkan. Dua model pengembangan yang ada sebagaimana disebutkan di atas masih perlu terus menerus diuji, sampai kemudian mana yang dianggap menjadi fondasi yang kuat dalam usaha pengembangannya.
Turats Islam dalam hal ini menjadi sebuah keniscayaan yang perlu dijalani. Latar belakang historis perkembangan pengetahuan dunia yang pernah dilakukan umat Islam menjadi bukti bahwa kita tidak boleh berpaling darinya. Dengan melakukan konseptualisasi dan kontekstualisasi turats Islam akan menjadikan khasanah Islam klasik yang tersimpan dalam kitab-kitab literatur Arab dan historisitas kehidupan masyarakat Islam masa lalu bisa menjadi pisau analisis yang perlu dilakukan. Wallahu a’lam bi ashshawwab.
Catatan Akhir:


[1] Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: IIIT-I, LSAF, IRIS, Cidesindo, 2000), halaman xxx.
[2] Lihat dalam kertas kerja Zainal Abidin Bagir, Islamisasi Sains atau Objektifikasi Islam, disampaikan dalam seminar epistemologi Islam IIIT Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2001 di Universitas Paramadina, Jakarta.
[3] Lihat Leif Stenberg, “The Islamization of Science or the Marginalization of Islam:The Positions of Seyyed Hossein Nasr and Ziauddin Sardar” dalam http://www.hf.uib.no/instituter/smi/paj/Stenberg.html Ini merupakan cuplikan dari judul bukunya yang berjudul The Islamization of Science. Four Muslim Positions Developing an Islamic Modernity (Stockholm: Almqvist & Wiksell International, 1996).
[4] Beliau adalah ilmuwan AS kelahiran Palestina. Langkah-langlah islamisasi yang disusunnya terdiri dari 12 langkah dan dapat dibaca di bukunya yang berjudul Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Pustaka Salman, 1984). Buku tersebut merupakan rangkuman dari forum simposium internasional tentang islamisasi pengetahuan yang diadakan di Islamabad, Pakistan tahun 1981.
[5] Langkah-langkah tersebut adalah (1) penguasaan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris, (2) survei disiplin ilmu, (3) penguasaan khasanah Islam: sebuah antologi, (4) penguasaan khasanah ilmiah Islam tahap analisa, (5) penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, (6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern: tingkat perkembangannya di masa kini, (7) penilaian kritis terhadap khasanah Islam: tingkat perkembangannya masa kini, (8) survei permasalahan yang dihadapi umat Islam, (9) survei permsalahan yang dihadapi umat manusia, (10) analisa kretaif dan sintesa, (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: buku-buku daras tingkat universitas, dan (12) penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan. Terlihat bahwa Faruqi mencoba melakukan sebuah proses integralisai deduktif. Ini yang membedakannya dengan Ziauddin Sardar yang mencoba melihatnya murni dari sumber Islam an sich. Oleh Sardar fondasinya adalah dengan mendasarkan pada epistemologi Islam sebagai sebuah kerangka pedoman mutlak. Lengkapnya dapat dibaca buku beliau, Rekayasa Masa Depan Islam (Bandung: Mizan)
[6] Lihat Taha Jabir al Alwani, The Islamization of Knowledge: Yesterday and Today, (Herndon, USA: IIIT, 1995). Buku ini berisikan mengenai diskursus tentang islamisasi pengetahuan berikut dengan tujuan adanya islamisasi pengetahuan.
[7] Dapat dilihat juga Imad al Din Khalil, Madkhal ila Islamiyat al Ma’rifah, (Herndon, USA: IIIT, 1991) halaman 15, dan Abu al Qasim Hajj Hammad, Manhajiyat al Quran al Ma’rifiyah, (Herndon, USA: IIIT, 1991) halaman 19.
[8] Dapat dilihat pada kertas kerja Armahedi Mahzar, Menuju Sains Islami di Masa Depan: Langkah-langkah Strategis Integralisasi, yang disampaikan dalam seminar epistemologi Islam IIIT Indonesia, 15 Agustus 2002 di Universitas Paramadina Jakarta. Beliau menwarkan lima langkah integralisasi agar muncul apa yang disebut sebagai sains islami.
[9] Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas, (Bandung: Mizan, 2002) halaman 213.
[10] Op.Cit., Armahedi Mahzar, halaman 2-13
[11] Lihat J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan DR Kartini Kartono, (Jakarta: Rajawali Pres, 2001), halaman 54.
[12] Istilah EQ memang cenderung salah kaprah. Huruf Q yang merupakan singkatan dari quotient dalam konsep IQ adalah angka pembagi yang diperoleh individu setelah mengikuti tes kecerdasan. Konsepnya adalah bahwa IQ hasil dari pembagi antara usia mental (mental age/MA) dan usia kronologis (chronological age/CA). Sementara kecerdasan emosional hingga saat ini tidak ada tes semacam tes kecerdasan seperti IQ. Begitu juga munculnya istilah Spiritual Quotient (SQ). Dalam pandangan saya ini adalah sebuah usaha mendudukkan secara sejajar dengan konsep IQ yang sudah terlebih dahulu mapan, atau simbolisasi yang akan mudah dikenal dan diingat oleh orang awam sekalipun.
[13] Beberapa buku yang penulis ketahui dalam isu ini misalnya buku Robert Frager, Hati, Diri dan Jiwa (Jakarta: Serambi, 2002), Inayat Khan, Dimensi Spiritual Psikologi (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000) atau buku-buku yang bersinggungan dengan sufisme dan psikologi. Memang ada catatan-catatan penting berkaitan dengan pendefinisian spiritualitas ini dalam pengkajian di psikologi.
[14] Lihat Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) halaman 191-200.
[15] Dapat dilihat dalam makalah Achmad Mubarok Jiwa Manusia: Perspektif Psikologi Islam dan Psikologi Modern, disampaikan dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT Indonesia pada 11 April 2002. Malik Badri juga sempat mengatakan sekarang telah terjadi amerikanisasi psikologi. Lihat paper beliau Islamic Psychology: Its What, Why, How and Who. Paper ini dikirimkan pada saat Simposium Nasional Psikologi Islam 2001 di Unisba, Bandung, 22 Juli 2001.
[16] Lihat Abdul Mujib, Fitrah: Antara Potensi dan Implikasi Psikologis, makalah yang disampaikan dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT-I, 7 Mei 2002. Lihat juga buku beliau Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
[17] Lihat M. Thoyibi dan M. Ngemron (ed.), Psikologi Islam, (Surakarta: UMS Press, 1996), halaman 32. Buku ini merupakan kumpulan kertas kerja yang disampaikan pada acara Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 11-13 November 1994.
[18] Lihat artikel Yasien Muhammad, Fitrah: Inborn Natural Predisposition, http://www.angelfire.com/al/islamic_psychology
[19] Lihat artikel Yasien Muhammad, Ibn Taymiyah’s Views on Fitrah, www.angelfire.com/al/islamic_psychology
[20] Robert Frager memperkenalkan tujuh tingkatan nafs. Ketujuh nafs itu adalah nafs tirani, nafs penuh penyesalan, nafs yang terilhami, nafs yang tenteram, nafs yang ridha, nafs yang diridhai Tuhan dan nafs yng suci. Lihat Frager, Hati, Diri, dan Jiwa, halaman 90-127.
[21] Op. cit., Abdul Mujib
[22] Lihat H. Fuad Nashori, Mimpi Nubuwat: Menetaskan Mimpi yang Benar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), halaman 133-138.
[23] Lihat buku Prof. DR. dr. H. Dadang Hawari, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002), halaman 5.
[24] Lihat dalam artikel Abdul Hayyie al Kattani, Rekayasa Masa Depan Islam: Dengan Revitalisasi Warisan Klasik Islam (Turats) Sebaga Illustrasi,dalam http://www.kmnu.org/
[25] Ibid
[26] Untuk studi mendalam ada buku yang mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran mereka dengan judul ‘Ilm an-Nafs fi at-Turats al-Islami. Buku ini berupa kumpulan tulisan dari beberapa cendekiawan dan ilmuwan tentang psikologi dengan jumlah tiga jilid dan diterbitkan di Mesir oleh IIIT Mesir tahun 1996. kemudian adalagi buku dengan judul Abhats Nadwat ‘Ilm an-Nafs yang juga berupa kumpulan tulisan dan diterbitkan pula oleh IIIT Mesir tahun 1989. Buku terbaru Dr ‘Utsman Najati juga mencoba membuat kodifikasi pandangan filosof muslim terhadap jiwa manusia dengan judul Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002) yang intinya juga melakukan kajian terhadap turats Islam















3. Menelusuri Kesatuan Transendensi Agama-agama
Oleh Muhammad HM S
Mengamati fenomena keagamaan dari perspektif filsafat perennial sungguh sangat menarik, karena akan memasuki suatu kenyataan yang penuh signifikasi positif bagi masa depan perkembangan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia yang pluralistik dan heterogenistik. Pluralisme agama menjadi salah satu dimensi kajian filsafat perennial. Agama-agama yang dalam perkembangannya bersifat pluralistik dipandang sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik dan sakral serta memiliki kekayaan nilai-nilai dasar (fundamental values) secara normatif daya kini, dapat memberikan suatu kepastian hidup yang aman, damai dan sejahtera bagi para pemeluknya di masa datang.
Harapan tersebut semakin memperoleh justifikasi yang meyakinkan dengan mencermati fenomena manusia sebagai komunitas dunia yang mendiami desa buana (global village) tanpa jurang pemisah. Dalam dimensi keagamaan, fenomena ini menafikan adanya suatu komunitas bangsa yang mengklaim diri sebagai pemilik agama yang cara peribadatannya paling absah. Kendatipun dalam kenyataannya, banyak agama memperlihatkan kecenderungan terselubung untuk menyatakan diri sebagai agama yang paling benar.
Klaim diri sebagai yang paling benar, bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri ada pada semua agama khususnya dalam dimensi absolutisme lebih-lebih yang berakibat dengan masalah keyakinan atau keimanan (faith), karena dimensi ini merupakan struktur fundamental doktrin agama. Atas dasar klaim kebenaran dan universalisme itulah lalu sebagian pemeluk agama menawarkan absolutisme agamanya kepada pemeluk agama lain sebagai jalan benar menuju keselamatan atau pembebasan.
Harold Coward (1989) mengemukakan pemeluk agama yang demikian pada hakekatnya bertentangan dengan dirinya sendiri karena ia menerima ungkapan mengenai realitas tertinggi, azali yang lain daripada ungkapannya sendiri dan merasa terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai yang unik dan universal sehingga pada gilirannya penganut suatu agama memandang remeh agama lain yang pada ujungnya menolak nilai kebenaran yang terkandung dalam agama lain.
Konsekuensinya, berbagai nuktah ajaran agama dalam kitab suci yang mengajarkan agar para pemeluk agama tidak menggerogoti bangunan keyakinan pemeluk agama lain. Dalam pemahaman lain, nuktah ajaran agama mengajarkan prinsip toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran dan keadilan serta kejujuran menjadi terabaikan dan menjadi bias subyektif sesuai selera pemeluknya.
Landasan prinsip tersebut pada hakekatnya mengajarkan pada pemeluk suatu agama bahwa kebenaran universal adalah tunggal meskipun ada kemungkinan manivestasinya dalam sejarah kehidupan manusia sangat beragam. Secara antropologis-sosiologis pandangan ini seperti dikemukakan (Veeger, 1993) melihat manusia pada hakekatnya adalah tunggal namun bersifat kolektif dan holistis tetapi tetap berpegang pada kebenaran yang tunggal.
Prinsip serupa dalam ajaran agama-agama mendapat pembenaran (legitimasi) semua agama memandang manusia sebagai umat yang satu berdasarkan suatu realitas adi-alami. Monisme menganggap bahwa kepelbagaian dan keanekaan yang tampil pada indera manusia hanya merupakan ilusi belaka, seluruh jagad raya dikembalikan pada azas yang terakhir yaitu Tao, Brahma, Mana dan lain-lain.
Dalam kajian filsafat seperti yang dijabarkan oleh Heraklitos dan Epgesos, realitas tertinggi sebagai materi prima atau suatu daya asli yang meresapi seluruh alam disimbolkan sebagai arche yang berupa api yang mengandung makna sebagai asas pemersatu di balik segala mahluk yang beraneka ragam. Apa yang nampaknya berbeda-beda dan senantiasa berubah dan berganti, sebenarnya merupakan pencerminan atau pemantulan dari satu kesatuan dasariah. Yang terpencar adalah satu, banyaknya nada yang berbeda-beda membentuk perpaduan yang amat indah dan kesemuanya adalah hasil pergulatan "ex omnibum unum, ex uno omnia".
Perbedaan pemahaman atas kesatuan transendensi agama-agama terjadi setelah melalui proses dialektika kehidupan. Artinya, perselisihan tentang kesatuan transendensi justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang. Setiap pemeluk agama mencoba memahami menafsirkan setaraf sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Sehingga melahirkan respon intelektual yang berbeda tentang kebenaran yang tunggal tadi.
Max Muller, seorang filosof Jerman membuktikan bahwa umat manusia pada zaman-zamannya yang paling dini, menganut tauhid yang murni. Penyembahan Ilah yang beragama itu hanya merupakan ulah para pemuka agama yang bersaing satu sama lain. Pembuktian ini dengan sendirinya memperkuat kebenaran mukzijat ilmiah al Quran yang mengatakan bahwa inti ajaran para Nabi dan Rasul itu sama, maka para pengikut merekapun dengan sendirinya adalah umat yang satu dan tunggal (QS 2:213).
Dalam perspektif filsafat perennial, kesatuan transendensi dipandang sebagai satu dan hanya satu-satunya. Ia adalah kesejatian tunggal yang menjadi inti dan asal semua kesejatian yaitu tradisi primordial, sebagaimana juga pewahyuan yang berhubungan erat dan menjadi salah satu aspek logos universal, yang dalam arti tertentu dapat disebut sebagai logos universal itu sendiri. Perbedaan pemahaman yang lahir setelah melalui proses dialektika atau pergumulan hanya sebagai akibat sekaligus indikasi keterbatasan manusia dalam menangkap realitas yang absolut, yang bersifat perennial dan tidak terbatas.
Karena dalam proses pembacaan dan pemahaman terhadap doktrin agama, terdapat dua eksistensi realitas yang sama sekali jauh berbeda. Agama dengan demikian memiliki wajah ganda, di satu sisi agama berwajah ilahiah sedangkan pada sisi lain berwajah manusia. Keduanya tidak saling bertentangan. Pada aspek yang pertama, agama yang berwajah ilahiah menempatkan Tuhan secara eksistensial sebagai realitas tertinggi yang kemutlakannya berlaku secara universal tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan agama dalam pengertian berwajah manusia dimaksudkan bahwa manusia dalam proses pencarian kebenaran azali secara eksistensial memiliki keterbatasan, atasnya berlaku hukum-hukum eksistensial sebagaimana mahluk lainnya yang memiliki tingkat relativitas kenisbian yang tinggi.
Kesadaran terhadap keterbatasan diri, pengertian dan pemahaman dalam mengangkau agama sebagai doktrin kebenaran, dengan sendirinya menjadi alat pengendali bagi para pemeluk agama untuk tidak bersikap apriori dalam menyalahkan pengertian dan pemahaman pemeluk agama lain. Kita seperti dikatakan Syamsul Arifin (1996) dengan mengadopsi Djohan Effendi (1985) tidak bisa berharap banyak untuk mengembangkan sikap pluralistik dan tumbuhnya budaya dialog dengan agama-agama universal, jika klaim kebenaran menjadi bagian dari keberagamaan yang dominan.
Dalam konteks filsafat perennial kecenderungan untuk memutlakkan pemahaman agama sendiri dan sikap apriori terhadap pemahaman agama lain ditolak. Filsafat perennial menghendaki adanya pluralisme. Agama apapun namanya tetap dipandang sebagai suatu tradisi esoterik yang otentik yang mengandung satu pengetahuan dan pesan yang sama, yakni kebijakan abadi yang mesti menjadi pijakan kontekstualisasi agama itu dalam situasi apapun sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis atau pesan-pesan moral dalam keluhuran hidup manusia meskipun muncul melalui beragam nama (plural) dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol yang berbeda.
Keragaman bentuk agama bukanlah menjadi starting point tetapi bagaimana pemeluk suatu agama memandang dan memahami substansi ajaran agama yang keberadaannya di balik bentuk formalnya. Substansi ini bersifat transenden dan imanen sekaligus. Disebut transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan karena tidak tercandra kecuali lewat predikatnya. Meskipun demikian agama juga bersifat imanen, sebab kaitan antara substansi dan predikat adalah merupakan hal yang niscaya, dan karena itu tak mungkin terpisahkan karena substansi agama hanya satu yaitu yang paling tinggi dan primordial, ia bersifat perennial.
Fritjhof Schoun (1976) seperti diadopsi Syamsul Arifin (1996) dan Sabrin (1999) melihat, bahwa setiap agama memiliki muatan substansial yang bersifat mutlak. Ia merupakan gabungan antara substansi (esoteris) dan bentuk (eksoteris) yang bersifat absolut tetapi relatif atau yang disebut Nasr dengan relatively absolute.
Pandangan filsafat perennial yang memandang kesatuan transendensi agama-agama dapat diprogramkan untuk menjadi agenda ke depan dalam upaya menciptakan stabilitas dan kerukunan umat beragama di Indonesia sehingga pemeluk agama yang berbeda dapat diterima sebagai tetangga dekat sekaligus tetangga rohani dengan tetap mendasarkan diri pada kerangka keterbatasan diri dalam memahami agama secara tepat dan menyeluruh.
Karena seperti diungkapkan Charles Davis (1980) dalam "Religious Pluralis" kesatuan tanpa keragaman menyebabkan manusia mengingkari kebebasan. Karena itu, pluralitas menyangkut iman dan moral harus tetap diterima. Menyangkut hubungan intern antara yang satu dan yang banyak dalam semua agama harus diberikan kepada yang satu sebagai sumber kreatif.

Manusia dalam Perspektif PsikologiDalam literatur psikologi pada umumnya para ahli ilmu ini berpendapat bahwa penentu perilaku utama manusia dan corak kepribadian adalah keadaan jasmani, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan. Determinan tri dimensional ini (organo biologi, psikoedikasi, dan sosiokultural) merupakan determinan yang banyak dianut oleh ahli psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini unsur ruhani sama sekali tidak masuk hitungan karena dianggap termasuk penghayatan subjektif semata-mata.Selain itu psikologi apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat yang mendasarinya bercorak antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia. Pandangan ini mengangkat derajat manusia teramat tinggi ia seakan-akan memiliki kausa prima yang unik, pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.Sampai dengan penghujung abad ini terdapat empat aliran besar psikologi, yakni : Psikoanalisis, psikologi Perilaku, Psikologi Humasnistik, Psikologi Transpersonal. Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang yang berlainan, dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.PsikoanalisisPendiri psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856-1839), seorang neurolog berasal dari Austria, keturunan Yahudi. Teori yang dikembangkan pengalaman menangani pasien, freud menenmukan ragam dimensi dan prinsip-prinsip mengenai manusia yang kemudian menyusun teori psikologi yang sangat mendasar, majemuk, dan luas implikasinya dilingkungan ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan agama.Menurut freud kepribadian manusia terdiri dari 3 sistem yaitu id (dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain. Id merupakan potensi yang terbawa sejak lahir yang berorientasi pada kenikmatan (pleasure principle), menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan, dan menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Ego berusaha memenuhi keinginan dari id berdasarkan kenyataan yang ada (Reality principle). Sedangkan superego menuntut adanya kesempurnaan dalam diri dan tuntutan yang bersifat idealitas.Dalam diri manusia ada 3 tingkatan kesadaran yaitu alam sadar, alam tidak sadar, dan alam prasadar. Alam kesadaran manusia digambarkan freud sebagai sebuah gunung es dimana puncaknya yang kecil muncul kepermukaan dianggap sebagai alam sadar manusia sedangkan yang tidak muncul ke permukaan merupakan alam ketidaksadaran yang luas dan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dan diantara alam sadar dan alam ketidaksadaran terdapat alam prasadar. Dengan metode asosisi bebas, hipnotis, analisis mimpi, salah ucap, dan tes proyeksi hal-hal yang terdapat dalam alam prasadar dapat muncul ke alam sadar.Psikologi Perilaku (behavior)Aliran ini berpendapat bahwa perilaku manusia sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan luar dan rekayasa atau kondisioning terhadap manusia tersebut. Aliran ini mengangap bahwa manusia adalah netral, baik atau buruk dari perilakunya ditentukan oleh situasi dan perlakuan yang dialami oleh manusia tersebut. Pendapat ini merupakan hasil dari eksperimen yang dilakukan oleh sejumlah penelitian tentang perilaku binatang yang sebelumnya dikondisikan.Aliran perilaku ini memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku yang banyak digunakan dalam bidang pendidikan, psikoterapi terutama dalam metode modifikasi perilaku. Asas-asas dalam teori perilaku terangkum dalam hukum penguatan atau law of enforcement, yakni :a. Classical CondtioningSuatu rangsang akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang tersebut sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut. Misalnya bel yang selalu dibunyikan mendahului pemberian makan seekor anjing lama kelamaan akan menimbulkan air liur pada anjing itu sekalipun tidak diberikan makanan. Hal ini terjadi karena adanya asosiasi antara kedua rangsang tersebut.b. Law of EffectPerilaku yang menimulkan akibat-akibat yang memuaskan akan cenderung diulang, sebaliknya bila akibat-akiat yang menyakitkan akan cenderung dihentikan.c. Operant ConditioningSuatu pola perilaku akan menjadi mantap apabila dengan perilaku tersebut berhasil diperoleh hal-hal yang dinginkan oleh pelaku (penguat positif), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku tersebut mengakibatkan hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman), atau mangakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).d. ModellingMunculnya perubahan perilaku terjadi karena proses dan penaladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi (model)Keempat asas perubahan perilaku tersebut berkaitan dengan proses belajar yaitu berubahnya perilaku tertentu menjadi perilaku baru.Psikologi HumanistikBerlainan dengan psikoanalisis yang memandang buruk manusia dan behavior yang memandang manusia netral, psikologi humanistik berasumsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya. Aliran ini memfokuskan telaah kualitas-kualitas insani. Yakni kemampuan khusus manusia yang ada pada manusia, seperti kemampuan abstraksi, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri, dan rasa estetika. Kualitas ini khas dan tidak dimiliki oleh makhluk lain. Aliran ini juga memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri. Asusmsi ini meunjukkan bahwa manusia makhluk yang sadar dan mandiri, pelaku yang aktif yang dapat menentukan hampir segalanya.Salah satu kelompok aliran ini adalah logoterapi yang dikembangkan oleh Viktor Frankl. Logoterapi mengatakan bahwa manusia terdiri dari 2 komponen dasar yaitu dimensi raga (somatis), dan dimensi kejiwaan (psikis) atau dimensi neotic atau sering disebut dengan dimensi keruhanian (spiritual). Menurut Frankl bahwa arti keruhanian ini tidak mengacu pada agama tetapi dimensi ini dianggap inti kemanusiaan dan merupakan sumber dari makna hidup, serta potensi dari berbagai kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa yang selama ini terabaikan oleh telaah psikologi sebelumnya. Logoterapi mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai satu kesatuan dari raga-jiwa-ruhani.Manusia memiliki hasrat untuk mencari makna hidup, bila seseorang berhasil menemukan makna hidupnya maka hidupnya akan bahagia demikian sebaliknya bila tidak menemukannya maka hidupnya akan hampa. Dan menurut frankl kehilangan makna hidup ini banyak diaami oleh orang-orang yang hidup dalam dunia modern saat ini.Psikologi TranspersonalAliran ini dikembangkan oleh tokoh dari psikologi hmanistik antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistik. Sebuah definisi yang dikemukakan oleh Shapiro yang merupakan gaubungan dari berbagai pendapat tentang psikologi transpersonal : psikologi transpersonal mengkaji tentang potensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.Rumusan di atas menunjukkan dua unsur penting yang menjadi telaah psikologi transpersonal yaitu potensi-potensi yang luhur (potensi tertinggi) dan fenomena kesadaran manusia. The altered states of consciousness adalah pengalaman seorang melewati kesadaran biasa misalnya pengalaman memasuki dimensi kebatinan, keatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi. Demikian pula dengan potensi luhur manusia menghasilkan telaah seperti extra sensory perception,transendensi diri, ectasy , dimensi di atas keadaran, pengalalman puncak, daya batin dll.Psikologi transpersonal seperti halnya psikologi humanistik menaruh perhatian pada dimensi spiritual msnusia yang ternyata mengandung potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Perbedaannya dengan psikologi humanistik adalah bila psikologi humanistik menggali potensi manusia untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-ransendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini.Kajian transpersonal ini menunjukkan bahwa aliran ini mencoba mengkaji secara ilmiah terhadap dimensi yang selama ini dianggap sebagai bidang mistis, kebatinan, yang dialami oleh kaum agamawan (kyai, pastur, bikhu) atau orang yang mengolah dunia batinnya. Hasil dari beberapa penelitian tranpersonal menunjukkan bahwa bidang kebatinan bisa menjadi bidang ilmu dan dapat dikaji secara ilmiah sehingga hal tersebut penting untuk di kaji lebih dalam dan tidak dianggap sebagai suatu bid’ah, khurafat, ataupun syirik yang akhirnya membelenggu ilmuwan psikologi untuk mempelajari potensi yang tertinggi ini. http://setiyo.blogspot.com/2007/02/materi-kuliah-2-manusia-perspektif.html
























5.ntry: KARL MARX: ANTI AGAMA VS PENEGAK KEMURNIAN IMANI Apr 30, 2008
Di Eropa, sejak abad rasionalisme dan mencapai masa akut pada reformasi gereja, konsep Ke-Tuhanan, persepsi dunia transendensi dalam bentuk deisme Inggris, Jerman dan Prancis agama menjadi memperoleh signifikasi baru.

Gagasan Marx tentang agama tersebar di dalam tulisan-tulisan terutama banyak dipengaruhi oleh Hegelian muda seperti Feuerbach, Stirner dan Thomas Hess serta Bruno Bauer. Kritik Marx terhadap menimbulkan repons dan reaktif pada institusi agama dan kehidupan religius dan berujung kebencian terhadap Marx. Namun sebahagian lainnya menyambutnya sebagai "promoteus sang pencerah" dalam tradisi Iliade epos Junani kuno. Atas nama kekuasaan dan kekudusan agama, Marx dinyatakan sebagai musuh Tuhan dan seteru abadi agama. Marxisme diidentikkan dengan Marxisme-Leninisme bahkan teranalogikan dengan komunisme.

Kerancuan episteme ini menyulut kontroversi dalam pemahaman univok dan keniscayaan ekivok gagasan-gagasan Marx, sehingga watak emansipatoris yang dikandungnya menjadi bias namun menjadi aktual diperbincangkan dewasa ini. Dalam Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right, Marx menegaskan bahwa basis kritik terhadap kehidupan religiusitas adalah : manusia membuat agama, bukan agama membuat manusia. Agama, sesungguhnya, adalah kesadaran dan takzim-diri manusia yang belum menemukan dirinya, atau manusia yang kehilangan dirinya. Akan tetapi manusia bukanlah mahluk abstrak yang tergerogoti dari luar dunia. Manusia adalah dunia manusia. Negara dan masyarakat menciptakan agama, yang tidak lain adalah suatu kesadaran terbalik. Agama adalah teori umum dunia ini, ensiklopedia, logika dalam bentuk popular, point d'honneur, spiritual, entusiasme, sanksi moral, komplemen serius dan dasar umum dari konsumsi dan justifikasi dunia. Agama tidak lain adalah realisasi impian atau bayangan esensi manusia yang tidak memiliki realitas sesungguhnya. Perjuangan terhadap agama dengan demikian secara langsung adalah perjuangan terhadap dunia.

Penderitaan agamis segera menjadi manifestasi dari penderitaan riil, dan protes terhadap penderitaan riil. Agama adalah keluhan manusia yang tertekan, hati dari dunia yang tidak memiliki hati, sebagaimana adanya adalah roh dari kondisi yang tidak memiliki roh. Marx menandaskan bahwa : 'kritik agama, dengan demikian adalah suatu kritik kucuran air mata, yang lingkaran kudusnya adalah agama'. Atas dasar ini, kritik sorgawi beralih menjadi kritik bumi, kritik agama menjadi kritik hukum dan kritik teologi menjadi kritik politik. (Kamenka, 1983. Hal: 116

Agama adalah candu masyarakat. Untuk mengalahkan agama sebagai khayalan dibutuhkan untuk kebahagiaan yang nyata. Kebutuhan membuang khayalan tentang keadaan mereka adalah kebutuhan untuk menyerah kepada kondisi yang mengisyaratkan khayalan. Kritik Marx terhadap agama yang menjadi fokus alienasi berbalik menjadi berbalik menjadi phobos. Marxisme ditakuti dan dihujam. Marx sebagaimana Darwin dan Nietzsche serta Freud dituduh sebagai anti Tuhan. Pada hal Marx tidak pernah anti kepada Tuhan. Atau sungguh-sungguh seorang ateis, sebagaimana dimafumkan sebagai seorang materialis.

Mengatakan Marx sebagai anti Tuhan adalah suatu kenaifan intelektual. Dilema marxisme terletak pada paradoks ini. Herbert Marcuse, tokoh Neo-Marxisme, dalam One Dimensional Man, membongkar kecanggihan kapitalis dalam mentransformasikan eksploitasinya dalam masyarakat konsumer melalui penciptaan kebutuhan palsu. Dengan kebutuhan palsu maka lahir pulalah kesadaran palsu. Dalam masyarakat berdimensi satu kaum Proletariat kehilangan vitalitas revolusionernya. Sebagai gantinya kelompok ini terserap dan afirmatif di dalamnya. Mereka menjadi penyangga sistem. Kesadaran berubah menjadi kesadaran palsu. Fetisisme mengisyaratkan lahirnya kesadaran palsu. Mereka membela parasit yang seharunya disingkirkan. Dan mereka bahkan menjadi garda terdepan dari cara produksi kapitalistik. Terperangkap dalam sistem, kaum buruh menjadi mandul dan konservatif, dan bahkan tertransformasikan dalam sistem tersebut. Kapitalisme yang menjadi seteru klasiknya menjadi pengayom sekaliogus ahli waris eksploitasi kapitalistisme.

Dalam Marx Tentang Agama, Raines mengatakan bahwa ateisme Marx bukan sekedar kebutaan terhadap Tuhan, akan tetapi kritik Marx terhadap agama mengangkat sebuah masalah yang memang ada bagi agama. Agama rentan terhadap godaan untuk berkuasa dan agama mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kritik agama Marx, demikian Raines, di satu pihak merangsang agama-agama untuk menunjukkan bahwa agama tidak mesti mendukung struktur kekuasaan duniawi yang ada, di lain pihak memaksa agama untuk melihat keterlibatannya dalam penindasan dan ketidak-adilan sosial, pelbagai permasalahan sosietal segala zaman. Sebagai refleksi praxis, penting untuk dieksplisitaskan bahwa agama-agama sebaliknya boleh berterimakasih kepada Marx karena kritiknya yang tidak membabi-buta, melainkan tajam dan terarah - membuka perspektif baru, menyegarkan dan penuh harapan, mengusung visi emansipatoris, dan berbagai kemungkinan kepada mereka untuk mengangkat diri ke luar dari sebuah koalisi tidak sedap dengan para penguasa segala zaman yang mengancam harkat agama itu sendiri.

Reiner melanjutkan eksposisinya tentang sikap reflesif Marx terhadap agama dengan menandaskan bahwa Krtitik Marx terhadap agama dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana esensi manusia harus diungkapkan dan bukan untuk dimanipulasikan. Agama harus diakui berpotensi untuk dijadikan dalih dan pembenaran ideologi tertentu. Apabila hal ini terjadi agama menjadi sangat eksklusif dan menakutkan bagi orang, kelompok di luar agama tersebut. Sejarah juga mengajarkan bahwa agama acapkali mengabsahkan kekejian dan kejahatan. Agama perlu mengadakan refleksi diri dan tidak perlu untuk menggugat ateisme dan takut akan maxim Marx tentang agama yang disebut sebagai candu masyarakat. Refleksi imani melalui pembacaan dan dialog tekstur Marxisme barangkali dapat lebih mendewasakan diri dalam menyikapi agama sekaligus merupakan himbauan imani agar agama lebih peka terhadap masalah-masalah kongkret manusia dan kehidupan.

Melalui maklumat Marx tersebut agama akan lebih tidak akan mencurigai dan menafikan humanisme. Keterasingan dan upaya meperjuangkan kesadaran kolektif yang bersandar pada kesadaran otonom individu dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk merancang suatu strategi menuju suatu masa depan yang lebih human.
http://meontology.blogdrive.com/comments?id=40


















6. KAPASITAS PRIBADI UNTUK MEMPROMOSIKAN JPIC
(Sebuah Refleksi Atas Teori Konsistensi Transendensi-Diri)
(Gonsa Saur, OFM)

Pengantar
Tulisan ini merupakan sumbangan refleksi lanjutan atas pertemuan SAAO “Strategies for Integrating JPIC into Formation”. Saya sungguh tertarik untuk menyumbangkan refleksi ini karena dalam butir ke-7 dari strategi-strategi itu disebutkan soal Spiritual Direction (Discernment, psychological testing, etc). Dalam butir tersebut ada dua hal yang mau direfleksikan: Bagaimana kita membimbing para saudara dalam pendidikan untuk mengintegrasikan JPIC dalam hidup dan identitas Fransiskan mereka (kita) dan apa strategi dan alat yang bisa kita gunakan?
Tulisan ini akan saya dasarkan pada teori kepribadian dari Luigi M. Rulla: The theory of self-transcendent consistency (teori konsistensi transendensi-diri). Saya menyakini bahwa psikologi dalam (depth psychology) bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi para formator untuk membantu para saudara dalam pendidikan dalam mengembangkan kapasitas mereka dalam promosi JPIC. Tulisan ini lebih dilihat dari sudut pendekatan spiritual direction sebagai titik tolaknya daripada psikologisme. Spiritual Direction bertujuan untuk membantu sesama membangun relasi persahabatan kasih dengan Allah lewat doa. Doa dan relasi dengan Allah menjadi unsur utama dalam spiritual direction dalam proses transformasi diri. Bagi saya doa merupakan suatu therapy (therapy doa) yang ampuh dalam proses “penyembuhan” luka-luka batin masa lalu yang masih terus mempengaruhi dan menghambat kita tanpa sadar dalam: memahami, mempertimbangkan, mengambil keputusan dan tindakan yang baik.
Di sinilah kekuatan spritual direction untuk membantu kita untuk mengenal diri dan menerima kerapuhan kita dan mentransformasikannya dalam Allah. Di sini pula kita mendapat titik temu antara psikologi dan spiritualitas. Spiritual direction memperhitungkan sumbangan psikologi, dalam hal ini teori konsistensi transendensi diri dari Rulla tanpa jatuh kepada psikologisme atau spiritualisme. Melalui tulisan ini saya mencoba untuk menggunakan pendekatan Spiritual Direction sebagai suatu sumbangan pendekatan dalam promosi JPIC untuk membangun kepribadian yang matang dan dewasa dalam cinta akan Allah, sesama dan diri sendiri serta alam ciptaan lainnya.

A. Pertanyaan Mendasar Mengenai Antropologi Kristiani
Siapakah pribadi kristiani itu? Berbagai disiplin ilmu (filsafat, teologi, psikologi, antropologi, sosiologi) mencoba untuk menjawab pertanyaan siapakah manusia itu? Pertanyaan yang sama menjadi sumber kegelisahan saya pribadi yang mendorong saya untuk terus mencari suatu jawaban yang bisa mengintegrasikan kenyataan bahwa saya adalah seorang beriman dan manusia yang sedang mencari makna kehidupan. Makna kehidupan itu sendiri bagiku hanya ditemukan dalam Allah sendiri: Deus meus et omnia (Fransiskus) dan “The glory of God is living man and the life of man is the vision of God (Ireneus).
Namun atas nama Otonomy Ilmu, jawaban yang mereka berikan sering membingungkan kita dan juga sering meyakinkan kita sehingga kita jatuh pada pandangan atau ideologi tertentu yang mereka tawarkan tetapi tidak memuaskan dari sudut pandang antropologi kristiani. Refleksi ini saya dasarkan dari sudut pandang antropologi kristiani, yang berpusat pada Allah dan bukan pada manusia. Untuk memiliki pemahaman akan antropologi kristiani yang memadai maka perlu suatu pendekatan interdisipliner,[1] setidak-tidaknya antara ketiga cabang pendekatan (Filsafat dan Teologi, Spiritualitas, Psikologi). Pendekatan ini membantu agar proses internalisasi nilai-nilai yang diwahyukan dan diwartakan oleh Kristus kian terwujud.
Manusia dianugerahi kemampuan untuk diresapi oleh Sabda Allah (gratia operans), maupun kemampuan untuk memilih dan mengambil sikap terhadap nilai-nilai yang membuka dan mengarahkan diri pada Allah (gratia cooperans), untuk menanggapi dan bekerjasama dengan rahmat Allah. Namun, manusia memiliki keterbatasan sebagai ciptaan (ia bukan Pencipta), terbatas kebebasannya untuk bekerjasama dengan rahmat Allah.[2] Kejatuhan manusia dalam dosa mengaburkan arah dan orientasi manusia kepada Allah, Sang Cinta. Allah yang adalah Cinta, tergerak oleh Cinta mengutus Yesus Kristus, prototipe kehidupan Cinta menjadi manusia sehingga manusia belajar akan arti hidup yang sejati (Cinta) dari padaNya.
Oleh karena itu dalam pengolahan hidup, pembinaan panggilan dan hidup rohani perlulah mempertimbangkan unsur-unsur germinatif (kemampuan-kemampuan yang dapat menjadi tanah subur untuk menanggapi panggilan Allah) dan unsur-unsur vulnerable spot (segi dari pribadi yang rapuh dan mudah terjatuh) yang menghambat pertumbuhan panggilan.[3]

B. Teori Konsistensi Transendensi Diri[4]
Luigi M. Rulla, SJ, Franco Imoda, SJ dan Joice Ridick SSC menawarkan kepada kita suatu lahan subur penelitian dalam bidang motivasi religius. Teori ini menekankan bahwa esensi hidup ditemukan dalam transendensi-diri, dalam kapasitas dari masing-masing pribadi untuk mengorientasikan diri pada apa yang melampaui dan di atas kita, akan sebuah makna dan nilai yang hanya dapat kita temukan, yang kita sendiri tidak dapat ciptakan. Pandangan Rulla konsistent dengan nilai kekristenan yang memanggil kita untuk mentransendenkan diri sebagai jawaban terhadap Allah yang menyelamatkan kita. Realisasi diri yang sejati dan pemenuhan diri yang otentik merupakan hasil dari transendensi-diri (digerakkan oleh Allah sendiri dalam kerjasama dengan kemanusiaan kita) dan sebagai konsekuensi dari kemampuan untuk mencinta dengan tidak memihak.
Rulla mengakui bahwa peranan dari unsur tidak sadar (unconscious) berpengaruh dalam hidup kita dan bagaimana faktor pra-sadar (subconscious) dapat mempengaruhi kapasitas kita untuk menginternalisasikan nilai dan sikap dan menganggu proses pembedaan roh (discernment of spirit). Studi tentang kepribadian dari Rulla memiliki dua sudut pandang: struktural dan isi. Yang dimaksudkan dengan struktur dari kepribadian menyangkut dua tingkat: Ideal self/self-transcending (diri ideal), berciri sadar (conscious): yaitu paduan daya-daya motivasi yang mengarah untuk terus menerus bertumbuh ke transendensi-diri yang ideal, maka selalu menarik, mengoreksi dan memberi terang pada diri aktual untuk menyempurnakan diri.[5]
Actual self/self-transcended (diri actual), dapat berciri sadar atau prasadar: yaitu paduan daya-daya motivasi yang ternyata tumbuh ke transendensi diri atau ternyata mandeg entah secara sadar atau bawah sadar. Diri ideal menyangkut apa yang diinginkan oleh pribadi untuk menjadi atau berada. Sedangkan diri aktual menyangkut diri yang ada (apakah dia mengetahuinya atau tidak) dan cara pribadi berprilaku pada biasanya. Sedangkan mengenai isi (contents) ada tiga: nilai (value), sikap (attitudes) dan kebutuhan (needs). Untuk menjadi sungguh manusia matang dan dewasa maka perlu dilihat apakah ketiga hal ini (values, needs and attitudes) konsisten satu dengan yang lain.
Untuk memahami pribadi manusia perlu dipertimbangkan intensionalitas (keterarahan) sadar, pra-sadar dan bawah sadar yang menentukan disposisi hidup seseorang (ketiga-tiganya ada dalam diri orang, tapi ada salah satu yang lebih dominan). Motivasi bawah sadar dapat merupakan dorongan emosi (sikap emosional yang terbentuk dari bekas-bekas emosi masa lalu dan berfungsi berdasarkan ingatan afeksi), kebutuhan-kebutuhan psikologis dan mekanisme pembelaan diri yang cendrung mencari pemuasan apa “yang penting untuk diriku”. Sebaliknya, motivasi sadar berfungsi atas dasar dorongan rational (pertimbangan refleksi) dan berorientasi pada nilai-nilai dan mengacu ke perwujudan “apa yang penting pada dirinya” atau apa yang sering disebut dengan nilai intrinsik.
Semakin intensionalitas sadar berperan dalam motivasi dan kemudian dalam disposisi seseorang, semakin orang itu bebas untuk berorientasi pada nilai-nilai transenden. Sebaliknya, semakin banyak motivasi bawah sadar dalam hidupnya, pribadi semakin tidak bebas untuk memilih dan mengambil putusan untuk memeluk nilai-nilai transenden. Spiritual direction membantu orang untuk melihat motivasi-motivasi bawah sadar dalam hidupnya yang terungkap lewat kemampuan untuk mendengarkan dan membedahkan Roh serta konfrontasi yang dilandasi oleh cinta.

C. Proses Transformasi Diri
Seseorang yang memilih hidup religius dengan sadar dan bertanggung jawab biasanya disertai kerelaan untuk menghayati juga konsekuensi-konsekuensi pilihan hidup ini. Namun pada kenyataannya tiap manusia memiliki kecendrungan juga untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya (dominasi, merawat, mengatur, kepuasan seksual, ingin diperhatikan, agresi, rasa kecil, mencapai hasil, mandiri, menghindari sensor, kontrol atau takut gagal, ingin tahu, menghindari sakit, dll) [6], termasuk kebutuhan psikologis yang mungkin bertentangan dengan salah satu nilai kaul. Ketegangan antara tarikan kebutuhan psikologis dan cita-cita untuk memwujudkan nilai kaul ini kalau tidak dapat diintegrasikan dalam pribadinya akan mempengaruhi hidup afeksi seseorang. Kemampuan untuk mengintegrasikan hidup afeksi dalam hidup panggilan akan membuat seseorang makin dewasa (dewasa tidak berarti bahwa kita sempurna dan murni seratus persen, melainkan kemampuan untuk menerima diri dengan segala keterbatasan tetapi juga memiliki harapan bahwa Allah akan menyertai kita dalam proses pertobatan atau transformasi diri), makin memiliki kebebasan afektif untuk penghayatan kaul. Proses integrasi ini termasuk dalam dimensi dari apa yang sering disebut transformasi-diri ke arah penghayatan nilai panggilan. Proses transformasi diri ini mempunyai beberapa tahap yang dapat diamati, sekaligus dapat dipakai sebagai bahan refleksi penghayatan hidup panggilan kita:[7]
lKonformisme (compliance): proses menerima nilai atau pengaruh-pengaruh dari luar atas dasar kebutuhan psikologis kesenangan atau keuntungan yang diperolehnya atau sebaliknya karena takut hukuman dan penolakan. Ia sendiri dalam menerima nilai tersebut tidak disertai kepercayaan atau keyakinan akan isi nilai dari apa yang dilakukannya. Akibatnya, perilaku seseorang terbentuk oleh dinamika untuk membuat orang lain senang dan dengan demikian diri sendiri terhindar dari celaan, hukuman, kritik, amarah, penolakan atau kesulitan pribadi yang lain seperti takut kalau tidak lagi diterima. Pokoknya ia berbuat asal membuat orang lain senang dan ini menjadi prinsip hidupnya.
lIdentifikasi tanpa pembatinan: proses menerima nilai, pengaruh sosial atau pribadi lain karena melihat bahwa relasi dengan mereka semakin memperkaya pembentukan-diri, pengenalan diri dan cita-cita dirinya. Kemudian dalam pribadi tersebut terjadi dinamika untuk meniru dan meresapkan ciri-ciri, nilai atau perilaku model yang dikaguminya, agar dengan demikian merasa lebih dewasa atau setidak-tidaknya dapat ikut ambil bagian dalam popularitas model yang dikaguminya. Identifikasi ini dapat disertai internalisasi atau pembatinan apabila proses identifikasi membawa pribadi ke pembatinan nilai karena melihat bahwa dalam diri modelnya terdapat nilai baik yang selaras dan diyakininya sebagai konsisten dengan nilai-nilai panggilan yang dipeluk dan diikrarkannya. Kemudian ia menjadikan nilai tersebut miliknya dan diwujudkan juga dalam hidupnya karena bernilai pada dirinya. Sedangkan identifikasi tanpa pembatinan adalah kebalikannya, yaitu sekedar meniru nilai-nilai yang dimiliki si model tanpa keyakinan apakah nilai tersebut benar-benar baik di hadapan nilai-nilai panggilan yang dipeluknya. Di sinilah dipakai atau untuk kepentingan utilitaristis atau defensif, sehingga sebenarnya tidak terjadi pembatinan.
lInternalisasi atau Pembatinan: terjadi apabila seseorang menerima nilai yang membuatnya makin terbuka untuk menghayati dan semakin mendorongnya untuk mengubah diri/transformasi diri secara teosentris. Ia semakin bersedia untuk diubah oleh nilai tersebut dan itu dilakukan demi cinta akan kepentingan dan maksud intrinsik yang terdapat dalam nilai itu sendiri dan bukan untuk tujuan lain. Di sini terjadi proses transformasi diri seperti dikatakan oleh Paulus dalam Gal 2:20, “Aku hidup, namun bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dalam hidup yang kuhidup sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku.”

Dalam kenyataan hidup, proses internalisasi banyak terhambat oleh berbagai kesuliatan pribadi yang muncul dari psikodinamika bawah sadarnya, seperti kompromi, karena ingin menghindari hukuman dan rasa sakit, sehingga memilih untuk menyenangkan orang lain daripada mengungkapkan nilai. Mungkin juga sampai pada identifikasi tetapi tanpa pembatinan.

D. Konsistensi dan Inkonsistensi
Rulla dan rekannya telah membuat outline pola yang berbeda atau tipe konsisten dan inkonsisten yang dapat muncul:[8]
lKonsistensi sosial (social consistency): terjadi bila kebutuhan psikologis ternyata sesuai atau konsonan dengan nilai-nilai dan juga dengan sikap hidupnya. Kebutuhan psikologis ini dapat disadari atau bawah sadar. Misalnya, kebutuhan psikologis untuk mengejar prestasi (aktif) dapat sesuai dengan keinginan jujur untuk menyempurnakan diri agar semakin mampu melaksanakan pelayanan dan kerasulan. Konsistensi tersebut disebut sosial karena membuat pribadi diterima sebagai pribadi yang bermutu. Perilaku yang dibuat pun sesuai dengan nilai. Jadi, sikapnya sesuai dengan nilai kaul maupun dorongan kebutuhan psikologisnya, sehingga biasanya diterima baik sebagai religius yang sejati.
lKonsistensi Psikologis: terjadi bila kebutuhan psikologis sesuai dengan nilai-nilai kaul, tetapi tidak diungkapkan dalam sikapnya. Misalnya, kebutuhan psikologis untuk merawat sesuai dengan tuntutan cintakasih Kristus, tetapi diungkapkan dalam sikap kasar dan agresif dalam melayani orang lain. Jadi, hanya dalam kejiwaannya saja konsisten, tetapi penampilan dan sikapnya tidak konsisten. Orang ini dari luar tampaknya kasar dan keras atau tidak mengundang simpati, tetapi sebetulnya ia sendiri menyadari bahwa maksudnya tidaklah demikian, tetapi benar-benar mencintai.
lInkonsistensi sosial: terjadi bila kebutuhan psikologis bertentangan dengan nilai kaul, sedangkan sikap dan perilakunya lebih cendrung mengikuti kebutuhan psikologisnya. Misalnya, seseorang mempunyai kebutuhan bawah sadar yang kuat berupa kehangatan, kasih sayang dan afeksi, de facto (dan diam-diam) cendrung mencari relasi yang memuaskan afeksi ini dalam persahabatan antarjenis atau sejenis, entah dalam rupa persahabatan khusus yang cendrung eksklusif atau malah berpacar-pacaran, meskipun dalam refleksi ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan nilai keperawanan yang ia ikrarkan.
lInkonsistensi Psikologis: terjadi bila kebutuhan psikologis bertentangan dengan baik nilai kaul maupun sikap-sikapnya. Misalnya, seorang suster memiliki kebutuhan psikologis kuat berupa kebutuhan seksual yang bertentangan dengan keperarawan. Pribadi ini dari luar tampak sangat baik dalam kerasulan dan cintakasih, tampak unggul dalam mewartakan nilai, tetapi diam-diam dipakai untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, misalnya menjalin hubungan dengan jenis lain. Oleh karena itu seluruh kegiatan dan keaktifannya dipakai untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya.
lKonsistensi defensisf: bila kebutuhan psikologis mestinya konsonan atau sesuai dengan nilai-nilai, tetapi dibuat dan dihayati semata-mata sebagai kedok atau topeng atau pembelaan diri yang tidak disadari (kompensasi, proyeksi, rasionalisasi, identifikasi, isolasi, displacement, represi, regresi, idealisasi, devaluasi, dll)[9]. Jadi, sebetulnya merupakan inkonsistensi psikologis yang konsisten.

E. Pedagogi Baru: A Provocative-interpretative Pedagogy
Ada tiga jenis pedagogy[10]:
lPedagogi Obyektif: sebuah model formatif yang mengacu kepada hal normatif dalam hidup religius, pada anggaran dasar, nilai yang diperoleh dan “obyektif” dari hidup religius. Dalam pedagogi ini, dimensi kemanusiaan dan afeksi dari pribadi dinomorduakan dalam menghargai obyektivitas dunia keharusan. Formasi pada dasarnya assimilasi dan ukuran keberhasilannya tergantung sejauh mana orang berasimilasi dengan institusi yang diikutinya. Segi negatifnya: pribadi dinomorduakan. Formator menjadi penjamin atas nama institusi. Formator sebagai polisi yang melayani institusi dan bukan pelayan pertumbuhan dari pribadi yang dibimbing. Dalam suasana yang diwarnai oleh kurangnya dialog dan saling percaya, uniformitas dengan muda dicapai tetapi tanpa interiorisasi nilai atau internalisasi nilai.
lPedagogy Subyektif: inisiatif berasal dari pribadi yang dibimbing dan pribadi tersebut menjadi pusat, atur diri sendiri, merasa at home dengan diri. Formator menjadi seperti teman. Keuntungannya: dialog, partisipasi dan relasi antar pribadi. Kerugiannya: membiarkan pribadi yang dibimbing sebagaimana adanya (beginilah saya) tanpa suatu usaha menuju transformasi nilai yang mau di capai dan melahirkan ketidakpuasan pada diri yang dibimbing dan formator sendiri.
lPedagogi Provokasi-interpretasi: tekanan terletak pada pribadi yang dibimbing, memulai dari situasi konkret dimana dia berada dalam perkembangannya, tetapi ditemani menuju kepenuhan kedewasaan kemanusiaan dan kekristenannya. Pedagogi ini ditandai oleh dialog, partisipasi, percaya, confrontasi dan provokasi. Ini bermaksud untuk mencapai sebuah sintesis antara kedewasaan kemanusiaan dan otonomi pribadi, ketaatan pada kehendak Allah dan idenfikasi dengan kelompok sosial dia berada. Pada segi lain, kedinamisan dari pedagogi ini “dari kurang ke lebih”, diatur dalam tahap-tahap yang berbeda di mana individu merasa dirinya berada dalam sebuah proses dan pengalaman pertumbuhan dimana proses formasi adalah bertahap (tiap tahap mempunyai keobyektifan dan makna), konsisten (tiap tahap adalah sebuah persiapan untuk tahap berikutnya dan sebuah lanjutan dari yang sebelumnya), dan itu dikembangkan dalam hukum totalitas.

Melalui proses ini pembimbing memainkan peran penting sebagai pendidik (educator)[11], formator dan teman seperjalanan (companion).

F. Sumbangan Spritual Direction
Spiritual direction bertujuan untuk membantu orang dalam perziarahan hidup kepada kepenuhan dalam Allah. Dalam spiritual direction, spritual director membantu directee untuk menemukan tindakan Allah (kehendak Allah) dalam hidup lewat proses pembedaan roh (discernment of spirit). Model prosesnya: “companion and guide” seperti dua orang murid yang bergerak menuju Allah dalam bimbingan Roh Kudus. Maka disadari bahwa Allah beserta kita. Tujuan dari proses ini adalah bergerak menuju kesatuan dengan Allah. Metode dalam prosesnya: penyerahan kepada Allah, melepaskan apa saja yang menghalangi (blocks)kesatuan dengan Allah. Dinamika dalam prosesnya: merangsang kesadaran, mengenal, menemukan dan bertobat. Obyektivitasnya: “Aku hidup, namun bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal. 2:20).
Spiritual direction perlu mengembangkan dan memperhitungkan pendekatan kontemplasi dan pengalaman sebagai dasar relasi dengan directee. Pendekatan kontemplasi amat penting agar kita tidak terjatuh pada kecendrungan psikologisme untuk membuat kategori-kategori dan label pada orang dan menutup kemungkinan akan karya Allah yang terus bekerja membaharui orang dari dalam. Hal ini amat penting agar kita tidak terjatuh pada kesombongan ilmu, kita menjadi TUHAN bagi orang lain dan tahu tentang orang lain. Manusia adalah misteri seperti Allah adalah misteri dan dalam kemisterian itu pula Allah senantiasa mengundang orang kepada pertobatan dan transformasi diri, maka sangat membutuhkan kesabaran.
Selain pendekatan kontemplasi, juga kemampuan untuk mendengarkan apa yang disharingkan orang dalam pengalaman hidupnya amat penting. Komunikasi Spiritual director-directee yang sehat akan sungguh membawa transformasi diri dan pembebasan.[12] Dalam proses ini spiritual director mengadalkan Allah sebagai pelaku utama transformasi pada diri orang. Proses ini membutuhkan kesabaran dan membiarkan Allah menyelesaikan pekerjaannya pada orang tersebut. Spiritual direction lebih sebagai fasilitator untuk membantu orang dalam berelasi dengan Tuhan.
Discernment dan psikologi (psikodinamik) amat penting bagi seorang spiritual director dalam pelayanannya. Sebenarnya antara discernment of spirit dan psikologi membicarakan hal yang sama, yaitu membantu orang untuk mengenal kehendah Allah dengan memperhitungkan unsur sadar, prasadar dan bawah sadar. Kita memiliki begitu banyak hasrat dan kebutuhan tetapi hasrat dan kebutuhan ini tidak selalu membawa kita kepada Allah maka kita perlu membedakan mana yang menghantar kita dekat dengan Allah dan mana yang tidak. Proses ini terjadi dalam doa dan spiritual direction. Kita diundang untuk terbuka dan jujur dengan Allah dan mengundangNya untuk menerangi kita sehingga kita bisa melihat kehendaknya. Discernment of spirit membantu orang untuk mengenal dinamika atau gerakan roh yang ada dalam dirinya: apakah membawa saya semakin dekat dengan Allah atau menjauh dari Allah.
Dalam Discernment of spirit kita memperhitungkan unsur consolation dan desolation. Dua unsur ini menjadi tanda untuk membedakan roh yang baik atau roh yang jahat. Tetapi tidak semua perasaan yang kelihatan baik dan jahat itu menjadi tanda roh yang baik dan jahat sebab roh jahat sangat pandai untuk menipu kita, “setan berpakaian malaikat”. Setan sangat pintar dan ia selalu menyerang kita pada titik-titik yang paling lemah dalam hidup kita (vulnerable spots). Untuk bisa melakukan counterattack kita perlu mengetahui diri kita, mengenal kekuatan dan kelemahannya. Untuk mengenal diri dengan baik hanya bisa terjadi dalam kejujuran dan keterbukaan dalam relasi dengan Allah dan doa.

G. Transformasi Gambaran Allah
Sering terjadi bahwa masalah utama dalam spiritual direction adalah menyangkut gambaran (image) akan Allah. Gambaran akan Allah membawa dampak dalam kehidupan orang dan mempengaruhi cara ia memandang diri sendiri dan relasinya dengan Allah, sesama dan dirinya sendiri. Waktu kita bayi kita sangat tergantung pada orang tua. Ketergantungan ini menjadi lambang penyerahan kita kepada Allah dan bagaimana Allah mencintai kita dan menerima kita apa adanya.Tetapi ketika kita mulai bertambah besar kita menyadari bahwa kita tidak diterima begitu saja dalam relasi dengan orang lain dalam masyarakat. Kita harus menampilkan apa yang baik saja dan menyimpan yang kurang atau tidak baik sebagai reaksi wajar kemanusiaan kita ke alam bawah sadar. Masyarakat hanya menginginkan apa yang baik dari kita dan membenci apa yang jahat. Kesadaran ini membentuk suatu ketakutan akan penolakan dan hasrat untuk diterima. Kita lebih suka untuk melihat diri sebagai yang sukses, sempurna, hebat, terkenal, dihargai, dll. Sejak kecil kita membangun “benteng-benteng pertahanan” untuk melindungi diri dari ancaman orang lain dan terus menerus membangun benteng-benteng baru. Merasa ditolak memang menyakitkan. Lama-lama kita tidak mau melihat dan menerima kenyataan bahwa kita manusia yang rapuh dan terbatas.
Kenyataan ini tanpa sadar ikut membangun gambaran kita akan Allah. Kita memahami cinta Allah berdasarkan cara manusia mencinta dan membenci. Kita berpikir bahwa Allah mencintai kita jika kita berbuat baik, maka orang akan berjuang untuk menyenangkan Allah. Padahal ada gambaran Allah yang lain. Ia adalah Sang Kasih. Kasihnya tanpa syarat (come as you are) dan menerima kita sebagaimana kita ada karena kita adalah milik pusaka dan warisanNya. Kebanyakan kita susah untuk memahami, menerima dan merasakan cara Allah mencintai kita seperti ini.
Maka untuk membangun konsep diri yang sehat maka kita perlu menemukan kembali Siapa Allah bagi saya dan siapa saya dihadapan Allah. Pencarian ini merupakan pencarian kita akan Allah dan diri kita yang sejati (true self) di hadapan Allah. Allah telah menciptakan kita menurut gambar dan rupannya. Cintanya pada kita tetap setia. Cintanya tidak pernah berubah karena kita berdosa, melainkan semakin mencintai kita dengan mengutus Putranya.
Kita memang disibukkan oleh usaha untuk membangun kenyamanan diri dengan berbagai hal karena kita merasa tidak dicintai dan tidak bernilai. Kita merasa bahwa harga diri kita ditentukan oleh segala macam prestasi dan kehebatan lainnya. Maka untuk membangun hidup baru perlu suatu perubahan radikal dalam relasi dengan Allah untuk menerima bahwa Allah mencintai kita tanpa syarat.
Penerimaan akan cinta Allah tanpa syarat ini akan ikut membangun cara kita melihat diri. Kita berharga dihadapan Allah. Jika kita memiliki cara pandang bahwa kita dicintai tanpa syarat oleh Allah maka kita akan membagikan pengalaman cinta itu dalam relasi dengan orang lain dan dunia. Tetapi jika kita merasa bahwa harga diri kita ditentukan oleh apa yang kita buat maka hidup kita hanya diwarnai oleh usaha untuk memuaskan diri dan kita tidak pernah merasa damai dan bahagia. Hidup kita selalu diwarnai oleh ketakutan daripada oleh cinta. Orang yang merasa dicintai oleh Allah akan lebih bebas dalam menghadapi hidup dan juga akan lebih realistis bahwa kita tidak sempurna dan menerima keterbatasan dan kerapuhan kita.
Bagi saya, pertobatan Fransiskus didasari oleh suatu pengalaman akan Allah yang mencintainya tanpa syarat. Pengalaman akan Allah yang demikian itulah yang memungkinkan Fransiskus untuk melepaskan segala-galanya dan hidup dari Cinta Allah itu sendiri. Hidup dalam cinta Allah yang demikian diwarnai oleh kebebasan, kegembiraan dan kedamaian jiwa. Cinta Allah itulah yang membebaskan Fransiskus dan memungkinkan dia untuk membagi-bagi kebaikan Allah itu. Hal yang sama nampak jelas dalam pengalaman Yesus akan Allah di sungai Yordan: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu Aku berkenan” (Mrk 1:11). Inilah identitas diri Yesus sebagai Anak Kekasih Allah. KekuatanNya untuk rela menyerahkan nyawa bagi sahabatNya bersumber dari indentitas diri ini bahwa Ia dicintai oleh Allah. Ia sering ditantang oleh orang-orang (roh jahat) mengenai keyakinanNya ini, tetapi Ia teguh dan percaya bahwa Ia Anak kekasih Allah. Kita sering kehilangan identitas kita sebagai Anak kekasih Allah dan merasa kita tidak dicintai oleh Allah dan orang lain. Inilah sumber permasalahan dalam kebanyakan hidup kita: merasa tidak dicintai.
Kita hanya bisa menciptakan suatu persaudaraan yang dicita-citakan oleh Fransiskus jika kita sungguh memperbaharui gambaran Allah kita sendiri dan hidup oleh gambaran Allah yang Cintanya tanpa syarat pada masing-masing kita. Maka kita diundang untuk merangkul kerapuhan dan keterpecahan kita dan berjalan bersama dalam kerapuhan dan keterpecahan itu. Kekuatan kita sebagai persaudaraan Fransiskan adalah kesediaan untuk merangkul kerapuhan dan keterpecahan kita sendiri dan kerapuhan dan keterpecahan orang lain. Bila kita bersedia merangkul kerapuhan dan keterpecahan pada diri kita sendiri (merangkul orang kusta) kita akan menjadi the Wounded Healer bagi orang lain. Inilah misi persaudaraan Fransiskan dan JPIC.
Spiritual direction mendampingi orang untuk merasakan dan mengalami cinta Allah dalam hidup dan untuk semakin bebas mencintai Allah, sesama dan diri sendiri. Spiritual direction merupakan perjalan menuju pertobatan untuk percaya pada Allah, pasrah pada kehendaknya dan menikmati cinta Allah.

Kesimpulan
Spiritualitas Fransiskan memungkinkan kita untuk terlibat dalam JPIC. Keterlibatan kita dalam JPIC hanya dimungkinkan bila kita sungguh melakukan pertobatan terus menerus lewat transformasi diri. Proses transformasi diri ini dimungkinkan oleh pemahaman akan teori konsistensi transendensi diri dari Rulla. Teori ini mesti ditempatkan dalam hubungannya dengan spiritual direction agar tidak menjadi psikologisme. Dengan menempatkannya pada kerangka spiritual direction, kita dibimbing untuk mengakui bahwa hanya satu Allah yaitu Allah yang cintanya tanpa syarat, yang menyapa dan mengundang orang untuk menikmati cintanya. Pengalaman dicintai memungkinkan orang bertobat dan transformasi diri. Allah itu misteri dan dalam kemisterian itu pula ia melakukan karya transformasi dalam diri kita dan orang lain.



[1] F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 50.
[2] F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 51
[3] F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 51
[4] Lih. F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 1 & 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1993 & 1991). Pemikiran Rulla ini menjadi teori utama yang saya pelajari dalam matakuliah : Psychology Aspect in Spiritual Direction di Heart of Life-Spiritual Center, Melbourne.
[5] F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 125.
[6] Lih. F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 179-191. Kebutuhan-kebutuhan psikologis ini jangan dinilai pertama-tama sebagai buruk dan baik melainkan untuk disadari dan diterima sebagai bagian dari diri dan hidup kita. Kebutuhan psikologis tiap orang tidak sama tergantung dari pengalaman dan sejarah hidupnya.
[7] F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 58-60.
[8] F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 64. Lih. David Couturier, “The Capacity to Promote Justice,” Human Development 6/3 (1985), 34-40.
[9] Lih. F. Mardi Prasetya, Psikologi Hidup Rohani 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 187-188
[10] Acta Congressus Internationalis Secretariorum Pro Formatione et Studiis O.F.M. (Roma: Curia Generaliss OFM, 2003), 63-65.
[11] Kata educator berasal dari bahasa Latin, educere yang berarti: “menarik keluar” kekayaan dan sumber yang ada di dalam diri yang dididik. Lih. Herbert Alphonso, The Personal Vocation (Rome: The Secretariat For Ignatian Spirituality, 1997), 65.
[12] Bandingkan teori tindakan komunikasi dari Jürgen Habermas.


















7.Entry: HESYCHASME: GERAKAN SPIRITUAL RUSIA Mar 31, 2008
Penting untuk diingat bahwa untuk memudahkan pemahaman terhadap pemikiran, watak religiusitas dan konsep humanitas Dostoievsky yang berdistingsi dengan alur logika, konsep dan kategori baku, kompadium hukum dan rigoritas rasional Eropa Barat yang berorientasi pada Romawi sudah barang tentu pemahaman tentang hesychasme akan sangat membantu.

Hesychasme sebagai aliran mistik Rusia merupakan bagian integral dari Ortodoksi Yunani berasal dari tradisi biara Kristen Timur abad ketiga Masehi. Hesychasme berasal dari kata "hesychast." Hesychast artinya ketenangan atau kekelaman hidup batin. Hesycahsme adalah suatu cara untuk mencapai kesempurnaan batin yang dilakukan secara langsung tanpa melalui institusi gereja. Hubungan personal dengan Tuhan dilakukan melalui teknik pernafasan dan kontemplasi khusuk melalui pembacaan doa Kristus. [Meyendorff : 96].

Mistik teologi Rusia lazim disebut dengan hesychasme, pada awalnya dielaborasikan oleh santo Clement dari Alexandaria, meninggal pada tahun 215 Masehi, dan santo Origen dari Alexandaria, meninggal tahun 253 Masehi. Pada abad keempat, pemikiran kedua orang suci ini dikembangkan oleh Santo Gregory dari Nyssa, dan muridnya Evagrius dari Pontius, seorang biarawan gurun pasir Mesir dan meninggal pada tahun 399 Masehi.

Abad pertengahan Rusia ditandai oleh orientasi pada kehidupan batin dan penajaman intuisi, aposteosis terhadap irrasionalitas. Pengaruhnya sangat kuat pada pemikiran, kultur dan peta kognitif Rusia sampai dengan dewasa ini. Orientasi kehidupan batin ini merupakan teknik pemusatan pemikiran untuk memperoleh sinar suci, terang abadi, dapat dilakukan setiap orang melalui komunikasi langsung dengan Tuhan, disebut Hesychasme. [Nicozisin : 61- 64].

Kata "hesychast" diperkirakan berasal dari Platonisme seperti Origen, Evagerius menuliskan doa dalam terminologi ilmiah, sebagai suatu aktivitas pikiran dan bukan keseluruhan pribadi. Ia mengabaikan peranan tubuh manusia dalam proses "penebusan" dan "deifikasi" atau proses menuju Tuhan. Ketubuhan dipersepsikan sebagai sumber dosa dan kejahatan. Sebagai gantinya ia lebih mengutamakan prinsip harmoni antara pikiran dan tubuh. Gerakan asketik ini mirip dengan teknik pernapasan, Yoga yang berkembang di dunia Timur. [Ware: 64].

Pada mulanya gerakan asketik ini dicurigai dan bahkan dikutuk sebagai bi'dah oleh patriark Konstantinopel. Gerakan asketik ini dituduh sebagai ajaran sesat, ajarannya dipersepsikan sarat dengan ide-ide iblis bahkan para pengikutnya dikejar-kejar. Hesychasme dideklarasikan sebagai musuh Ortodoks Yunani. Gerakan Bogomilisme, suatu sekte keagamaan berasal dari ajaran Manuel dari biara Palestina pada abad kelima turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan hesychasm. Hesychasme selanjutnya menyebar ke semenanjung Balkan dan Konstantinopel. Dari Konstantinopel gerakan ini menjamur sampai ke Gunung Athos.

Pada abad keduabelas, Sabbas berkebangsaan Serbia dari biara Sinai, mengelaborasikan hesychasme menjadi suatu ajaran dan terstruktur menjadi suatu sarana atau [komunitas] penyucian diri. Sebagai wacana penyucian diri dan penyempurnaan kehidupan batin, menekankan pada suatu kredo "penderitaan" yang sangat sentral dalam Ortodoksi Junani. Penderitaan diyakini sebagai jaminan bagi keselamatan yang nyaris terlupakan dalam Katolik Roma. Kredo ini selanjutnyaterwariskan pada "kenotik" kristiani dan mengalami perkembanganm pesat dan hampir identik dengan ortodoks Junani itu sendiri.

Hesychasme yang telah diterima sebagai bagian integral dari Ortodoksi memperlihatkan gerak dan dinamika mengesankan dalam sejarah dan kultur bangsa Rusia. Orientasi dan kredo yang dikandungnya jelas dan pasti, yaitu suatu kesadaran kolektif yang menggerakkan setiap individu dalam merespon kehidupan dengan segenap paradoks yang dikandungnya secara sadar mensintesakan konflik binari antara dimensi kodrat dan dimensi adikodrati. Hesychasme secara rigoristik dan bersifat dogmatis mempertegas ajaran Kristen tentang kemutlakan untuk mengutamakan pencapaian kerajan surga, tanpa harus menafikan secara definitif kehidupan duniawi. Hesychasme juga memperingatkan bahwa orientasi yang melulu mengutamakan kehidupan duniawi adalah suatu kekeliruan ontologis dalam tafsir agamis. Dimensi praksis lain dari ajaran ini adalah watak banalitas yang dikandungnya terbilang sangat mengesankan, terutama bagi pengikut-pengikutnya. Hesychasme secara defintif menekankan prinsip persaudaraan sebagaimana diajarkan oleh Kristus dan dilaksanakan pada Kristen awal dan pada masa apostolik. Prinsip persaudaraan, budaya kolektif dan berbagai sentuhan kemanusiaan seperti saling kasih dan peduli sesama, watak altruistik, non-diskriminatik, non-status dan kemirisan terhadap kepemilikan menyebabkan hesychasme semakin populer. Hesychasme menjamur hampir ke seluruh pelosok Rusia, terutama dalam komunitas pedesaan, pedalaman dan hampir ke seluruh monasteri. Hidup komunal yang telah berakar pada masyarakat tribalisme Slavia sebelum masuknya kristenitas pada penghujung abad sepuluh dibawah patronasi pangeran Vladimir, semakin terkukuhkan dalam pola kognitif bangsa Rusia. Orientasi praksis dan populistik ini terkanonisasi dalam Ortodoksi Yunani. Hesychasme semakin populer terutama karena dimensi eskatologis yang dikandungnya dalam upaya untuk memperoleh kesempurnaan batin, dan keselamatan tidak membutuhkan gereja dan institusi keagamaan resmi. Hubungan dengan Tuhan dilakukan secara personal.

Tokoh Hesychasme yang paling tersohor pada abad keduabelas adalah Gregory Palamas (1286-1359). Ia mengajarkan bahwa [emanasi] Tuhan dapat dipahami melalui penglihatan mata manusia. [Kondrat : 85-86]. Palamas, uskup agung Tesalonika mengajarkan bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan batin dapat dilakukan dengan cara berhubungan secara langsung dengan Tuhan. Hubungan langsung dengan Tuhan, tanpa melalui institusi gereja menimbulkan kecurigaan gereja. Akan tetapi dalam perguliran waktu dan semakin maraknya kehidupan asketik yang bermuara ke dalam tradisi hesychasme pada akhirnya diakui gereja. Asketisme Rusia banyak dipengaruhi oleh para tokoh asketik. Palamas misalnya mengintegrasikan hesychasme dengan teologi Ortodoksi. [Ware: 67].

Pada pertengahan abad kesebelas, Anthony dan Theodosius mendirikan biara-biara dan pusat budaya utama di Rusia. Sejak itu Rusia lebih bersifat monastik melampaui Yunani. Tokoh lain adalah Nilsorsky (1433-1508) memperkenalkan gerakan mistik ke Rusia dan pada tahun 1480, ia mendirikan Serikat Persaudaraan 'Transvolga.' Serikat persaudaraan ini berperan penting dan sangat menentukan dalam pembentukan nasionalisme Rusia, penyelamat nilai-nilai dasar bangsa Rusia. Nilsorky menekankan penderitaan sebagai suatu sarana penyucian diri. Karena itu gereja tidak membutuhkan kekayaan dan pemilikan tanah. Konsep ini menguntungkan Tsar Ivan III. Karena gereja mengharamkan pemilikan termasuk hak atas tanah, maka Ivan III memperoleh banyak bidang tanah. Tradisi dan kehidupan Serikat Persaudaraan yang berorientasi pada kenotik kristiani dituangkan oleh Dostoievsky dalam karya-karyanya. [Pipes : 229]. Menurut Nilsorsky, biarawan haruslah hidup menderita, dan khusuk dengan doa serta keheningan budi. Nilsorsky menganjurkan para pengikutnya agar menghindarkan keinginan atau nafsu untuk memiliki harta kekayaan duniawi. Ia juga menolak pemilikan tanah gereja yang dianggap bertentangan dengan prinsip kerja keras dan kemiskinan yang menjadi esensi kasih itu sendiri. [Fedotov : 87-89].

Biarawan lain yang berjasa mengembangkan tradisi asketis Rusia adalah Tykhon Zadonsk (1724-1783). Tykhon mengajarkan bahwa penyucian diri adalah esensi dari prinsip kasih dan kekristenan itu sendiri dilakukan melalui prinsip kerelaan untuk menyendiri dan melalui teknik kontemplasi kehidupan duniawi. Ia merangkul kesengsaraan, serta mencintai penderitaan. Tykhon memperkenalkan model baru humanisme Kristen. Ia menciptakan suatu kredo baru dalam kehidupan asketik Rusia. Dalam kredo tersebut ditekankan bahwa kebebasan merupakan hal yang sangat penting. Kredo tersebut berakar pada kepercayaan arkaik, paganisme Rusia terutama pada Ibu tanah sebagai sumber kehidupan. [Fedotov : 185]. Tykhon merumuskan ajaran Kristus sebagai suatu keniscayaan, suatu hal yang dapat dilaksanakan. Ajaran Kristus hanya membutuhkan suatu syarat, yaitu kerelaan untuk menderita dan kesediaan untuk memanggul salib Kristus. Penderitaan dalam dirinya sarat dengan makna kasih. Penderitaan merupakan sarana, mediasi menuju suatu kehidupan transendental seperti kerelaan untuk mati sebagaimana diajarkan dan dilaksanakan oleh Kristus sendiri. Tykhon menganjurkan agar gereja melepaskan diri dari arogansi, dari kefanaan dunia, dan menjadikan moral Kristus sebagai landasan kehidupan asketisme. Tykhon menekankan pentingnya melaksanakan kredo penyucian diri melalui kerelaan untuk menderita mengikuti jejak Kristus yang mati di kayu salib. Dikatakan bahwa adalah kewajiban Kristiani untuk merunut jejak penghambaan dan pengosongan diri Kristus. Ditambahkan, tindakan merendahkan diri merupakan jaminan bagi tercapainya kebahagiaan paripurna. Ideal seperti ini diulang kembali oleh pimpinan gereja Moskow, Philaret (1782-1867) dan beberapa tokoh gereja Ortodoks Junani lainnya. Kredo - kredo asketik ini secara langsung mempengaruhi pembentukan pemikiran Dostoievsky. Kedalaman makna yang terkandung dalam karya-karya sastranya dapat dikembalikan kepada pemikiran tokoh-tokoh asketik yang dimaksudkan.

Pada abad kesembilan di Rusia dikenal gerakan Serikat Persaudaraan. Tokoh spiritual, asketik pertama dan terbesar Rusia abad kesembilan belas adalah Santo Seraphim dari Sarov (1759-1833). Ajaran Seraphim merujuk pada asketisme Santo Anthony dari Mesir, abad ketiga tarikh Masehi. Setelah kematiannya, Serikat Persaudaraan Optino muncul. Para tetua yang tergabung dalam komunitas ini adalah Leonid (1768-1841), Macarius (1788-1860) dan Ambarose (1812-1891). Komunitas Optino ini mempengaruhi penulis-penulis seperti Gogol, Khomiakov, Soloviev, Tolstoy dan Dostoievsky. Tokoh Zosima dalam The Brothers Karamazov terinspirasi oleh Macarius, atau Ambarose dari Optino. [Ware: 120-121].

Monasteri Optino adalah pusat Serikat Persaudaraan, tempat para starez mengadakan kontemplasi dan menyucikan diri serta menolak kehidupan hedonis dan keduniaan. Hidup menderita, bersahaja dan miris terhadap hidup duniawi, serta bersifat mistik. Dostoievsky sendiri sering mengunjungi monasteri Optina dan memperoleh inspirasi terutama dalam menggarap penderitaan sebagai sarana penyucian diri serta memperoleh pengetahuan. Monasteri ini sekaligus menjadi tempat untuk memperoleh pencerahan dan kedamaian hidup ( Fedotov G.P: XV) dan sebagai tempat ziarah keagaman.

Tradisi hesychasme selanjutnya mengambil bentuk "kenosis" kristiani, yaitu suatu kredo imani yang mentransformasikan prinsip kasih yang menjadi inti ajaran Kristen ke dalam suatu tataran makna "eidos", esensial didalamnya penderitaan menjadi sentral. Sebagai gerakan spiritual, kenosis menekankan pada peniadaan sekaligus penghambaan diri terejawantahkan dalam penderitaan Kristus di kayu salib. Kristus menghambakan diri, menurunkan derajad divinitasnya ke tataran manusia. Dengan penurunan derajad sebagai hamba, dan kerelaan berkorban kemuliaan Tuhan terafirmasikan. Dalam kenosi dunia imanensi dan transendensi tersintesakan secara unik dan mengusung visi embebasan. Dimensi emasipatoris yang diusungnya menempatkan Hesychasme atau "kenosis" sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi pengarang Rusia, termasuk Dostoievsky untuk berkarya.

Sumber
Fedotov G. A Treasury of Russian Spirituality. Shed and Ward. London 1952.

Konrad A.N. Old Russian and Byzantium. The Byzantine and Oriental Origins Russian Culture. Wilhelm Braumuller. Wien Stuttgart, 1972.

Meyendorff . J. Byzantium and The Rice of Russia. A Study of Bizantino –Russo Relation in the Fourteenth Century. Cambridge University Press. Cambridge New York Sidney 1981/.

Nicozisin .G. The Orthodox Church A Well-Kept Secret. A Journey Through Church History. 1952.

Pipes R. Russian Under the Old Regime. London, 1976.

Ware T. The Orthodox Church. Penguin Books. London, 1993
8. Menggagas “Sosiologi Profetik”: Sebuah Catatan AwalOleh Happy Susanto

Dimuat dalam Jurnal Pemikiran Islam The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/sosiologi_profetik.htm

Abstrak:

Sosiologi profetik merupakan kajian akademik dalam bidang sosiologi yang mencoba mengangkat ide profetik ke dalam kerja pengamatan atau penelitian sosial. Dengan mempelajari secara kritis realitas kesejarahan para Nabi, sistematisasi gagasan profetika secara ilmiah kemudian dimasukkan dalam kerangka sosiologis. Prinsip yang dijadikan dasar dalam sosiologi ini adalah sifat kajiannya yang tidak bebas nilai (non-free value) dan berdasarkan menurut ilmu sosiologi yang multi-disiplin dan berparadigma ganda (multi-paradigm). Dengan berkaca pada realitas kesejarahan yang digelar para Nabi, maka seorang sosiolog dalam pengertian ini harus aktif melakukan perubahan sosial dan pergerakan sejarah secara positif dan bermakna. Dengan tangan kesadaran aktif manusia, para sosiolog diminta untuk melakukan “aktivisme sejarah” dalam proses kegiatan perubahan menuju masyarakat yang utama dan ideal (khairu ummah). Tiga unsur utama yang diusung dalam proyek ini adalah: liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiganya menjadi bagian integral proses perjalanan para Nabi dalam membaca realitas sosial yang dihadapinya. Dengan demikian, memudarnya pesona makna hidup di era kekinian bisa dikaji secara kritis lewat sosiologi yang berbasis kenabian.

Kata-kata kunci: profetik, value-free, multi-disiplin, emansipasi, liberasi, transendensi, aktivisme, sejarah, kesadaran, paradigma.

====================

“Kenekadan”, adalah sebuah ungkapan yang akan terlontar dari beberapa orang ketika mendengar istilah “Sosiologi” disandingkan dengan kata “Profetik”. Adalah sebuah “omong kosong” manakala sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang ilmiah, obyektif, dan rasional diletakkan “bermesraan” dengan sebuah term yang memang masih bersifat teologis-keagamaan –begitulah tanggapan dari beberapa orang bila mendengar istilah “baru” ini. Sebenarnya, tulisan ini merupakan sambungan dari wacana yang sedang berkembang dalam sebuah milis (www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik), yang telah beberapa bulan ini penulis gagas. Tapi, pencetus awal ide seperti ini adalah Pak Kuntowijoyo, sejarawan dan budayawan dari Yogya, lewat gagasan “Ilmu Sosial Profetik” (ISP) yang pernah mencuat dan dilontarkannya pada tahun 1997-an.

Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto itulah penulis mencoba menariknya secara lebih spesifik pada bidang sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan ISP-nya melalui sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9 Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio dari wacana ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat lama sekali dalam buku magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Yang menarik dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika --sebagai adjective dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektivikasi” berserta ilmu-ilmu modern lainnya. Dalam profetika terjadi --katakalah-- “melampaui teologi” (beyond theological) dan bernuansa transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan lebih efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto tidak sepakat dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda pendapat dengan Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.

Apa sih yang digagas Pak Kunto melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah). Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan proposisi pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.

Konsep-konsep ISP Pak Kunto ini akan kita bahas secara mendalam pada gagasan mengenai sosiologi profetik lanjutan. Perlu dicatat, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) --mirip dengan “Negara Utama”-nya Al-Farabi (al-Madinah al-Fadhilah). Untuk mencapai tujuan itu diperlukan kerja aktif tangan-tangan manusia, atau istilahnya perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Manusia telah diberikan kekuatan dan kemauan untuk melangkah ke arah yang lebih baik dengan kesadaran individual dan kolektifnya dalam membentuk sebuah komunitas ideal. Manusia diturunkan ke muka bumi (ukhrijat linnas) adalah demi keterlibatan aktif mereka untuk melakukan perubahan sosial dan membentuk peradaban yang menjadi miliknya.

Berangkat dari pemikiran siapakah pemikiran Pak Kunto dalam ISP ini? Beliau mengklaim bahwa asal-usul pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Yang ingin diambil oleh beliau dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia. Muhammad Iqbal, dengan mengutip ucapan Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam dari Ganggoh, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sejarah. Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi di muka bumi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia.[1] Roger Geraudy menyatakan bawah di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan maka kita sebaiknya menghidupkan kembali warisan Islam yang telah ada. Yang diambil adalah “filsafat kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif. Geraudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filosof Muslim sejak dari Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya pada Ibn ‘Arabi.[2]

Gagasan ISP Kuntowijoyo tersebut terlihat berangkat dari “ide”, yaitu bagaimana ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Tentu saja, hal ini meniadakan prinsip ilmu sosial yang bebas nilai. Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiga unsur itu harus digerakkan dalam aktivisme sejarah. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Gagasan sosiologi profetik tidak cukup hanya dengan kontribusi tulisan ini saja, perlu perluasan wacana di masa mendatang.

Paradigma-paradigma Sosiologi

Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya. />
Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu.[3] Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.

Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.[4]

Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).[5]

Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.[6] Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal.[7] Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.[8] Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.

Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen.[9] Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.[10]

Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik.[11] Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.

Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.

Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas[12] dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas
sosial.

Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.

Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.

Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai”

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[13] Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).

Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.[14]

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah.[15] Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.

Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan[16]: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.

Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan.[17] Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.


Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat.[18] Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya.[19] Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti.[20] Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.

Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai.[21] Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah.[22] Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.

Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan.[23] Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri.[24] Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.

Menuju “Sosiologi Profetik”

Keilmuan sosiologi sampai hari ini masih didominasi oleh pendekatan fungsionalisme. Sejak Perang Dunia (PD) II, di mana Amerika muncul sebagai pemenang, maka “sistem Amerika” yang menggunakan pendekatan fungsionalisme menjadi dominan. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang akademis, obyektif, dan empiris. Fungsionalisme sangat menekankan sistem, keseimbangan, adaptasi, maintance, dan latency. Talcott Parson, pendiri aliran ini, yakin bahwa metodologi yang paling memadai adalah metodologi “fungsionalisme struktural”. Menurutnya gagasan mengenai “fungsi” berguna agar kita terus dapat mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis.[25] Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Sistem ini dipakai oleh kaum borjuis yang merupakan status quo, karena tidak mau menerima perubahan melalui jalan konflik atau pertentangan. Menurut Ritzer, Kalau terjadi konflik, maka penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.[26] Sehingga perubahan yang terjadi dalam masyarakat berjalan secara evolusionis, perlahan-lahan.

Paradigma fungsionalisme kemudian dikritik oleh banyak kalangan. Salah satunya datang dari gerakan intelektual The New Left, yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory Madhab Frankfurt. Menurut kelompok ini, sosiologi akademis yang telah terjerat oleh pendekatan fungsionalis hanya mengerjakan tugas yang rutin saja. Apa yang dilakukan selama ini hanya menjadikan sosiologi menjadi sebuah ilmu yang abstrak dan murni, tapi punya pengaruh untuk melakukan perubahan di masyarakat.

Michael Root dalam Philoshopy of Social Science (1993)[27], membedakan dua jenis ilmu sosial, yaitu yang liberal dan yang perpeksionis. Ilmu sosial yang liberal mengusung cita-cita untuk memperoleh data yang bebas dari muatan nilai, moral, dan kebajikan obyek penelitiannya. Sedangkan ilmu sosial yang perpeksionis berusaha menjadi wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, ilmu yang partisan. Pembedaan dua jenis ilmu sosial itu mirip dengan pembagian antara ilmu yang teoritis dan yang praktis.

Salah satu model dari ilmu sosial yang partisan ini adalah sosiologi yang humanistik. Pondasi sosiologi yang humanistik dibangun berlandaskan “refleksi diri” (self reflection) dan “daya aktivitas” (activism). Pondasi sosiologi yang humanistik adalah sosiologi yang refleksif. Alvin W. Gouldner adalah sosiologi yang menggagas Reflextive Sociology dalam bukunya, The Coming Crisis of Wertern Sociology (1970). Ia menyatakan bahwa sosiologi refleksif sangat konsern dengan apa yang ingin dilakukan oleh sosiolog, yang secara faktual dilakukan di dunia (what sociologis want to do and with what, in fact, they actually do in the world). Sosiologi refleksif adalah pengkajian diri secara kritis melalui proses empati sehingga nilai-nilai ideologis serta pelaksanaan real akan selaras dengan kebudayaan di mana dia hidup. Maka, seorang sosiolog harus menyadari bias-bias pribadinya
dan kulturalnya sehingga lebih dapat menyadari tujuan sosiologi yang bebas.[28]

Robert Friedrichs (1970) mengembangkan ide-ide Thomas Khun ke dalam sosiologi secara sistematis, dengan mempresentasikan dua image berbeda dari status paradigma dalam sosiologi, yang sama-sama menyatakan sebagai ilmu yang berparadigma lebih dari satu (a multiple paradigm science). Image pertama adalah image sosiolog tentang diri mereka sebagai agen keilmuan (self-image of the sociologist), yang meliputi dua paradigma, yaitu : paradigma yang bersifat seperti Nabi (prophetic paradigm) dan paradigma yang bersifat seperti pendeta (priestly paradigm). Yang pertama sosiolog itu sebagai agen perubahan sosial, sedangkan yang kedua memandang sosiolog sebagai ilmuan bebas nilai. Image kedua berlandaskan pada image dari pokok persoalan (subject matter), yang membedakan antara paradigma sistem dan paradigma konflik. Yang pertama menekankan keseimbangan dan intergrasi sosial, sedangkan yang kedua menekankan pada disintegrasi dan adanya paksaan.[29]
Sosiologi profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial yang berangkat nilai profetika dengan kerangka pemikiran sosiologi yang multi paradigmatik. Jadi, bisa dikatakan bahwa sosiologi profetik itu hampir mirip dengan sosiologi humanis ataupun sosiologi kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap masyarakat dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang peneliti harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari stuktur realitas tersebut. Maka, penelitian yang harus dikembangkan dalam sosiologi profetik adalah model penelitian partisipatif, yang masuk secara langsung melebur bersama dengan obyek kajian. Ya, seperti halnya para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Ketika data diperoleh maka analisis yang dilakukan perlu melibatkan pendekatan pemahaman (intepretatif) untuk membaca realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermeneutika, verstehen, maupun kajian secara fenomenologis.

Di tengah pesona modernitas yang mengalami nihilisme makna kehidupan, sudah saatnya sosiologi profetik mengembangkan kerangka kerja ilmiah untuk melanjutkan usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Sosiologi profetik hanyalah salah satu model sosiologi alternatif, yang tidak mengenal kata akhir proses pencarian dalam upaya memahami masyarakat dengan baik. Seperti kata Pak Kunto, hanya dengan keberanian akademik kita maju melangkah ke depan. Yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang adil dan manusiawi, dengan berangkat dari tiga unsur pembentuk kesadaran, yaitu emansipasi, liberasi, dan transedensi. Tugas yang sangat berat adalah bagaimana mengembangkan kemampuan daya pikir ilmiah dan kritis dalam memahami realitas yang dihubungkan dengan spirit keagamaan dan kenabian. Dan itu menjadi agenda penting dalam gagasan ini selanjutnya.

Wallahu A’lam Bish-Shawab.

[1]Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Goenawan Muhammad dkk, (Tintamas: Djakarta, 1966), hal. 123.
[2]Roger Geraudy, Janji-janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Bulan Bintang: Jakarta, 1984), cet. II, hal. 109-34.
[3]Lihat Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), Edisi Revisi, hal. 20.
[4]Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986), Jilid 1, hal. 171-2.
[5]George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal. 15-42.
[6]Lihat Ibid, hal. 24-35. Saya kira kurang tepat jika Ritzer menempatkan Teori Konflik ke dalam Paradigma Fakta Sosial yang disandingkan dengan Fungsionalisme Struktural, karena Karl Marx, sebagai salah satu penggagas teori ini lebih menekankan pada paradigma “aksi sosial-kritis”. Dan pada buku itu, Ritzer tidak membahas tentang pemikiran Karl Marx secara utuh tersendiri --kecuali dalam buku teori sosiologinya--, dan juga tidak ditaruh pada paradigma yang mana sehingga terkesan kurang jelas.
[7]Ibid, hal. 44.
[8]Apa yang dilakukan melalui kerangka verstehen ini? Yaitu melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subyektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya (put one's self imaginatively in the place of the actor and thus sympathetically to participate in his experience). Tapi, yang diminta adalah “empati”, yaitu kemampuan untuk menempati diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Lihat Max Weber, Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press, 1963), hal. 90.
[9]Ibid, hal. 151-2.
[10]Ibid, hal. 157-9.
[11]Ilyas Ba-Yunus, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: Mizan, 1988), hal. 20-27.
[12]Dikutip oleh Mansour Faqih, op. cit., hal. 23-29.
[13]Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.
[14]Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.
[15]Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.
[16]F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.
[17]Ibid, hal. 11-14.
[18]Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.
[19]Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.
[20]Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.
[21]Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi
nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.
[22]Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.
[23]Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.
[24]Max Weber, From Max Weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.
[25]HA. Cubbin, “Talcott Parsons”, dalam Peter Beilharz, op.cit., hal. 294-5.
[26]George Ritzer, op.cit, hal. 25.
[27]Dikutip oleh Pak Kunto dalam tulisannya mengenai ISP.
[28]Lihat Julia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS, 2002), hal. 43-46.
[29]George Ritzer, Modern Sociological Theory, (USA: McGraw-Hill Companies Inc., 1996). Hal 500-1.Happy Susantohttp://www.blogger.com/profile/10575316656546663956
































9.EKSISTENSI MANUSIA DALAM AGAMA
Manusia beragama, khususnya dalam terma keislaman, adalah manusia yang memiliki keterikatan yang bersifat mutlak kepada Tuhannya. Keterikatan dalam pengertian sempit maupun luas. persoalannya adalah, bagaimana terma keterikatan tersebut dimaknai. Dalam tradisi Kalam (teologi Islam) klasik, secara umum diwakili oleh dua kelompok yang memiliki pendapat yang berbeda (bertentangan) dan bersifat radikal. Yaitu: kelompok Mu’tajilah yang sering dianggap memiliki pandangan Qodariyah , dan Asy’ariyah (Sunni) yang memiliki kecenderungan perpandangan Jabariah. Kelompok Mu’tajilah memandang bahwa keterikatan dan ketergantungan manusia terhadap Tuhan bersifat partial. Artinya, manusia memiliki ketergantungan secara mutlak pada Tuhan hanya pada sisi dan proses penciptaan, sedangkan pada aktivitas kehidupan (berkehendak dan berbuat) sama sekali tidak terikat. Manusia memiliki kebebasan mutlak dalam hal tersebut. Karena, hanya dalam kebebasan tersebut hukum moral (agama, syariah) beserta konsekwensi hukumnya dapat dipahami.Sementara itu kelompok Asy’ariyah (Sunni), yang mewakili faham Jabariah) memandang bahwa keterikatan dan ketergantungan manusia terhadap Tuhan bukan hanya pada sisi dan proses penciptaan saja, akan tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupannya. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia adalah karena kehendak dan kuasa Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan apa-apa yang sejalan dengan kehendak-Nya. Apabila kehendak manusia bertentangan atau bentrok dengan kehendak Tuhan, maka yang berlaku adalah apa yang dikehendaki Tuhan. Dengan logika yang sama, apa yang sesuai dengan kehendak manusia dan itu terjadi, sebenarnya bukan karena kehendak manusia hal itu terjadi akan tetapi karena kehendak Tuhan belaka.Dengan demikian, bila melihat dasar asumsinya yaitu bahwa kedua kelompok tersebut sesungguhnya mengakui ke-Ada-an dan eksistensi (keberadaan) Tuhan, akan tetapi dalam hal hubungan Tuhan-manusia, kedua kelompok tersebut berbeda dan bertentangan secara diametral, dan keduanya mengambil jalan yang bersifat radikal. Asy’ariyah, yang “sedianya” mengambil jalan tengah diantara pandangan Jabariah dan Qadariyah pada akhirnya terjebak dalam kumbangan pemikiran Jabariah.Indonesia merupakan salah satu wilayah yang secara kuantitas maupun “kualitas” beragama Islam, memiliki kecenderungan berfaham kalam “Asy’ariyah”. Walaupun demikian, faham Asy’ariyah yang terdapat di wiliyah Indonesia telah memiliki bentuk yang lain. Bentuk yang tidak jelas, walaupun kecenderungan jabariah-nya masih kental. Hal tesebut tampak terutama pada kelompok masyarakat Islam yang juga menganut atau telah dicampuri oleh pandangan-pandangan teo-sofi. Hal tersebut telah melahirkan pandangan teo-sofi yang mandul dan responsif. Baru bergerak dan muncul kehendak untuk bergerak bila mendapat tantangan. Pola hidup pasrah dan adem ini secara khusus sangat berakar di tatar Sunda. Di samping karena pengalaman sejarah yang telah membawa masyarakat Sunda ke kultur ”sumuhun dawuh”, juga karena alamnya yang subur telah memanjakan masyarakat Sunda sehingga terlena, kehilangan kreativitas dan vitalitas kehidupannya.Spirit “spiritualisme” sufistik yang memiliki semangat dan kekuatan untuk mengejar suatu nilai kehidupan “abadi” menuju dan bersama Tuhan telah hilang.Dalam atmosfir budaya beragama demikian, muncullah seorang tokoh agama (Kiayi) sekaligus priayi dan budayawan, K.H. Hasan Mustapa (selanjutnya disebut HHM). Sosok yang sejak kecil digembleng dalam kehidupan yang serba sulit, sehingga ia hampir tidak mengenal dan merasakan bagaimana alam memanjakan dan meninabobokannya. Keadaannya sebagai anak priayi justru menjadikannya “penasaran” dengan kehidupan yang dijalaninya, karena ia tidak mengalami apa yang orang lain (yang sama-sama anak priayi) alami dan jalani. Namun demikian, “seni tradional” Sunda yang diwariskan dari keluarganya telah memperhalus perasaannya yang paling dalam. Dengan demikian, sejak awal kehidupannya senantiasa dihadapkan pada dua “atmosfir” kehidupan yang berbeda, bertentangan. Kehidupan yang keras, dan tradisi yang membuat perasaanya lebut.Kondisi dualisme itulah yang telah menempa kehidupannya, dan senantiasa menuntutnya untuk mencari jalan tengah. Sehingga ia merasa nyaman atau betah ketika berhadapan dengan kondisi yang sulit sekali pun.Biografi yang ditulisnya, lebih menekankan dan mengungkap dilema pertentangan kehidupannya. Seperti dikutif Ajip Rosidi; HHM menjelaskan asal-usul nenek moyahnya, ia menyebutkan bahwa ia (Hasan Mustapa) merupakan turunan ke-14 dari Kean Santang (Kang Jeng Dalem Pagerjaya, nu sumare di karaton, Godog anu pinunjung), dari Jalur Sembah Lebe (Lebe Warta) samapai “eyang pribadi” Mas Kartapraja (keturunan dari ibu), Sukapura. Jalur inilah yang menjadikannya sebagai keluarga priayi. Sementara itu, darah (darah) seninya mengalir dari jalur Manonjaya (Tasikmalaya). Sedangkan darah (tradisi) kesantriannya didapat dari Suci, dekat Gadog (Garut), yaitu Mas Ngabehi Kalipah di Suci, yang kemudian membuka wilayah Cikajang dan menjadi Camat Cikajang. Ia adalah kakek K.H. Hasan Mustapa. Karena kehidupannya yang diangap kurang baik oleh orang tua HHM, anaknya dijauhkan dari tradisi kepriayian tersebut dengan mengirimkan anaknya ke pesantren dan ke Makah, orang tuanya menolak menolak untuk disekolahkan di sekolah Belanda. Sementara itu, bapaknya merupakan keturunan Bungbulan (Cikajang), santri pesantren Manonjaya.Eksistensi Manusia dalam Pandangan Hasan MustapaPerjanan kehidupan manusia digambarkan HHM secara sistematis dalam Naskan Sasaka di Kaislaman dan Naskah Matrabat Tujuh. Kedua naskah tersebut merupakan naskah yang bersambungan dalam alur, namun berbeda dalam karakter serta penekanan persoalan yang diungkap. Sementara itu, sejumlah (ribuah) bait (pada) dangding (puisi tradisional) lebih merupakan pembahsaan melalui media sastra berkenaan dengan persoalan yang diungkap dalam kedua naskah tersebut.HHM memulai “drama”-nya dengan munculnya “rasa ka-Islaman…”. Bila merujuk pada tradisi pemikiran Islam Indonesia antara penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, ada kemungkinan bahwa terminologi Islam yang dimaksud HHM bukan dalam pengertian “formal”, akan tetapi lebih merupakan terminologi budaya. Sutau terminologi yang didasarkan pada kerangka konseptual fiqiyah, yaitu seseorang yang sudah baligh. Pengertian tersebut, secara fiqhiyah dipahami sebagai keadaan seseorang yang telah mulai mampu membedakan yang benar (haq) dari yang salah (bathil). Secara biologis dan psikologis, dalam konteks hukum Islam, hal ini ditandai oleh pengalaman mimpi “dewasa” bagi laki-laki, dan haid bagi perempuan. Dengan demikian, makna “rasa kaislaman” yang ia maksud adalah suatu “rasa” atau kesadaran moralitas dan “intelek” yang muncul, yang mengenalkannya pada norma baik-buruk atau benar-salah (haq dan bathil).Kesadaran akan adanya dua nilai tersebut telah secara alami memaksa manusia untuk “memilih”. Memilih untuk mengikuti, menerima, atau menolaknya. Ketika itulah muncul terma “perbawa”. Suatu “kekuatan internal” yang yang bergerak secara dialektis. Penggunaan istilah kapangeranan dan iblis, sesungguhnya lebih merupakan penggambaran (antropomorfistik) dan suatu kekuatan misterius dalam diri manusia. Kekuatan yang sulit untuk dijelaskan dan diurai-pisahkan. Perbawa kapangeranan adalah “simbol” dari kecenderungan manusia untuk meraih dan berjalan di atas nilai-nilai ideal (norma-norma sosio-religius), menurut HHM. Sedangkan perbawa Iblis merupakan simbol bagi kecenderungan terhadap nilai-nilai sekular, duniawi.Identifikasi tersebut merupakan hal yang biasa dalam dunia ilmu sekali pun. Seperti pembagian unsur-unsur “inner” manusia oleh Sigmund Freud, yang memilah unsur inner manusia dalam tiga bagian besar, yaitu Id yang menggambarkan motor dari dimensi inner untuk mengaktualisasikan kecenderungan jasmaniah manusia, super-ego sebagai motor dari dimensi inner untuk mengaktualisasikan pandangan ideal yang hidup dalam manusia diri manusia sebagai hasil inteaksi dengan masyarakatnya (pengalaman sejarahnya). Sedangkan Ego sebagai katalisator, pendamai (kontrol dan penengah) yang ada dalam diri manusia, dalam tekanan dua kekuatan tersebut.Dengan demikian, konsidi inner dalam konteks pemikiran Freudian bukanlah sesuatu yang telah dengan sendirinya ada, melaikan sebagai hasil (terbentuk) dari proses interaksi dengan dunia luar. Interaksi terjadi sebagai kemestian mutlak karena adanya kemestian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan “biologis”. Kebutuhan ini kemudian mendapat kekuatan ketika “lembaga psikologis” terbentuk dari potensi rasional dari adanya kemampuan “otak” manusia yang telah mencapai tingkat evolusi tertinggi. Dengan demikian kebutuhan-kebutuhan biologis tidak sekedar mewujud dalam pemenuhan yang bersifat mekanis belaka, akan tetapi juga dalam wujud imajinatif. Ketika itulah kekuatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bilogis tersebut semakin menguat, karena “kepuasan” yang didapat bukan sekedar didapat dari obejnya, melainkan juga dari kepusasn imajinatifnya. Kekuatan imajinatif yang secara dinamis dan kompulsif ini dikenal dengan Id. Kekuatan yang berpijak pada “prinsip kesenangan” (pleasure principle).Peran imajinasi terhadap objek-objek pemenuhan kebutuhan jasmani yang bersifat kongkrit ini kadang mendapat hambatan, baik karena keterbatasan jumlahnya, maupun karena persoalan sosial, sering manusia melakukan melakukan “penyimpangan” imajinasi terhadap benda-benda tertentu yang dibayangkan sebagi benda lain yang dibutuhkannya. Cara ini pada awalnya dilakukan untuk menghilangkan “prustasi” dan ketegangan karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasmaniah tersebut, tapi bila Keadaan ini terus berlanjut, akan melahirkan cara berpikir yang kacau, karena ia mengalami jalan berpikir predikatif (predicate thinking). Ia mengangap sama suatu objek dengan objek lainnya (dalam pikiran). Hal ini muncul secara nyata dalam mimpi. Prinsip ini menjadi dasar bagi teori tafsir mimpi dari Psiko-analisa Freudian.Ketika ketegangan-ketegangan tersebut terus berlanjur, terbentuk unsur inner lainnya dalam bentuk “lembaga psikologis” lainnya yang disebut “ego”. Ia terbentuk dari mekanisme imajinasi rasional yang lebih seimbang. Ketika itulah aku “biologis” terbetuk.Marcel menyebutkan bahwa “nasib” manusia “berada di dalam situasi”, etre-en-situation. Dengan rumusan lain dapat dikatakan, bahwa eksistensi dasar manusia pada dasarnya adalah “berada di dalam dunia” (etre-au-monde) . Pernyataan ini mirip dengan pernyataan Heiddeger ketika menyatakan bahwa manusia adalah “in der-Welt-sein”. Dengan kata lain, kehidupan manusia tidak hanya berhadapan dengan benda-benda “mati” sebagai objek pemenuhan kesenangan, akan tetapi juga berhadapan dengan “masyarakat” yang memiliki struktur yang rumit dan memiliki suatu sistem dan norma tertentu. Norma yang lebih sering menjadi sumber ketegangan dan prustasi bagi sang individu. Tekanan sosial ini terjadi semenjak sang individu kecil. Tekanan sosial tersebut akhirnya berkarat dan menumpuk dalam wilayah imajinasi yang mengalami penolakkan, ia akhirnya membentuk wilayah bawah sadar manusia. Wilayah yang terbentuk dari akumulasi kecenderungan-kecenderungan biologis yang kompulsif dan akumulasi dari norma-norma sosial yang mengakibatkan prustasi. Akumilasi dari ekdua hal tersebut membentuk apa yang disebut Freud dengan “obsesi-obsesi bawah sadar”. Obsesi tersebut, bila menemukan lubang jalan keluar, membentuk pikiran, kepribadian dan sikap atau prilaku yang tidak menemukan akar penyebabnya. Hal itu terjadi karena norma-norma yang telah menekan kemungkinan untuk terpenuhinya suatu hasrat di masa lalu.Pengalaman-pengalaman masa lalu itulah yang menbentuk “super-ego” dalam lembaga psikologis manusia. Super-ego merupakan cabang moril, lebih mewakili alam ideal dari pada alam nyata, super ego ini menuju ke arah kesempurnaan dari pada ke arah kenyataan atau kesenangan tentatif. Dalam kerangka pikir kebudayaan, terbentuknya Super-ego merupakan hasil dari proses pendidikan budaya. Hasil dari proses internalisasi (istilah Berger) atau subjektivasi (istilah Whitehead)terhadap sistem nilai budaya yang ada, dihadapi dan dialaminya.Dengan demikian, keberadaan masa lalu dalam proses pembentukan individu manusia sangatlah menentukan, baik dalam konteks biologis, intelek maupun sosial. Disebut “proses” karena semua terbentuk dalam alur yang memiliki hubungan yang saling berkaitan. Dalam konteks inilah bisa dipahami bahwa manusia tidak bisa lepas dan melepaskan diri dari masa lalunya. Rumusan ini semakin mendapatkan makna dalam kerangka filsafat proses. Dalam filsafat proses Whitehead, seorang individu merupakan produk dari masalaunya, dan kemudia ia menjadi bagian dari masa lalu orang lain di depannya.Masa lalu yang membetuk dimensi inner (psikologis dan kepribadian) seorang individu manusia, sebagai sebuah nasib (Whitehead) atau faktisitas (Jaspers) menjadi “modal” baginya untuk menghadapi kehidupannya sekarang dan dimasa depannya. Terbentuknya tiga unsur (dalam pemikiran Freudian) telah melahirkan suatu dinamikan persona (dinamika individu) yang senantiasa bersikap kritis terhadap apa-apa yang dihadapinya. Sikap kritis tersebut muncul sebagai akibat terjadinya sutau dialektika dalam diri manusia. Dinamika yang terjadi karena adanya “interaksi” antar ketiga unsur inner tersebut (Id, Ego dan Super-Ego). Sikap kritis tersebut digambarkan HHM dalam dialog internal seorang individu ketika ia terjebak dalam dua pilihan antara “taat dan mengkuti” atau “menolak” sistem nilai budaya masyarakat yang senantiasa “merongrong” dan menarik dirinya dalam suatu kultur dan mentalitas komunal, atau menolak dan menjadi indivdu yang menutup diri dari unsur-unsur luar dirinya (sistem nilain budaya).Ketika dialektika tersebut terjadi, pertanyaan mendasar yang muncul adalah : “Mending lakonan atawa montong”, atau pertanyaan : “Hade lampahkeun atawa montong” (perbawa kapangeranan) atau “Kumaha? Hade lampahkeun atawa montong?” (perbawa Iblis). Ketika akan memutuskah apa akan dilakuakn seorang individu akan melakukan proses “prehensi”. Whitehead membedakan dua macam prehensi, yaitu prehensi posistif (yang dia sebut juga dengan istilah “feeling”) dan prehensi negatif. Yang pertama: merupakan proses inklusi atau pemasukkan unsur-unsur dari lingkungan ke dalam proses pembentukan diri oleh “satuan aktual” yang sedang dalam proses “menjadi’, sedangkan yang merupakan proses ekslusi atau penyingkiran unsur-unsur dari lingkungan dalam proses yang sama. Inklusi dan ekslusi terjadi berdasarkan kerangka relevansi unsur-unsur dari lingkungan (yang sekaligus merupakan data warisan masa lalu) bagi pembentukan diri itu diambil (dinklusikan), dan yang tidak relevan untuk pembentukan tersebut, akan ditolak (diekslusikan). Dalam setiap “prehensi” terlibat lima faktor, yakni: pertama, subjek yang “merasakan” (the subject wich feels), yaitu sang sunjek atau individu yang merupakan prosek masa lalunya dari proses subjektivasi (internalisasi). Masa lalu yang telah membetuk dirinya, dan membentuk kategori-katerori inner-nya. Atau dalam istilah Berger, individu sebagai produk sisoalnya. Kedua, data awal yang “dirasakan” (“Initial data wich are being felt”). Referensi tentang objek atau persoalan yang dihadapinya. Sejumlah pengetahuan berkenaan dengan objek yang di hadapi. Ketiga, eliminasi unsur-unsur yang dieksklusikan dalam prehensi negatif (“elimination through negative prehension”). Pada saat yang sama ia melakukan “penarikan” terhadap unsur-unsur yang diinklusikan. Di sini terjadi proses evaluasi dan pemilihan. Keempat, data objektif yang “dirasakan” (“objective datum being felt”). Dan kelima: “forma subjektif” (“subjective form”), yakni cara bagaimana subjek “merasakan” data objektif.Ketika sangat subjek atau individu merasakan objek, unsur-unsur Id, Ego dan Super-ego yang dalam istilah HHM disebut dengan “perbawa kapangeranan”, “perbawa iblis” dan “rasa ati” menjalankan fungsinya. “Rasa ati” atau ego memposisikan diri sebagai penengah dari dua kecenderungan. Ketika objek diketahui dan dirasakan sebagai “sesuatu”, ketika itulah muncul pertanyaan tersebut di atas. Mending lakonan atawa montong”, atau pertanyaan : “Hade lampahkeun atawa montong” atau “Kumaha? Hade lampahkeun atawa montong?”. Pertanyaan yang secara prinsip sama, perlu jawaban dalam bentuk argumen untuk dilakukan (menolak atau menerima).Pilihan, sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi penentu bagi kehidupan selanjutnya. Jaspers mengilustrasikan bahwa dalam proses pemilihan seluruh unsur manusia terlibat di situ, terutama masa lalu dan masa depannya. Dalam memilih, spasialitas waktu lenyap. Waktu menjadi satu titik yang melingkupi seorang manusia, ia pun melingkupi waktu. Waktu menyatu dengan diri dan diri menyatu dengan waktu. Padahal, secara substansial, eskistensi manusia terbentuk dari masa lalunya. Sementara kembali ke masa lalu adalah “kemunduran”, absurd. Id, dan super-ego adalah produk masa lalu. Perbawa kapangeranan dan perbawa iblis adalah produk masa lalu. Sementara masa depan adalah kegelapan yang tidak bisa ditembus. Ketika itulah individu melakukan penolakan terhadap semua partialitas waktu tersebut dengan bertolak dari masa lalunya yang partial. Maka muncullah penytaaan sebagai jawban (argumen): “Tapi buktina sarua bae, nu ngalakonan tara meunang kauntungan, nu henteu ngalakonan tara jadi karugian atawa kacilakaan”.Pada titik itu, terjadi absurditas makna kehidupan (anomie). Semua tertolak. “Kehidupan sadar” manusia senantiasa diawali oleh “penolakkan” (rejection, atheism). Prustasi dan taruma dalam kehidupan manusia akan senantiasa terus terjadi dalam setiap pase kehidupannya. Secara dramatis HHM, menggambarkan keadaan tersebut dalam dangdingnya:Nu diprêbutkrun nawuku,Kacocog kangeunah ati,Marukan bisa midua,Kapan aing ti leuleutik,Nyembah mah diwarah heula,Kumaki bawa ngajadi.Kalingkung ku bingung kitu,Loba nu nuding ka aing,Kabuktian mulya hina,Da kapalingan ti peuting,Da kasayaban ti beurang,Aing dipaling ku aing.Kasarung turut lulurungBalik deui balik deuiSabab dina sisimpanganCeurik deui Ceurik DeuiMidangdam neangan AllahLain deui lain deuiCara berpikir kongkrit pada pase awal kesadaran eksistensial, dalam memutuskan “lorong” kehidupan yang akan dijalani, cenderung melakukan pemilihan pada objek-objek kongktit. Ada dua kemungkinan pilihan yang diambilnya. Yaitu berkubang dengan dirinya sendiri, ia menarik dan menutup dirinya dari pengaruh luar. Dan kemungkinan kedua adalah ia berkubang dalam lautan relasi dengan individu lainnya.Menurut Marcel, bila seseorang menjauhi situasi konkretnya, secara tidak sadar ia merongrong dasar akunya sendiri sebagai sebagai subjek. Dengan demikian, ia tengah memutus tali-tali eksistensial yang (tali-tali eksistensial tersebut) justru menjadikannya subjek yang unik dan berpribadi. Akhirnya orang seperti itu akan menjadi seseorang yang terpisah dari akar eksistensinya. Marcel memandang (berbeda dengan Sartre ), bahwa eksistensi bersifat terbuka. Maksudnya: “Aku” hanya dapat mengetahui sesuatu, sejauh aku mencintai sesuatu itu. Manusia yang terisolasi, terpisah dan terasing dari orang lain sebenarnya orang yang malang. Orang yang demikian (menurut Marcel) boleh dibilang tidak sungguh-sungguh hidup; jadi, tidak betul-betul ada. Beuki jauh ka cinyusu,Beuki hilir beuki lali,Moal nyaah ka pêtetan,Lamun pamrih ka langari,Teu paya ku pacengkadan,Mun teu pambrih ku rejeki.HHM menjelaskan bahwa orang yang memutuskan untuk memutus tali relasi dengan eksistensi lain dari pada mengalami kemajuan malah akan mengalami kemunduran dan terjerembab dalam kekufuran (penolakkan yang terus menerus). “Lebah dieu batan maju anggur mundur kana kufur, tina ngawula ku badan tina ngawula ku ati”.Sementara orang yang membuka diri untuk relasi dengan eksistensi lain akan meningkat pada perwujudan eksistensi yang lebih tinggi. Orang harus mengakui keberadaan makhluk-makhluk yang tidak bisa disangkal eksistensinya. Dari kesadaran, di luar berdiri pula makhluk-makhluk lain yang serupa, orang harus memunculkan sebuah keinginan untuk mencintai makhluk-makhluk tersebut. Kalau tidak, maka pengetahuannya akan tetap mandul dan orang akan tetap terisolasi dalam ego-nya sendiri. Tuntutan untuk hadir dan terlibat dengan orang lain “demi” kebenaran, itulah yang Marcel sebut dengan participation (partisipasi). Pengalaman dalam kesasdaranku menjamin berlangsungnyam partisipasi. Akibatnya, “aku” terbenam di dalam dunia yang dapat disentuh dan diresapi oleh panca indera dan sebaliknya aku pun diresapi oleh dunia. Oleh rasa tersebut, “aku” mengalami dengan lebih mendalam sifat sosial dari segala sesuatu yang ada. Maka, dalam pengalaman intersubjektif, kita menjadi sadar, esse est xo-esse (ada selalu berarti ada-bersama-sama). Itulah eksistensi manusia. Manusia selalu berada-bersama-dengan-orang lain.Tuntutan untuk “hadir” (present) itu bersifat mutlak agar bisa mendekati dan memakai realitas konkret sebagai titik tolak filsafat. Kehadiran (presentation) mengatasi batas-batas yang berlaku untuk ruang dan waktu. Presence berarti “aku” berjumpa dengan Engkau secara pribadi: suatu ada-bersama, suatu persekutuan (communion) dengannya.Proses membuka relasi dalam atmosfir partisipasi ini digambarkan HHM dalam dangdingnya:Rêmpug sêmu jeung salêmbur,Bear budi jeung pangampih,Mustika tara kasangka,Bisi batur pada manggih,Diudag tata satata,Ditungtik surtina buni.HHM menjelaskan bahwa inti keputusan dari dilema dialektis eksistensial adalah persoalan relasi. Menutup diri atau membuka diri. HHM secara tegas menjelaskan bahwa kecenderungan orang untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dalam prinsip “kesenangan” secara membabi-buta berkonsekwensi munculnya tuntutan untuk memutus tali relasi dengan eksistensi lainnya. “…sahadena jalma kaparentah batur, ku badan tambah hina ngalakonan nu taya kauntunganana, anggur matak rugi: badan diruksak kangeunahanana. Banda dikaluarkeun taya kagunaanana”. Dalam keadaan demikian , menurut Marcel, maka pengetahuannya akan tetap mandul dan orang akan tetap terisolasi dalam ego-nya sendiri. HHM menyebutkan bahwa kecenderungan material ini, mesebutnya sebagai perbawa iblis yang “watekna belet, guru bukti saharita”.Persoalan keterbukaan dan ketertutupan relasi ini disimbolkan HHM dengan menggunakan dua kata kunci, yaitu kata "Aing" dan "Urang". Dalam naskah tersebut ada dua istilah, yaitu kata “aing” dan “urang” . Secara semiotik, kata “aing” sebenarnya merupakan kata ganti pertama tunggal, yang bermakna “aku” dan juga bermakna “diri” (sendiri=satu diri, ego individual, kedirian yang soliter). Dan kata urang merupakan kata ganti pertama jamak (plural), yang bermakna “aku” dalam hubungannya dengan kelompok sosial; dalam bahasa Indonesia padanan kata yang mirip ialah kata “kami” atau “kita”. Yaitu “diri” yang terbentuk karena berelasi dengan yang lainnya dalam suasana kebersamaan (solider). Kedua kata tersebut ditemukan tersusun kait mengait dari unsur rasa kaislaman, rasa ati, aing, urang perbawa Iblis (dari kiri) dan “perbawa Kapangeranan” (dari kanan). Misalnya makna kata perbawa secara implisit telah menyiratkan unsur inner, yang ada dalam individu manusia, yang barangkali bermuara pada kata ganti aing. Penggunaan kata urang maupun aing tidak dijelaskan secara tegas dan eksplisit dalam naskah ini (Sasaka di Kaislaman). Pada maqomat Islam dalam perbawa Iblis, penunjuk subjek menggunakan kata urang, yang merupakan kata ganti pertama (kadang bermakna plural dan kadang bermakna singular, tunggal) yang berarti kami atau kita. Uniknya, kata aing yang lebih jelas-jelas merupakan kata ganti pertama tunggal ternyata dalam Naskah Sasaka di Kaislaman tampak menyiratkan adanya relasi dan kesertaan dengan individu lainnya (masyarakat). Dengan kata lain, kata aing dalam naskan tersebut bersifat plural, jamak. Sementara itu kata urang, dalam naskah ini tidak menyiratkan adanya kesertaan dengan individu-individu lain, dengan demikian kata urang tersebut bermakna tunggal, singular. Bila demikian, ada kesan terbalik dalam menggunakan kata ganti bagi subjek dalam naskah tersebut. Namun demikian, Hasan Mustapa sebagai seorang budayawan Sunda yang memiliki pemahaman mengenai bahasa dan seluk-beluk bahasa serta budaya Sunda tidak mungkin tidak mengetahui hal tersebut. Dengan demikian perlu untuk megungkap makna penggunaan kata tersebut secara lebih mendalam.Kata urang, karena dalam naskah tersebut tidak mengisyaratkan adanya kesertaan dengan subjek lain, seperti terungkap dalam pernyataan : “…anggur sahadena jalma kaparentah batur, ku badan tambah hina…”. Dengan demikian, kata tersebut bermakna singular, tunggal. Kata urang merujuk pada “diri” (inner), suatu kata sebagai ungkapan dimensi terdalam dari seorang individu, seperti halnya kata aing. Namun bila melihat pernyataan “…anggur sahadena jalma kaparentah batur, ku badan tambah hina…”, pernyataan tersebut menggambarkan pula adanya kesadaran terhadap realitas jasmaniah. Dengan demkian, kata urang merujuk pada “diri” sebagai dimensi terdalam dalam relasinya dengan dimensi atau unsur jasmaniah (unsur terluar dari seorang individu manusia). Dengan kata lain, kata urang tersebut mengungkapkan kesertaan unsur inner dengan unsur jasmaniah. Kesertaan diri (unsur terdalam) dengan unsur jasmaniah (diri terluar) melahirkan kecenderungan untuk menjadikan rasa jasmaniah (material, hedonis) sebagai ukuran segala sesuatu. Sedangkan “aing” tidak menemukan kesetaraannya pada diri, melainkan dengan unsur inner pada individu lainnya. Suatu kesertaan yang dibentuk melalui relasi antar rasa. Dengan demikian, relasi yang terjadi adalah relasi inner dengan inner (ngadu rasa pada rasa), suatu relasi yang menyiratkan akan adanya intensionalitas. Inilah yang dimaksud Hasan Mustapa dengan “ngadu rasa pada rasa”. Kesertaan antar aing diantara individu yang berbeda ini melahirkan pola kehidupan yang mengarah pada unsur “rasa”. Pola kehidupan yang senantiasa mempertimbangkan rasa diri dan rasa individu lainnya.


10. PSIKOLOGI EKSISTENSIAL
STRUKTUR, DASAR, DAN PERKEMBANGAN EKSISTENSI
oleh: Cholil Eren Masyah
PENDAHULUAN
Berdasarkan kamus psikologi Chaplin, Psikologi eksistensial adalah aliran psikologi dimana pokok persoalan psikologi adalah isi-isi kesadaran, yang harus diselidiki lewat metode introspeksi(mawas diri). Istilah eksistensi berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah in hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang bersaha memahami kondisi manusia sebgaimana memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi kongkret. Kondisi manusia yang dimaksud bukanlah hanya berupa ciri-ciri fisiknya (misalnya tubuh dan tempat tinggalnya), tetapi juga seluruh momen yang hadir pada saat itu (misalnya perasaan senangnya, kecemasannya, kegelapannya, dan lainnya). Manusia eksistensial lebih sekedar manusia alam (suatu organisme/alam, objek) seperti pandangan behaviorisme, akan tetapi manusia sebagai “subjek” serta manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Manusia (individu) tidak mempunyai eksistensi yang dipisahkan dari dunianya dan dunia tidak mungkin ada tanpa ada individu yang memaknakannya. Individu dan dunia saling menciptakan atau mengkonstitusikan (co-constitute). Dikatakan saling menciptakan (co-constitutionality), karena musia dengan dunianya memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Tidak ada dunia tanpa ada individu, dan tidak ada individu tanpa ada dunia. Individu selalu kontekstual, oleh karena sebab itu tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia, melalui dunianyalah maka makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh individu maka dunia tidak ada sebagai dunia. (Zainal A., 2002)
B I O G R A F I
Ludwig Binswager lahir pada tanggal 13 april 1881, di Kreuzlingen, Swiss di tengah keluarga yang memiliki tradisi kedokteran dan psikiatrik kuat. Kakeknya, yang namanya kecilnya juga Ludwig adalah pendiri Belleuve Sanatorium di Kruezlingen pada tahun 1857. ayahnya Robert adalah direktur Sanatorium tersebut. Pada tahun 1911, Binswanger diangkat menjadi direktur medis Belleuve sanatorium.
Ludwig meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Zurich tahun1907. Dia belajar dibawah bimbingan Carl Jung dan menjadi asistennya dalam Freudian society. Seperti halnya Jung, dia juga lebih terpengaruh Eugen Bleuleur, seorang psikiatri Swiss terkemuka. Dia adalah salah seorang pengikut pertama Freud di Swiss. Pada awal 1920-an, Binswanger menjadi salah pelopor pertama dalam menerapkan fenomenologi dalam psikiatri. Sepuluh tahun kemudian dia menjadi seorang analisis eksistensial. Binswanger mendefinisikan analisis eksistensial sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang actual. Tujuannya adalah rekonstruksi dunia pengalaman batin.
Binswanger adalah terapis pertama yang menekankan sifat dasar eksistensial dari tipe krisis yang dialami pasien dalam pengalaman terapi. Binswanger pada dasarnya berjuang untuk menemukan arti dalam penyakit gila dengan mnerjemahkan pengalaman para pasien kedalam teori psikoanalisis. Setelah membaca pendekatan filsafat Heidegger “Being in time” (1962), Binswanger menjadi lebih eksistensial dan fenomenologis dalam pendekatannya kepada para pasien. Pada tahun 1956, Binswanger berhenti menjadi direktur Sanatorium setelah menduduki posisi tersebut selama 45 tahun. Dia terus melakukan studi dan menulis sampai meninggal pada tahun 1966.
Medard Boss lahir di St. Gallen, Swiss pada tanggal 4 oktober 1903. kemudian menghabiskan masa mudanya di Zurich pusat aktivitas psikologi saat itu. Dia menerima gelar kedokteran university of Zurich pada tahun 1928. kemudian melanjutkan studi ke Paris dan Wina serta membiarkan dirinya dianalisis oleh S.Freud. Mulai tahun 1928, dia bergabung dengan Carl Jung yang menunjukkan pada Boss kemungkinan lepasnya psikoloanalisis dari interpretasi Freudian.
Dalam masa-masa itu, Boss membaca karya-karya Ludwig Binswanger dan Martin Heidegger. Pertemuannya dengan Heidegger pada tahun 1964 yang kemudian berlanjut dengan persahabatannyalah yang membawanya kepada psikologi eksistensial. Pengaruh dalam eksistensial sangat besar sehingga sering disejajarkan dengan Binswanger.
Teori Eksistensial
Sebagaimana tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan sebab akibat dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian urutan tingkah laku tetapi tidak bisa menurunkan kausalitas dari rangkaian tersebut. Sesuatu yang terjadi pada seorang anak-anak bukan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai seorang dewasa. Peristiwa yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang sama akan tetapi tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.
Untuk menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan jendela yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela tertutup, tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu bahwa jika jendela terbuka maka air hujan akan masuk. Karena prinsip kausalitas kurang relevan dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya motivasi dan pemahaman merupakan prinsip-prinsip operatif dalam analisis eksistensial tingkah laku. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Struktur Eksistensi
1. Ada-di-Dunia (Dasein)
Merupakan dasar fundamental dalam psikologi eksistensial. Seluruh struktur eksistensi manusia didasarkan pada konsep ini. Ada-di-dunia (Dasein) adalah keseluruhan eksistensi manusia, bukan merupakan milik atau sifat seseorang. Sifat dasar dari Dasein adalah keterbukaannya dalam menerima dan memberikan respon terhadap apa yang ada dalam kehadirannya. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Dunia dimana manusia memiliki eksistensi meliputi 3 wilayah, yaitu:
1. Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.
1. Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
1. Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)
Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia.
2. Ada-melampaui-Dunia (kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
Analisis eksistensial mendekati eksistensi manusia dengan tidak memakai pandangan lain selain bahwa manusia ada di dunia, memiliki dunia, ingin melampaui dunia. Akan tetapi, Binswanger tidak mengartikan ada-melampaui-dunia sebagai dunia lain melainkan mau mengungkapkan begitu banyak kemungkinan yang dimiliki manusia untuk mengatasi dunia yang disinggahinya dan memasuki dunia baru. Istilah melampaui/mengatasi dunianya dikenal juga dengan transendensi yang merupakan karakteristik khas dari eksistensi manusia serta merupakan landasan bagi kebebasan manusia.
Karena hanya dengan mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan tersebut ia dapat menjalani kehidupan yang otentik, apabila ia menyangkal atau membatasi kemungkinan-kemungkianan yang penuh dari eksistensinya atau membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-oarang lain atau oleh lingkungannya, maka manusia itu hidup dalam suatu eksistensi yang tidak otentik. Manusia bebas memilih salah satu dari keduanya.
3. Dasar Eksistensi
Manusia dapat hidup dengan bebas, akan tetapi bukan berarti tanpa adanya batas-batas. Salah satu batas adalah dasar eksistensi kemana orang-orang “dilemparkan”. Kondisi “keterlemparan” ini, yakni cara manusia menemukan dirinya dalam dunia yang menjadi dasarnya, merupakan nasibnya. Manusia harus hidup sampai nasibnya berakhir untuk mencapai kehidupan yang otentik. Keterlemparan juga diartikan sebagai keadaan diperdaya oleh dunia, dengan akibat orang-orang menjadi terasing dari dirinya sendiri.
4. Rancangan Dunia
Rancangan dunia adalah istilah Binswanger untuk menyebut pola yang meliputi cara ada di dunia seorang individu. Rancangan dunia seseorang menentukan cara bagaimana ia akan bereaksi terhadap situasi-situasi khusus serta ciri sifat dan simpton macam mana yang akan dikembangkannya.batas-batas dari rancangan tersebut mungkin sempit, dan mengerut atau mungkin lebar dan meluas.
Binswanger mengamati bahwa jika rancangan dunia dikuasai oleh sejumlah kecil kategori, maka ancamannya akan lebih cepat dialami dibandingkan bila rancangan dunia terdiri dari bermacam-macam kategori. Pada umumnya, orang memiliki lebih dari satu rancangan dunia.
5. Cara-cara Ada Dunia
Ada banyak cara yang berbeda untuk ada di dunia, setiap cara merupakan Dasein memahami, menginterpretasikan, dan mengungkap dirinya. Diantaranya, cara jamak (dengan menjalin hubungan-hubungan formal, kompetisi, dan perjuangan), cara tunggal (untuk dirinya sendiri), dan cara anonimitas (tenggelam di tengah orang banyak). Biasanya orang tidak hanya memiliki satu cara eksistensi, tetapi banyak.
6. Eksistensial
Boss tidak berbicara tentang cara-cara ada di dunia dengan arti sama seperti yang dikemukakan oleh Binswanger. Boss lebih membicarakan mengenai sifat-sifat yang melekat pada eksistensi manusia, selain itu hal lain yang dibicarakan oleh Boss adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan dan kejelasan merupakan spasialitas (tdk diartikan dalam jarak) yang sejati dalam dunia manusia), temporalitas eksistensi (waktu (bkn jam) yang digunakan/dihabiskan manusia untuk….), badan (ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi dalam manusia milik bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal bersama orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian (apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati saat itu).
Dinamika Eksistensi
Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan.
Akan tetapi ia memiliki kebebasan untuk memilih dan hanya ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap eksistensinya. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri, orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.
Perkembangan Eksistensi
Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.
Menjadi orang dan menjadi dunia selalu berhubungan, keduanya merupakan mitra menjadi (co-becoming, Strauss). Orang menyingkap kemungkinan-kemungkinan dari eksistensinya melalui dunia, dan sebaliknya dunia tersingkap oleh orang yang ada di dalamnya. Manakala bila yang satu tumbuh dan berkembang maka yang juga harus tumbuh dan berkembang begitu pula sebaliknya apabila yang satu terhambat maka yang juga terhambat. Bahwa kehidupan berakhir dengan kematian sudah merupakan fakta yang diketahui oleh setiap orang.
Terapi
Inti terapi eksistensial adalah hubungan antara terapi dengan kliennya. Hubungan ini disebut pertemuan. Pertemuan adalah kehadiran asal satu Dasein kehadapan Dasein yang lain, yakni sebuah “ketersingkapan” satu Dasein terhadap yang lainnya. Berbeda dengan terapi-terapi formal, seperti terapi gaya Freud, atau terapi-terapi yang “teknis”, seperti terapi gaya behavioris, para terapis eksistensial sepertinya ingin terlibat intim dengan Anda. Saling beri dan saling terima adalah bagian paling alami dari pertemuan, bukan untuk saling menghakimi dan memojokkan. (Boeree, C.George, 2004)
Para analasis eksistensial menyadari kompleksitas manusia yang mereka hadapi di ruang-ruang praktek mereka. Mereka menyadari bahwa manusia bukan hanya merupakan makhluk biologis atau fisik, melainkan juga sebagai makhluk yang unik dan mempunyai kesadaran. Dengan perkataan lain, manusia tidak lain adalah tubuh (organisme) yang berkesadaran. Oleh sebab itu, mereka beranggapan bahwa pendekatan analisis eksistensial tentunya diperlukan, karena menwarkan kejernihan analisis atas pasien-pasien mereka. Gejala manusia dan pengalaman-pengalamannya tentu saja tidak bisa dikuantitafikasikan dan digeneralisasi begitu saja. Perlu pengungkapan yang lebih spesifik. Analisis eksistensial dianggap mampu melakukan tugas itu.
Dalam analisis eksistensial yang dilakukan Binswanger sebagai metode baru yang berbeda dari metode-metode yang ada sebelumnya, terlihat dalam kasus yang ditanganinya yaitu kasus “Ellen West” yang merupakan salah seorang pasiennnya. Binswanger mengadakan analisis fenomenologis mengenai tingkah lakunya dan menggunakan penemuan-penemuan tersebut untuk merumuskan eksistensi atau cara-cara ada-di-dunia pasien tersebut. Ia menyelidiki arsip-arsip di Sanotarium dan memilih kasus seorang gadis muda, yang pernah berusaha untuk melakukan bunuh diri. Kasus ini menarik karena selain buku harian, catatan-catatan pribadi dan puisi-puisinya yang penuh pesona, juga karena sebelum dirawat di sanotarium, ia telah dirawat lebih dari dua periode oleh para psikoanalis dan selama di sanitarium ia telah menerima perawatan dari Bleuler dan Kraepelin. Dalam analisis eksistensial (yang tekanannya lebih pada terapi), Binswanger pertama-tama menganalisis asumsi-asumsi yang mendasari hakekat manusia kemudian ia berhasil sampai pada pemahaman mengenai struktur tempat diletakkannya segenap system terapeutik. (Zainal A., 2002)
Medard Boss menggunakan analisis mimpi dalam terapinya terhadap seorang pasien yang menderita obsesional-complusive. Pasien ini menderita kompulsi-kompulsi untuk mencuci tangan dan membersihkan, ia sering bermimpi tentang menara-menara gereja. Pasien ini sebelumnya telah menjalani analisa Freudian dan menginterpretasikan isi mimpi tersebut sebagai simbol-simbol phalik serta menjalani analisa Jungian yang menghubungkannya dengan simbol-simbol arketif[1] religius. Dalam dengan Boss sang pasien menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang datang berulang-ulang seperti ia mendekati sebuah pintu kamar mandi yang selalu terkunci. Boss menunjukkan dalam pembahasannya tenang kasus itu bahwa pasien merasa bersalah, karena telah mengunci beberapa potensi yang sangat penting dalam dirinya. Ia mengunci baik kemungkinan-kemungkinan pengalaman badaniahnya maupun spiritualnya atau aspek “dorongannya” dan aspek “tuhannya”, semua itu dilakukannya untk melarikan diri dari semua masalah yang dihadapinya. Menurutnya pasien merasa bersalah bukan semata-mata bahwa ia mempunyai rasa bersalah. Pasien tidak menerima dan tidak memasukkan kedua aspek tersebut ke dalam eksistesinya, maka ia merasa bersalah dan berhutang pada dirinya. Pemahaman mengenai rasa bersalah tidak ada hubungannya dengan sikap menilai (“judgmental attitude”), yang perlu dilakukan hanyalah memperhatikan kehidupan dan pengalaman pasien secara sungguh-sungguh dan penuh rasa hormat. (Zainal A., 2002)

Pandangan Islam
“Sungguh kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
· Berbicara mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya. Dalam memandang kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan dunia bisa ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada analisa mimpi yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut tidak ditemukan. Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja kemudian manusia itu menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam ayat diatas jelas manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh Allah SWT. Begitu pula dalam surat Ar-Rahman ayat 4, “ Dia menciptakan manusia” serta pada ayat 7&10, “Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”. Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.
PENUTUP


Psikologi eksistensial adalah ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang menggunakan metode analisis fenomenologis. psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Psikologi eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.


Struktur Eksistensi

· Ada-di-Dunia (Dasein)
· Ada-melampaui-Dunia (kemungkinan-kemungkinan dalam manusia)
· Dasar Eksistensi
· Rancangan Dunia
· Cara-cara Ada Dunia
· Eksistensial (Boss)

Psikologi eksistensi tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan Dasein.






DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial untuk psikologi dan psikiatri, Bandung: PT Refika Aditama.
Al-Qur’an dan terjemah, 2006. Bandung: Diponegoro
Chaplin, J.P., 1999. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993. Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis), Yogyakarta : Kanisius.
Boeree, C.George, 2004. Personality Theories, Yogyakarta : PRISMASHOPIE.

[1] Isi kejiwaan sejak jaman purba dari ketidaksadaran rasial, terdiri atas ide-ide dan predisposisi (kecenderungan) yang diwarisi. Kamus lengkap psikologi, Chaplin
http://psikologiuinjkt2004.wordpress.com/2007/09/15/psikologi-eksistensial/KASUS

Jika semua manusia pada dasarnya baik dan hasrat terdalam mewujudkan kebaikan, mengapa begitu sulit menerima dan mewujudkannya?
uatu hari di tepi pantai, riak-riak air saling berbicara satu sama lain. Salah satu riak kecil berkata, "Oh, betapa hebatnya gelombang besar itu! Ia sangat dahsyat, dapat mengangkat kapal yang paling besar, dapat pula mengempaskannya ke karang. Betapa tak berartinya aku dibandingkan dengannya".
Riak air yang lain menyetujui pandangan riak yang pertama tadi dan mereka semua tertunduk lesu, merasa diri begitu kecil dan tak berarti. Salah satu riak air yang bijaksana berkata, "Saudaraku... engkau keliru.. Engkau tidak berbeda daripadanya... Sesungguhnya, kita (riak kecil) dan dia (gelombang besar) sama saja.. kita adalah air..".
Ketika riak kecil tadi mendengar perkataan temannya, hatinya yang murung seketika menjadi cerah. Ia menyadari bahwa sekalipun kelihatannya begitu berbeda antara dirinya yang hanya riak kecil dan gelombang besar nan dahsyat; sesungguhnya mereka sama: mereka adalah air...
Beberapa waktu yang lalu penulis menerima sepucuk surat dari orang yang tak dikenal. Ternyata yang menulis surat tersebut adalah seorang pasien skizofrenia yang sedang berobat jalan. Sebut saja pasien tersebut bernama Yanto (bukan nama sesungguhnya). Yanto rupanya membaca salah satu buku karya penulis dan terkesan oleh isinya. Ia terdorong untuk menulis surat, memuji buku karya penulis dan kemudian banyak bercerita tentang riwayat hidupnya.
Penulis yang bersimpati pada perjalanan hidup Yanto dan perjuangannya untuk memulihkan diri, membalas surat tersebut sehingga terjadi korespondensi untuk beberapa waktu. Salah satu hal yang menarik perhatian dari surat-surat Yanto adalah: Di dalam surat-suratnya, Yanto selalu merendahkan diri secara berlebihan (self-devaluating) dan menyebut diri orang yang hina dan tak berarti. Sebaliknya ia selalu meninggikan dan memuji (idealizing) penulis.
Di dalam literatur Psikoanalisis, perilaku yang ditunjukkan oleh Yanto merupakan salah satu defense mechanism yang disebut idealization, yaitu upaya mengatasi rasa rendah diri yang ekstrem dengan cara mengidealisasikan orang lain dan memiliki fantasi menyatu dengan/diterima oleh orang tersebut.
Di dalam defense mechanism ini, pasien mendistorsikan pandangan tentang dirinya sendiri berupa devaluasi diri yang ekstrem, dan juga mendistorsikan pandangan tentang orang lain berupa penghargaan yang berlebihan. Pasien yang melakukan ideali- zation akan tergantung secara emosional pada objek idealisasinya.
Bila objek (orang) tersebut menerimanya, ia akan bahagia; namun bila objek tersebut menolaknya, ia akan merasa sangat terpuruk dan terluka. Maka, akan selalu jadi kekhawatiran besar bagi pasien, apakah ia cukup baik untuk diterima dan dikasihi oleh objek idealisasinya ataukah tidak. Keraguan diri yang amat besar akan selalu membuatnya terombang-ambing antara emosi positif dan emosi negatif. Hal ini menjadi sumber penderitaan baginya.
Devaluasi Diri
Cerita di atas adalah contoh ekstrem tentang seseorang yang melakukan devaluasi diri, dan sangat menderita karenanya. Namun, devaluasi diri tidak hanya ditemui pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa berat, melainkan dalam berbagai tingkatan sangat mudah dijumpai pada banyak orang, dari berbagai tingkatan sosial-ekonomi dan beragam latar belakang budaya. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan kekurangan dalam diri sendiri ataupun dalam diri orang lain; sebaliknya tidak mudah melihat dan mengakui suatu kebaikan dalam diri.
Devaluasi diri adalah salah satu sumber utama penderitaan bagi manusia. Devaluasi diri bukanlah sesuatu yang alami, melainkan merupakan suatu penyimpangan karena bertentangan dengan hasrat dasar yang ada pada semua manusia, yaitu hasrat agar dirinya dipandang baik, diterima, dimengerti, dicintai. Dan tahukah anda? Hasrat tersebut sepenuhnya sah! Semua orang memang berhak dipandang baik, diterima, dimengerti dan dicintai, karena manusia pada dasarnya adalah baik. Pada mulanya semua orang adalah baik, dan tidak ada keinginan lain dalam dirinya selain untuk menjadi baik dan mewujudkan potensi kebaikan yang dimilikinya.
Dapatkah anda menerima itu? Bahwa anda sesungguhnya adalah baik, dan keinginan anda yang terdalam adalah untuk menjadi baik. Kalau anda sungguh percaya bahwa anda diciptakan oleh Yang Maha Baik, maka mestinya anda yakin bahwa anda pasti baik. Dan kalau saja anda sungguh mengerti bahwa anda (sudah selalu) baik, maka secara alami kebaikan dalam diri anda akan bertumbuh, sehingga anda tidak perlu mati-matian berusaha untuk menjadi lebih baik.
Usaha yang (terlalu) keras untuk menjadi lebih baik adalah suatu pengakuan bahwa anda masih menyimpan keraguan dan merasa diri tidak baik. Semakin anda berusaha untuk menjadi lebih baik, bukankah semakin buruk jadinya?
Kalau semua manusia pada dasarnya baik dan hasrat terdalamnya adalah mewujudkan kebaikan, mengapa begitu sulit menerima dan mewujudkannya? Mengapa banyak sekali orang yang dalam perjalanan hidupnya akhirnya menyangkal dan menolak kebaikan dalam diri mereka dan menjadi "buruk?" Abraham Maslow menyebut gejala penolakan akan kebaikan diri itu the Jonah's Syndrome (sindrom Yunus). Kita mengetahui cerita Nabi Yunus, yang memilih lari dari perintah Tuhan untuk melakukan kebaikan. Yunus adalah contoh ekstrem seorang manusia yang enggan dan menolak panggilan Tuhan. Ia bukan satu-satunya Nabi yang melakukan hal tersebut.
Nabi Musa pada mulanya mencoba berkelit dari panggilan Tuhan untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir karena merasa dirinya tidak pandai bicara. Nabi Yeremia, ketika dipanggil Tuhan juga merasa dirinya tidak pantas dan masih terlalu muda; dan masih banyak contoh lain. Yunus mungkin adalah contoh yang paling ekstrem. Ketika Tuhan mendekatinya, ia lari daripadanya, meskipun sebenarnya hal tersebut adalah absurd.
Seseorang tidak dapat lari dari Tuhan, karena Tuhan senantiasa ada di dalam kita dan kita senantiasa ada di dalamNya. Maka, lari dari Tuhan seperti yang dilakukan Yunus hanyalah ilusi. Yang sebenarnya dilakukannya adalah lari dari dirinya sendiri. Bukan Tuhan yang menolaknya, tapi dirinya sendirilah yang menolak diri.
Kesejatian Diri
Dan apakah sumber penolakan diri tersebut? Tidak lain daripada keabaian/ ketidaksadaran akan kesejatian diri (ignorance of the true self). Sejatinya manusia adalah kudus dan Fitri, putih bersih dan kaya akan cinta Allah. Orang Kristen menyebut bahwa manusia adalah anak Allah yang ditempatkan di Eden (Nirvana). Tidak ada penderitaan di Eden, karena di Eden manusia mengenal identitasnya yang terdalam, yaitu anak Allah.
Para pembaca yang budiman, anda ingat cerita tentang anak yang hilang? Anak bungsu yang meminta warisan dari Bapanya, pergi dan berfoya-foya menikmati segala kesenangan dunia, sampai akhirnya ia jatuh miskin dan menjadi penjaga ternak babi. Anak bungsu itu adalah simbol manusia yang melupakan identitasnya sebagai anak Allah dan memisahkan diri dari Allah.
Tidak ada kemiskinan yang lebih parah daripada kehilangan identitas diri. Dan saat si anak bungsu melupakan identitasnya yang sejati, ia menjadi yang termiskin di dunia, padahal sebenarnya ia kaya raya. Saat itu ia berpindah dari Surga ke Neraka. Neraka bukanlah suatu tempat penyiksaan yang nanti akan ditempati orang berdosa setelah mati. Neraka adalah kondisi penderitaan yang terdalam karena abai/tak sadar/lupa akan identitas sejati.
Remembrance
Maka solusi untuk mengatasi akar penderitaan manusia adalah dengan penyadaran untuk mengingat kembali identitasnya yang sejati. Ken Wilber, seorang tokoh Integral Psychology, menyebut proses penyadaran ini dengan istilah remembrance, yaitu mengingat kembali.
Yang dimaksudkannya adalah: Nirvana, Eden, pencerahan, transendensi atau apapun istilahnya, bukanlah sesuatu yang semula tiada yang kemudian ditambahkan pada diri kita, Ia sudah selalu ada sejak semula!
Pada mulanya manusia tidak miskin papa akan segala sesuatu yang paling dibutuhkannya untuk mengalami kebahagiaan sejati; sebaliknya, pada mulanya manusia sudah kaya raya dan memiliki utuh kebahagiaan sejati tersebut.
Maka Ken Wilber mengatakan proses transendensi adalah proses remembrance. Seperti anak bungsu di dalam cerita, yang di puncak penderitaannya ingat kembali pada rumah Bapanya, pada siapa dirinya sesungguhnya dan mulai berjalan pulang, maka proses "penyembuhan" akan penderitaan jiwa kita yang terdalam adalah proses penyadaran untuk mengingat kembali siapa diri kita yang sesungguhnya.
Dan saat kita memandang kembali pantulan diri kita dalam tatapan penuh kasih sang Bapa, kita akan tertegun menatap kembali wajah kita yang sesungguhnya, wajah yang sudah selalu ada sebelum segala penderitaan hidup ini dimulai. Wajah anak yang terkasih.
Iman Setiadi Arif, Dekan Fakultas Psikologi Ukrida
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/02/28/Personal/pers01.htmCatatan kritik
Salah satu kritik terhadap psikologi eksistensial adalah ketika psikologi telah diperjuangkan untuk dapat membebaskan diri dari dominasi filsafat, justru psikologi eksistensial secara terang-terangan menyatakan kemuakkannya terhadap positivisme dan determinisme. Para psikolog di Amerika yang telah memperjuangkan kemerdekaan psikologi dari filsafat jelas menentang keras segala bentuk hubungan baru dengan filsafat. Banyak psikolog merasa bahwa psikologi eksistensial mencerminkan suatu pemutusan yang mengerikan dengan jajaran ilmu pengetahuan, karena itu membahayakan kedudukan ilmu psikologi yang telah diperjuangkan dengan begitu susah payah.
Salah satu konsep eksistensial yang paling ditentang oleh kalangan psikologi “ilmiah” ialah kebebasan individu untuk menjadi menurut apa ynag diinginkannya. Jika benar, maka konsep in sudah pasti meruntuhkan validitas psikologi yang berpangkal pada konsepsi tengtang tingkah laku yang sangat deterministic. Karena jika manusia benar-benar bebas menentukan eksistensinya, maka seluruh prediksi dan control akan menjadi mustahil dan nilai eksperimen menjadi sangat terbatas. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)
Banyak psikolog dan sarjana psikologi baik dalam maupun luar negeri mempertanyakan keberadaan analisis eksistensial. Yang mereka pertanyakan menyangkut dasar-dasar ilmiah dari analisis eksistensial. Psikologi sebagai ilmu telah lama diupayakan untuk melepaskan diri dan berada jauh dari filsafat. Psikologi harus merupakan suatu science (ilmu pasti alami) yang independent. Padahal, analisis eksistensial mengeritik ilmu (science) dan mengambil manfaat dari filsafat (fenomenologi dan eksistensialisme). Atas dasar itu, banyak sarjana psikologi yang bertanya, apakah analisis eksistensial relevan dengan perkembangan ilmu psikologi modern?
Jawaban atas pertanyaan itu tergantung pada pemahaman kita tentang manusia. Siapakah atau apakah manusia itu? Apakah manusia pada dasarnya hanya merupakan bagian dari organisme dan atau dari materi (aspek fisik kehidupan)? Jika kita memahami manusia sebgaimana para behavioris atau psikoanalis memahaminya, yakni bahwa manusia pada dasarnya merupakan bagian dari organisme atau materi, maka analisis eksistensial tampaknya tidak diperlukan. Cukup dengan pendekatan kuantitatif dan medis, dengan eksperimen dan pembedahan otak musia, maka kita sudah cukup mampu memahami dan menyembuhkan individu (manusia) yang bermasalah (patologis). Namun, dalam praktek atau kenyataan, kita menyaksikan bahwa manusia ternyata jauh lebih kompleks dari sekedar organisme dan materi. (Zainal A., 2002)

1 komentar:

Dunia Alfabetika mengatakan...

mas, aku minta izin cop-pas nuttin ya buat tugas humanistik makasih (agustin 2008)

Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, JATIM, Indonesia
Aq cuma mw belajar n belajar.... klo da yg menurut temen2 da yg kurang,,,tolong beri tw ya!!!!!